LEA SIMANJUNTAK Terharu di Panggung






Perasaan haru yang menyelimuti penyanyi Lea Simanjuntak (38) saat menyanyikan lagu ”Indonesia Raya” tanpa iringan musik masih membekas kuat di hatinya. Apalagi, dia menyanyi di hadapan Presiden Joko Widodo saat pembukaan pertandingan sepak bola Piala Presiden 2018 di Bandung, Jawa Barat, Selasa (16/1).
”Bayangkan saja, sekitar 50.000 penonton hadir di stadion itu. Salah sedikit saja, kelar deh saya dipergunjingkan. Tapi, Puji Tuhan, selalu ada cara untuk bisa membuat saya lebih tenang,” kata penyanyi yang memiliki nama lengkap Lea Angeline Simanjuntak itu, yang dihubungi di Jakarta, Jumat (26/1).
Lea mengatakan, pembukaan Piala Presiden sedikit tertunda karena menunggu kedatangan Presiden Jokowi. Saat itu, para pemain dipersilakan memasuki lapangan untuk sekadar pemanasan. Dengan adanya perubahan jadwal, dirinya merasa sedikit tenang dan bisa beradaptasi dengan situasi stadion.
Rasa deg-degan sedikit demi sedikit sirna. Maklumlah, tantangan menyanyi lagu ”Indonesia Raya” tanpa iringan musik itu memang baru disampaikan beberapa hari sebelum tampil.
”Untungnya, dari kecil saya memang doyan menyanyi lagu kebangsaan. Jadi, senang banget menerima tantangan ini. Jarang ada orang yang berani nyanyi tanpa musik,” ujar Lea yang kini sedang menyiapkan album terbaru. (OSA)
Dikutip dari Kompas edisi 29 Januari 2018

Perintis ”Homestay” Rumah Gadang


Oleh: IRMA TAMBUNAN & ZULKARNAINI

Setelah hampir setengah abad menetap di Jakarta, Yarnelly atau Nelly akhirnya kembali ke kampung halamannya di Nagari Kotobaru, Solok Selatan, Sumatera Barat, pada tahun 2014. Dia pulang karena sang ibu sakit. Ibunda berpesan agar ia secepatnya menempati rumah di Kotobaru itu.
Rumah gadang tersebut dibangun tahun 1836. Dengan demikian, usia rumah gadang itu sudah mencapai 182 tahun. Pemiliknya adalah Datuak Rajo Mulie, bangsawan dari suku Melayu. Adapun Nelly merupakan generasi keempat Datuak Rajo Mulie.
Rumah itu pernah direnovasi pada 1937. Arsitektur aslinya dipertahankan dengan bangunan berbentuk kapal dan berdinding kayu. Atapnya berbentuk bagonjong, dengan kedua ujung meliuk ke atas bagaikan tanduk kerbau. Dinding-dinding kayu itu dipahat membentuk ukiran dengan motif khas Minangkabau.
Selama menempati rumah itu, Nelly kerap mendapati wisatawan berkunjung ke Kotobaru. Mereka mengagumi keberadaan rumah-rumah tradisional. Kawasan tersebut kemudian dikenal dengan sebutan rumah bagonjong Saribu Gadang. Dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya, di sana masih terdapat 134 rumah gadang asli, termasuk yang ditempati Nelly.
Sayangnya, tak semua rumah gadang masih dihuni. Sebagian warga telah membangun rumah baru dari batu. Sejumlah rumah gadang tidak lagi ditempati sehingga hanya berdiri sekadar menjadi monumen.
Wisatawan kagum
Di antara rumah- rumah bagonjong Saribu Gadang, rumah yang ditempati Nelly tampak lebih menonjol. Selain ukurannya yang megah, dinding kayu rumah itu juga berpahat indah.
Setiap kali turis berkunjung, Nelly dengan senang hati menerima mereka. Ia pun menceritakan sejarah rumah itu beserta tradisi dan budaya masyarakat setempat. Wisatawan jadi betah. Sering kali mereka minta diperbolehkan menginap. Nelly menyambut mereka dengan tangan terbuka.
Lama-kelamaan, rumah Nelly semakin dikenal. Agen perjalanan kerap memesan rumahnya untuk dikunjungi wisatawan. Seiring berjalannya waktu, semakin banyak pula orang datang berkunjung dan menginap. Lalu, Nelly pun punya ide untuk membuka usaha homestay(penginapan).
Nelly membenahi rumahnya. Sejumlah kamar yang selama ini menjadi gudang dibereskan. Kayu-kayu yang melapuk diperbarui. Bagian tengah rumah disekat menjadi tiga kamar. Setiap kamar dilengkapi dengan tempat tidur, kasur, lemari, dan kamar mandi yang nyaman. Rumahnya kemudian diberi nama Homestay Ibu Pik, sesuai nama panggilan Nelly.
Satu ketika agen wisata meneleponnya. Ada rombongan besar dari Jakarta ingin menginap di rumah-rumah gadang Kotobaru. Jumlah tamu 160-an orang. Nelly sempat kaget. Rumahnya tak akan mampu menampung tamu sebanyak itu. ”Kapasitas rumah saya hanya untuk 30-an orang,” katanya.
Namun, Nelly melihat potensi besar di balik rencana kunjungan itu. Ia ingin mewujudkan Kotobaru menjadi tujuan utama pariwisata di wilayah Solok Selatan, Sumatera Barat.
Dia pun menyambangi para pemilik rumah gadang di sekitar rumahnya. Satu per satu ditawari jika bersedia rumahnya menjadi homestay. Beberapa pemilik rumah menyatakan kesediaannya.
Namun, sebagian lainnya masih pesimistis. Bagaimana mungkin rumah tradisional dan sederhana itu bisa menarik minat wisatawan untuk menginap. Nelly merayu dan berusaha meyakinkan para tetangganya. Katanya, banyak orang justru kagum dengan kelestarian rumah gadang.
Dalam waktu singkat, para pemilik rumah gadang diajak berbenah. Untuk menjadi homestay, berbagai perlengkapan harus disiapkan. Agar tamu nyaman, kasur, selimut, dan seprai haruslah bersih. Tentu saja, wisatawan akan merasa nyaman jika tinggal di penginapan yang bersih, terutama kamar tidur dan toiletnya.
Ia membina para pemilik rumah menyiapkan menu lengkap. Mereka yang tidak cocok dengan masakan tradisional bisa tetap menikmati masakan ala Nusantara.
Kunjungan rombongan besar itu mulai membuka mata masyarakat. Para tamu ternyata begitu mengagumi keistimewaan rumah bagonjong. Maka, sepatutnya warga bangga dan selayaknya merawat warisan budaya itu. ”Kalau bukan kita yang merawatnya, siapa lagi?” ujar Nelly.
Saat ini, sudah ada 10 rumah gadang resmi dibuka menjadi homestay di Nagari Kotobaru. Masih ada 10 keluarga lagi menyatakan minat membuka homestay. Ia mengingatkan mereka untuk tetap menjaga keaslian arsitektur rumah. Tuan rumah juga dituntut merevitalisasinya sebelum dibuka jadi homestay. ”Kalau kayunya sudah lapuk agar diganti. Kalau tidak, bisa membahayakan tamu,” lanjutnya.
Semangat mengembangkan wisata rumah gadang pun tak sia-sia. Ia berhasil mengangkat nama Saribu Rumah Gadang Kabupaten Solok Selatan menerima penghargaan sebagai Kampung Adat Terpopuler Tahun 2017 dari Kementerian Pariwisata.
Museum mini
Sejak akhir tahun lalu, Yarnelly juga mulai memajang barang-barang pusaka dalam homestay. Benda-benda itu ditata di sejumlah rak dan ruang-ruang khusus yang dia sebut sebagai ruang pameran. Ia menyebutnya museum mini. Ada ruang yang khusus menyimpan mulai dari perlengkapan untuk ritual adat, perlengkapan rumah tangga, sampai perhiasan-perhiasan kuno.
Sejumlah orang sempat menyebut upayanya membangun museum mini penuh risiko. Selain terancam hilang dicuri, ada semacam tabu jika mengeluarkan benda pusaka tanpa melalui ritual adat. Namun, Nelly berpendapat lain.
Ia meyakini museum mini dapat menjadi sumber pengetahuan bagi banyak orang. Ia juga berharap, museum mini bisa semakin mendorong pengembangan pariwisata rumah gadang.
Dikutip dari: Kompas hal 16 terbit tanggal 8 Januari 2018