Ratu Tisha Destria





RATU Tisha Destria seperti mempunyai baterai cadangan dalam tubuh mungilnya. Sekretaris Jenderal Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia itu tahan tidak tidur sampai 58 jam.
Tisha, 32 tahun, menyadari kemampuan begadang ekstrapanjang itu pada tahun akhir kuliahnya di Jurusan Matematika Institut Teknologi Bandung, sekitar sepuluh tahun lalu. "Waktu itu karena mengerjakan tugas di laboratorium," katanya kepada Tempo, beberapa waktu lalu.
Meski tidak menjadi kebiasaan, Tisha terbantu dengan kebolehan melek lebih dari dua hari tersebut dalam tugasnya mengurus sepak bola nasional. Sejak menjabat Juli lalu, dia kerap pulang pagi dari kantor PSSI di Kuningan, Jakarta Selatan.
Beberapa hari sebelum wawancara, Tisha menerima pengurus sepak bola Maluku Utara yang baru tiba pukul satu dinihari akibat penerbangan yang tertunda. Dia tidak sampai hati menjadwalkan ulang pertemuan karena masa kunjungan mereka mepet. Berakhir menjelang subuh, Tisha tidak sempat merem karena harus menghadap Ketua PSSI Letnan Jenderal Edy Rahmayadi beberapa jam kemudian.
Saat mendekati 58 jam, Tisha menyebutkan, tubuhnya memberi alarm. "Biasanya mulai keliyengan," ujarnya. Peraih beasiswa master dari Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) ini pun langsung mencari kasur dan terlelap. Tapi tak ada "tidur balas dendam" di kamusnya. "Lima sampai delapan jam, cukup."
Dikutip dari Pokok dan Tokoh Tempo Edisi Desember 2017

Mengamen di Rantau


Penyanyi jaz Nana Lee (32) pada Natal tahun ini mengisi hari-harinya dengan banyak menyanyi dari satu tempat ke tempat lain di Taiwan. Sejak pertengahan lalu, ia memang tinggal di Taipei, Taiwan, karena mendapat kontrak kerja selama satu tahun.
”Iya aku sedang menjadi ’tenaga kerja Indonesia’, atau dengan kata lain aku sedang ngamen di rantau,” ujar Nana hari Senin (25/12) dari Taipei lewat layanan pesan pribadi.
Biduan yang setiap menyanyi sembari bermain saksofon ini menceritakan udara dingin yang kerap menyelimuti Taiwan. Beruntung pada malam Natal, cuaca lebih bersahabat. Langit cerah dan udara sejuk. ”Memang enggak sedingin udara di Eropa, tetapi masih antara 10 dan 18 derajat celsius,” katanya.
Kesibukan Nana sudah padat menjelang Natal. Gadis yang pernah bekerja sama dengan musisi jaz kenamaan Idang Rasyidi dalam album kompilasi berjudul Women In Love itu dalam satu hari pernah menyanyi di tiga kota. ”Dalam sehari aku pernah menyanyi di Taichung, Kaohsiung, dan Taipei. Beruntung di sini ada kereta api cepat,” ucapnya.
Sejak mendapat nilai tertinggi dalam kompetisi Super Idol Taiwan 2013, alumnus Universitas Bunda Mulia, Jakarta, itu sering bolak-balik ke Taiwan untuk menyanyi. ”Dulu pernah ngajak Mama, tetapi tahun ini Mama di Jakarta saja. Kalau kangen, aku menelepon pakai video call biar rasa rindu terobati,” lanjut Nana yang juga pencipta lagu. (TRI)
Dikutip dari Kompas edisi 26 Desember 2017

Kadang Perlu Ditampar


Bersentuhan dengan buku dan dongeng horor sejak kecil membentuk Intan Paramaditha (38) menjadi penulis yang memilih sastra gotik sebagai bentuk perlawanan. Dia secara sadar menyebut dirinya sebagai feminis dan mengobarkan kesadaran lewat karya-karya fiksi. Intan adalah pengelana sejati, dia gentayangan di dunia global, mengajak siapa saja untuk merobohkan budaya patriarki.

Intan sehari-hari berada di Sydney, Australia, mengajar kajian media dan film di Macquarie University. Akan tetapi, hari-hari ini hingga akhir Januari tahun depan, dia berada di Tanah Air karena kampusnya sedang libur. ”Libur cukup panjang, Desember sampai Februari. Jadi, saya pakai meluncurkan buku di Jakarta dan Yogyakarta,” kata perempuan kelahiran Bandung ini mengenai novel barunya, Gentayangan: Pilih Sendiri Petualangan Sepatu Merahmu (2016).

Novel itu, antara lain, berisi renungan serta internalisasi nilai setelah Intan berinteraksi dengan banyak orang selama masa gentayangan. Intan meninggalkan Tanah Air sejak 12 tahun lalu dan melanglang buana. Dia pernah tinggal di San Diego, Amsterdam, New York, dan sekarang di Sydney. Di San Diego, dia mengejar gelar master of artsliteratures in English, di University of California (2005-2007), lalu geser ke New York University untuk menyelesaikan program doktoralnya di bidang cinema studies.
Pada masa-masa itu, dia banyak bertemu dengan teman setanah air yang secara ilegal tinggal di Amerika. Mereka ini masih memegang gagasan dan narasi tentang Indonesia, tetapi gagasan itu nyangkut pada era 1990-an. Mereka kesulitan untuk bisa nyambung dengan orang lokal, sesulit nyambung dengan budaya Indonesia yang terus berubah menjadi seperti sekarang. Akhirnya, mereka hanya bergaul dengan sesama mereka. ”Posisinya in between terus. Banyak sekali subyek global seperti ini,” kata Intan.

Dia juga mengamati bagaimana para pencari suaka dan pengungsi melintasi benua untuk memperoleh tempat baru. Mereka yang tidak bisa kembali ke negara asalnya karena berbagai alasan, tetapi juga tidak bisa masuk secara utuh ke dalam budaya di negara tujuan. Subyek-subyek itulah yang disebut Intan sebagai manusia gentayangan.
Intan sendiri menyebut masa-masa meninggalkan Tanah Air dan berkenalan itu sebagai masa gentayangan. Akan tetapi, justru itu menjadi masa paling indah selama hidupnya. ”Saya merasa semakin tua semakin menikmati diri saya. Sebab, semakin tahu dan semakin tidak bisa ditolol-tololin. Semakin punya kesadaran.”
Oleh karena itu, Intan tidak sependapat dengan anggapan bahwa masa indah itu masa SMA. Sebab, masa-masa SMA adalah masa tanpa kesadaran kritis. ”Itu masa goblok. Masa tolol.Penginnya berteman dengan teman-teman populer, peer pressure (tekanan teman sebaya), aduh gak mau deh balik ke masa-masa itu. Aspirasi-aspirasi tidak penting, pengin pacaran dengan cowok terkenal. Tidak penting banget. Saya suka bilang, waduh reuni, males, he-he-he.”
Cerita gelap
Gentayangan merupakan buku kedua yang ditulis seorang diri oleh Intan. Tahun 2005, dia menulis kumpulan cerpen Sihir Perempuan. Di antara itu, pada tahun 2010, bersama dengan Eka Kurniawan dan Ugoran Prasad, Intan menulis buku Kumpulan Budak Setan, sebuah karya tafsir terhadap karya-karya Abdullah Harahap, penulis horor populer yang produktif pada era 1970-1980-an. Intan termasuk yang menyukai karya-karya Abdullah Harahap.
Pada masa SMA, Intan sangat akrab dengan bacaan-bacaan horor karya Edgar Allan Poe, perintis karya detektif dan kriminal di Amerika, serta O Henry, penulis cerita pendek yang sering menampilkan endingmengejutkan. Bagi Intan, cerita-cerita yang ditulis mereka ini menarik. ”Gelap. Ada misterinya, dan saya jadi mikir.”
Pengaruh bacaan-bacaan itu terbawa hingga saat dia kuliah di Jurusan Sastra Inggris Universitas Indonesia. Makanya, ketika menulis skripsi, dia menjadikan Frankenstein karya Mary Shelley sebagai obyek kajian. Novel gotik ini bercerita tentang seorang ilmuwan yang terobsesi menciptakan atau menghidupkan manusia dari potongan-potongan tubuh. Frankenstein menjadi karya agung yang menginspirasi sutradara teater, film, ataupun penulis. Isi novel ini digambarkan dengan bagus oleh grup metal Helloween dalam lagu ”Dr Stein”.
Yang menarik bagi Intan, Mary Shelly menggunakan horor untuk mengkritik ideologi di zaman romantik. Horor punya potensinya. ”Selama ini, horor berada di ranah tidak penting dan buat senang-senang atau menakut-nakuti. Dari Mary Shelly, banyak yang bisa dilakukan. Horor punya potensi mengganggu. Horor itu menyajikan realitas yang normal dan nyaman, terus ada unsur lain. Unsur ini mengganggu. Lalu, unsur ini membuat kita bertanya-tanya, realitas yang saya percaya itu apakah memang benar begini,” kata Intan menjabarkan kerangka berpikirnya tentang horor.
Nah, Intan menilai, gangguan di dalam horor itu justru menimbulkan potensi subversif. Seperti juga kritik feminis. Kritik feminis harus mengganggu kemapanan patriarkis. Jadi cocok.
Ia mengajak orang untuk berpikir kritis, terutama para kelas menengah. Selama ini ada kesan bahwa kekerasan terhadap perempuan hanya terjadi di kelas bawah. Lewat Sihir Perempuan, Intan mengajak kelas menengah untuk merenung, apakah benar posisinya sudah nyaman. Mereka harus berpikir tentang batas-batas yang melingkupi. Mereka harus kritis.
Cara Intan mengajak berpikir kritis itu lewat cerita-cerita gelap tersebut. Ia tak ingin menghasilkan karya yang sekadar untuk bersenang-senang, motivasional, atau kalimat-kalimat bijak. Sastra gotik menjadi pilihannya. ”Orang tidak perlu terus dimotivasi. Kadang-kadang perlu ditampar juga,” ungkap Intan soal karya-karyanya yang sendu dan gelap itu.
Fondasi dari ibu
Intan memosisikan diri sebagai feminis, sebuah sikap yang berani dan kukuh. Karya-karyanya selalu berisi pesan-pesan perlawanan terhadap patriarkis. Ini banyak dipengaruhi oleh sikap ibunya. Di mata Intan, ibunya seorang yang resisten, hidup di tengah kungkungan budaya patriarkis dan mencoba membebaskan diri. Dia sering mengungkapkan sikapnya dalam bentuk kemarahan yang tak dipahami Intan kecil. Baru belakangan Intan memahami itu sebagai frustrasi terhadap lingkungannya karena aspirasi yang tak sampai. Dari situlah Intan terdorong belajar feminisme.
Intan juga melihat ibunya sebagai sosok yang cerdas. Dia selalu memberi Intan buku-buku dongeng yang kelak turut memengaruhi sikap Intan. Intan kecil membaca dengan lahap dongeng-dongeng karangan Grimm bersaudara, seperti Snow White, Hansel and Gretel, dan Cinderella. Intan juga membaca karya-karya Hans Christian Andersen, seperti The Little Mermaid, ThumbelinaThe Princess and the Pea, dan Frozen. ”Saya juga membaca Agatha Christie.”
Dia dan ibunya kerap membaca bersama, bertukar buku, dilanjutkan dengan diskusi. Kelas IV SD, Intan mulai tertarik menulis dan diberi hadiah mesin tik oleh ibunya. ”Sebenarnya sih biar saya diam, tidak cerewet,” kata Intan, yang setahun kemudian mulai ngetik dengan komputer dan karangannya dimuat di majalah Bobo.
Kegemaran membaca itu semakin mendorongnya untuk menjadi penulis. Meskipun pernah bercita-cita menjadi perancang busana, obsesi itu terkubur ketika dia kuliah dan berinteraksi dengan Melani Budianta, seorang akademisi, intelektual, dan aktivis yang cerdas dan vokal. Di mata Intan, Melani adalah sosok yang berbeda dibandingkan akademisi kebanyakan. ”Kalau akademisi kayak gitu (Melani), saya mau kayak dia. Kalau tidak kenal dia, saya mungkin enggak akan ambil Phd.”
Dari dua perempuan itu dan bacaan-bacaannya, Intan belajar ”menampar”. Bacalah Sihir Perempuan atau Gentayangan, barangkali tamparan Intan juga mengenai Anda.
Dikutip dari Kompas edisi 24 Desember 2017

Malam Sunyi

Inilah awal dari sebuah cerita. Di suatu masa, ketika Kekhalifahan Utsmaniyah (Kesultanan Ottoman) berkuasa atas Tanah Palestina, kisah ini dimulai. Ottoman menguasai Palestina selama 400 tahun, 1517-1917. Ottoman membagi wilayah Palestina menjadi dua: bagian utara, yakni Distrik Acra dan Nablus, menjadi bagian dari Provinsi Beirut.
Sementara bagian selatan, yakni Distrik Jerusalem (yang di dalamnya termasuk Bethlehem), langsung di bawah kekuasaan Istanbul karena arti pentingnya secara internasional kota Jerusalem serta Bethlehem. Kedua kota menjadi pusat keagamaan bagi umat Yahudi, Kristen, dan Muslim.
Menurut catatan Ottoman, pada 1878, ada 462.465 penduduk yang mendiami Distrik Jerusalem, Nablus (yang sebelumnya bernama Sichem, tempat Allah menampakkan diri kepada Abraham/Ibrahim, Bapak Umat beriman, patriark tiga agama monoteis), dan Acra. Dari jumlah tersebut, 403.795 Muslim (termasuk Druze), 43.659 Kristen, dan 15.011 Yahudi. Selain mereka, sebenarnya masih ada sekitar 10.000 orang Yahudi berkewarganegaraan asing (imigran) dan beberapa ribu Bedouin Muslim yang hidup nomaden. Mereka tidak dihitung oleh Pemerintah Ottoman; tidak menjadi subyek hukum.
Pada awal abad ke-20, ketika Kesultanan Ottoman mulai melemah, kekuasaan Eropa memperkuat kuku kekuasaannya di kawasan Timur Tengah, termasuk Palestina. Ketika PD I berkobar (1915-1916), Komisioner Tinggi Inggris di Mesir Sir Henry McMahon secara diam-diam berhubungan dengan pemimpin keluarga Hashemit dan Gubernur Ottoman untuk Mekkah serta Madinah, Husayn ibn ‘Ali.
Kepada Husayn ibn ‘Ali, McMahon berjanji jika mendukung Inggris melawan Ottoman dan Jerman, Pemerintah Inggris akan mendukung pembentukan negara Arab merdeka di bawah kekuasaan keluarga Hashemit di wilayah Arab, termasuk Palestina, yang sebelumnya adalah Provinsi Ottoman (Lawrence of Arabia). Namun, di masa yang berdekatan, pada 1917, Menlu Inggris Lord Arthur Balfour mengeluarkan deklarasi yang kemudian disebut Deklarasi Balfour. Deklarasi ini menyatakan, Pemerintah Inggris mendukung pembentukan a Jewish national home in Palestine.
***
Selain dua janji itu, ada janji ketiga yang disepakati antara Inggris dan Perancis lewat Perjanjian Sykes-Picot (Mei 1916), yang ditandatangani oleh Sir Mark Sykes dan Francois Georges Picot. Mereka bersepakat untuk membagi Provinsi Arab Ottoman menjadi dua. Setelah PD I selesai (Ottoman kalah), Perancis atas persetujuan Liga Bangsa-Bangsa mendapatkan mandat atas wilayah Suriah dan wilayah Lebanon sekarang ini serta Cicilia Turki atau sering disebut Galilea Raya. Inggris mendapatkan mandat atas Irak, termasuk wilayah yang sekarang disebut Israel, Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Jordania.
Inggris lalu membagi wilayah mandatnya menjadi dua: sebelah timur Sungai Jordan menjadi Emirat Transjordan diperintah oleh Abdullah I bin al-Hussein, anaknya Husyn ibn ‘Ali. Sebelah barat Sungai Jordan, menjadi yang kemudian disebut Mandat Palestina. Inilah kali pertama, dalam sejarah modern, Palestina menjadi entitas politik bersatu.
Setelah Inggris berkuasa atas Palestina, mengalirlah imigran Yahudi ke Palestina (sesuai janji Deklarasi Balfour). Konflik antara Yahudi dan Arab, penduduk Palestina, sejak itu, mulai terjadi karena urusan tanah (1920 dan 1921), lalu menjadi konflik komunal di Jerusalem (1928). Pergolakan terus terjadi, imigran Yahudi terus mengalir, dan puncaknya pecah perang kemerdekaan (bagi Yahudi) atau Nakba (bencana) bagi Arab-Palestina.
***
Menjelang berakhirnya Mandat Palestina (29 September 1923 hingga tengah malam 14 Mei 1948), pada 29 November 1947, Majelis Umum PBB menerbitkan Resolusi Nomor 181/1947. Resolusi ini membagi Palestina menjadi dua negara: Yahudi (56 persen) dan Palestina (43 persen) dengan menjadikan Jerusalem dan Bethlehem sebagai corpus separatum(bagian tersendiri), zona internasional. Pihak Zionis Yahudi menerima resolusi itu; sebaliknya Arab Palestina dan negara-negara sekitar menolak. Mereka menganggap suara PBB mengkhianati kehendak internasional dan memberikan tempat hanya kepada orang Yahudi.
Sejak saat itu, perang terus berkecamuk. Ribuan orang Palestina dipaksa keluar dan meninggalkan kampung halaman mereka. Pada Desember 1947-1949, hampir 800.000 orang Palestina-belasan ribu di antaranya Kristen Palestina-mengungsi. Misalnya, pada 1948, ada 71.000 orang Palestina di Jaffa-sekitar 16.000 orang di antaranya Kristen Palestina-terpaksa menjadi pengungsi.
Lahirnya Israel (1949) juga menjadi Nabka bagi orang-orang Kristen Palestina. Banyak di antara mereka tak bisa lagi merayakan Natal di kampung halaman. Kamis, 25 Desember 1947, misalnya, menjadi perayaan Natal terakhir bagi komunitas Kristen Palestina yang tinggal di En Karem, Beisan, Al-Bassa, Suhmata, Safad, a l-Birwa, Safad, Mansoura, dan Ma’lul (Xavier Abu Eid: Desember 2016). Sejak saat itu, setiap kali Natal tiba, mereka dan keturunannya hanya bisa mengenang kampung halaman; kampung yang lebih dari 2.000 tahun silam bisa jadi pernah dikunjungi oleh Yesus Isa Almasih yang setiap tanggal 25 Desember diperingati tanggal kelahiran-Nya.
Hari raya Natal, yang semestinya menjadi hari kebahagiaan, hari cinta, hari persaudaraan, hari persatuan, hari keadilan, hari kebaikan hati, dan hari perdamaian, seperti hilang dari Tanah Palestina (dan juga di banyak tempat lain). Di mana-mana, kuasa kebencian, kekuatan ketidakadilan, semangat permusuhan, semangat pemecah-belahan, dan juga kuasa ketidakpedulian terhadap sesama semakin menguat.
Bukankah semangat persaudaraan, toleransi, kedamaian, saling menghormati, saling peduli, saling tenggang rasa, dan kebaik-hatian telah berbilang tahun, bahkan abad ditunjukkan oleh bersandingnya Gereja Kelahiran dan Masjid Umar ibn al-Khattab di Bethlehem (atau antara Gereja Makam Kristus dan Masjid Umar ibn al-Khattab di Jerusalem). Apakah semua itu akan runtuh karena hilangnya rasa cinta, rasa saling mengasihi, rasa kepedulian, toleransi, semangat saling menghormati sesama anak-anak Abraham? Padahal, bukankah Natal sebenarnya adalah kesunyian yang memancarkan cinta kepada sesama?
Dikutip dari Kompas edisi 24 Desember 2017

Kidung Natal

Menjelang Natal di tahun 1818, Klerikus Joseph Mohr, berusia 22 tahun, menemukan kerusakan cukup parah dari orgel Gereja St Nicholas. Rumah ibadat ini kecil, terletak di Oberndorf, sebuah desa di dekat Salzburg, Austria.
Mohr bingung. Kalaupun montir di Salzburg sanggup mereparasi orgel, berhubung jalan bersalju, begitu dia tiba di gereja, misa Natal pasti sudah selesai. Bagi pendeta muda ini, Natalan tanpa kidung yang diiringi alunan musik pasti hambar. Apalagi dia punya talenta musik.
Mohr berasal dari keluarga melarat, tetapi tak mau pasrah begitu saja pada nasib. Dia memanfaatkan talentanya, mencari uang dengan jalan bernyanyi, bermain biola dan gitar di depan umum, serta mengadakan pertunjukan keliling. Kerja keras dan talentanya menarik perhatian seorang rohaniwan dan menganjurkan dia untuk masuk seminari.
Dia dibaptis menjadi pendeta di tahun 1815 dan ditugaskan di Oberndorf tahun 1817. Di sini dia tidak hanya memimpin kebaktian sesuai ketentuan religius. Dia menimbulkan kekaguman di kalangan kongregasinya berkat ketangkasannya bermain gitar dan kepiawaiannya beralih dari musik rakyat ke aneka himne.
Kidung bersejarah
Ketika menghadapi masalah kerusakan orgel inilah Mohr mengunci diri di kamar studinya. Menyadari bahwa kidung tradisional Natalan tidak akan baik kedengaran apabila didengungkan melalui petikan dawai gitar, dia memutuskan untuk menciptakan suatu kidung baru.
Sambil menindih secarik kertas dengan tangan memegang pena bulu ayam, dia teringat pada satu keluarga jemaatnya yang baru-baru ini dia kunjungi ketika datang memberkahi bayi mereka yang baru lahir. Kenangan mengenai ibu yang menyelimuti bayinya agar tak kedinginan membuat pikiran Mohr melayang ke kelahiran lain dua ribu tahun yang lalu, kelahiran Kristus, juru selamat manusia.
Dia mulai menulis. Pena bulu ayamnya bergerak bagai dituntun oleh tangan yang tak kelihatan. Suatu refrein yang sangat menggugah tampil di atas kertas: ”Stille Nacht, heilige Nacht”, ”malam kudus, sunyi senyap”. Dia menceritakan mukjizat Natal dalam enam stanza. Kata-katanya mengalir lancar bagai langsung dari surga.
Waktu semakin mendesak. Pantun ciptaannya sudah selesai, tetapi masih perlu disiapkan berupa kidung guna dinyanyikan dalam misa tengah malam. Mohr memutuskan mengunjungi sahabat karibnya, Franz Xaver Gruber, usia 31 tahun, seorang guru sekolah di dekat Arnsdorf dan merupakan komponis yang lebih terampil daripada dia sendiri.
Walau hampir tak ada waktu untuk latihan ala kadarnya, Mohr dan Gruber sepakat tampil bersama. Mohr memetik gitar dan bernyanyi tenor, sementara Gruber bernyanyi bas. Sesudah setiap stanza, penyanyi koor gereja akan melantunkan refrein.
Pada tengah malam, di tengah-tengah hujan salju, para anggota jemaat berdatangan. Mereka kira orgel sudah direparasi dan bisa mengiringi Kidung Natal yang sudah biasa mereka nyanyikan dari waktu ke waktu. Namun, Mohr menjelaskan bahwa orgel masih belum bisa berfungsi. Walaupun begitu, misa tengah malam tetap diadakan disertai iringan musik. Dia dan Gruber telah menyiapkan suatu Kidung Natal khusus bagi kongregasi.
Bersamaan dengan bunyi gitar, suara-suara gabungan mengisi setiap pelosok gereja. Lantunan koor gereja bergabung secara harmonis pada tiap refrein. Semua anggota jemaat yang mendengar dengan khidmat sungguh terpesona dan segera mengagumi kidung baru yang semurni dan sesegar air Pegunungan Alpen. Akhirnya Mohr beralih ke peringatan misa dan kongregasi berlutut sambil berdoa. Perayaan Natal di Gereja St Nicholas berakhir memuaskan seperti sediakala. Suatu sukses yang sungguh tak terlupakan, diucapkan dari mulut ke mulut. Mereka sepakat untuk mengatakan bahwa kidung tidak hanya baru, tetapi ini baru kidung.
Meninggal dalam sengsara
Kelompok penyanyi Tyrol yang secara teratur tampil di berbagai pentas Eropa menambahkan ”Stille Nacht, heilige Nacht” ke dalam repertoar mereka. Kidung Natal baru ini gemanya menyeberangi Lautan Atlantik dan memesona Amerika, menyeberangi Lautan Hindia dan memesona penghuni seluruh penjuru dunia. Kidung ini dinyanyikan dalam bahasa-bahasa lokal—Swahili, Jepang, Rusia, Korea, China, dan Indonesia—dengan khidmat sekaligus dengan rasa tenteram, damai, dan gembira. Beberapa penyanyi tenar pernah menyanyikannya.
Mohr tidak pernah menduga Kidung Natal yang digubahnya akan mencapai lubuk hati para insan di setiap pelosok dan penjuru dunia. Dia meninggal dalam kesengsaraan karena pneumonia pada usia 55 tahun. Ketika Herr Gruber meninggal tahun 1863, hak ciptanya masih diragukan.
Lama-kelamaan Kidung Natal sederhana ini terasa punya cukup kekuatan batin untuk mampu menciptakan kedamaian sejati. Ketika berlaku gencatan senjata dalam Perang Dunia I, para serdadu Jerman di parit-parit pertanahan mereka mulai menyanyikan ”Stille Nacht”, segera dijawab oleh para serdadu Inggris dengan lagu ”Silent Night” dari parit pertahanan mereka. Kata berjawab, gayung bersambut. Anggota setiap pihak kemudian bermunculan di permukaan medan dengan melambaikan tangan masing-masing.
Selama perang serupa, di kamp tawanan Siberia, ketika serdadu Jerman, Austria, dan Hongaria melantunkan koor ”Silent Night”, komandan Rusia mengatakan kepada para tawanan dengan bahasa Jerman seadanya bahwa ”… Malam ini, untuk pertama kalinya selama lebih dari setahun, saya mampu melupakan bahwa Anda dan saya dianggap bermusuhan….”
Ketika Cekoslowakia dikuasai oleh Nazi-Jerman tahun 1941, seorang perwira Jerman yang mengunjungi rumah anak yatim piatu bertanya apakah ada di antara mereka yang mampu menyanyikan ”Stille Nacht”. Dua anak maju dengan ragu-ragu, sebab di negeri ini yang berbahasa Jerman biasanya orang Yahudi. Melihat keraguan itu, sang perwira berkata lembut, ”Jangan takut, bernyanyilah!”
Menjelang Natal di masa Perang Korea, seorang serdadu jaga Amerika mendengar langkah dari daerah musuh yang semakin mendekat. Dengan jari siap menembak, dia lihat sekelompok orang Korea muncul dari kegelapan malam sambil tersenyum. Selagi serdadu Amerika itu terbengong-bengong menyaksikan sikap musuhnya itu, mereka bernyanyi ”Silent Night” dalam bahasa Korea, khusus untuk dia, seorang Amerika. Sesudah itu mereka mundur kembali, menyatu dengan kegelapan.
Suasana syahdu berkat sinergi kekuatan syair dan melodi Kidung Natal rupanya meresapi lubuk hati mereka, tak beda dengan suasana lubuk kalbu insan di seluruh dunia ketika seorang pendeta dan guru sekolah melantunkan Kidung Natal untuk pertama kalinya, 193 tahun lalu.
Malam kudus, sunyi senyap… Selamat Natal dan Tahun Baru…
(Bahan tulisan ini diperoleh dari berbagai sumber otentik, di antaranya Per Ola dan Emily d’Aulaire).
DAOED JOESOEF, Alumnus Universitas Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne
Dikutip dari Kompas 23 Desember 2017

Arini Subianto


KEBANYAKAN orang berpikir menjadi anak orang kaya itu enak. Bisa hidup senang karena semua sudah diberi orang tuanya. Bagi perempuan terkaya di Indonesia, Arini Sarraswati Subianto, anggapan itu wajar saja. "Tapi kan mereka enggak tahu bagaimana saya 20-30 tahun yang lalu," ujar Arini kepada Tempo, Selasa pekan lalu.
Arini memimpin induk perusahaan yang bergerak di bidang batu bara dan kelapa sawit. Dia berada di peringkat ke-37 dalam daftar orang terkaya Indonesia versi majalah Forbes, yang dirilis awal Desember lalu, dengan kekayaan Rp 11 triliun. Arini mengatakan, saat remaja, temannya pernah nyeletuk, "Lo enak ya, tinggal minjam tas dari nyokap."
Kenyataannya, Arini dan dua adik perempuannya tak pernah meminjam tas atau barang-barang berharga dari ayah dan ibunya. "Mau pakai? Sudah punya uang? Kamu mau gaya-gayaan pakai tas aku? Kamu mesti usaha sendiri," kata putri sulung pengusaha Benny Subianto itu menirukan ucapan orang tuanya.
Begitu juga ketika bepergian dengan pesawat terbang. Arini memilih duduk di kelas ekonomi selama belum punya bisnis sendiri. "Kalau belum punya bisnis, bagaimana mau duduk di business class?" Ketika memulai usaha dengan membuka toko hadiah dan furnitur di Jakarta, dia juga mempertaruhkan semua tabungannya demi bisnis tersebut.
Di pihak lain, perempuan 46 tahun ini mengakui banyak orang yang dari kecil hidup enak belum tentu sukses saat dewasa. Karena itu, dia menanamkan prinsip tak ada jalan pintas untuk meraih sukses kepada anaknya, Azaria Rafi Mamuaya, 15 tahun, dan Azel Rasyid Mamuaya, 13 tahun. Dua buah hatinya itu punya ambisi di dunia olahraga dan musik. "Kalau belum pernah gagal, tak tahu rasanya berhasil," ucapnya.
Dikutip dari Majalah Tempo edisi Minggu, 17 Desember 2017

Perjalanan ke Sumba

Telah lama kami mendengar banyak keindahan alam dan budaya Sumba. Pada tanggal 26 November 2017 kami terbang selama 1 jam lebih ke Tambolaka, Waikabubak, setelah sebelumnya transit di Bandara El Tari, Kupang. Kami menginap di Hotel Sumba Sejahtera di Jalan Sapurata, Klena Wano, Kota Tambolaka, Kab. Sumba Barat Daya. Di airport kami dijemput oleh supir merangkap tour guide, Jhonny (081246086431) dan ia mengantar kami ke seluruh pelosok Sumba selama 6 hari. Suasana Sumba yang khas adalah padang rumput yang luas, sabana, pantai yang indah, alang-alang, dan kuda peliharaan di tempat terbuka. Penduduk Rote tinggal di rumah dengan atap terbuat dari daun lontar, sementara penduduk Sumba membuat atap rumah dari alang-alang.

Kami mengunjungi pantai yang sangat indah, Pantai Bawana, yang untuk mencapainya harus melewati tebing yang terjal sehingga banyak turis memilih untuk menikmati pemandangan dari Tanjung Mareha yang terletak di sebelah Pantai Bawana. Dari atas sana juga tampak keindahan Watu Maladong, Karang Bolong yang berbentuk seperti bukit kecil. Kami juga mengunjungi Kampung Adat Ratenggaro, sebuah kampung budaya yang masyarakatnya masih mempertahankan bentuk rumah adat asli Sumba. Kampung Ratenggaro terletak di Kecamatan Kodi Balaghar, Kab. Sumba Barat.

Di Sumba terdapat sekolah perhotelan bernama Sekolah Hotel Sumba asuhan Sumba Hospitality Foundation (SHF), sumbangan masyarakat Belgia dengan manajemen profesional dari mancanegara. Biaya pendidikannya hanya Rp 100.000 per bulan, dengan sistem boarding school, sehingga semua siswa menginap di sekolah dan ditanggung makan 3 kali sehari. Jadi sebetulnya biaya itu hanya untuk menunjukkan kesungguhan saja. Pelajaran masak gurunya dari Itali dan pelajaran Bahasa Inggris gurunya dari Amerika.

Selanjutnya kami melihat Bukit Ledongara, kemudian ke kesusteran Katolik membeli barang-barang khas Sumba terutama Jambu Mete. Lalu kami ke Danau Weekuri dan mengunjungi Pantai Mandorak. Di Sumba Barat kami mengunjungi Nihi Watu Resort, sebuah penginapan yang menjual kemewahan dan eksklusivitas dengan tarif USD 1000 per malam. Kami juga menyempatkan diri mengunjungi Desa Adat Tarung yang baru terbakar beberapa waktu yang lalu. Kepala sukunya, Rato, baru menikah dengan Miranda Risang Ayu, dosen terkemuka di Universitas Padjadjaran, Bandung. Kami juga mengunjungi pusat tenun Ama Tukang sebab Sumba terkenal dengan tenunnya yang indah dan bermutu tinggi. Tenun Sumba sekarang terkenal karena dipromosikan oleh Dian Sastro Wardhoyo. Tenun Sumba dengan bahan pewarna kimia harganya sekitar Rp 750.000, yang menggunakan pewarna organik harganya mulai Rp 1.250.000 ke atas. Ama Tukang menyediakan tenun ikat tradisional Sumba Timur dan Pahikung. Alamatnya di Jalan Hayam Wuruk no. 53 Kallu-Kaburu, Waingapu, Kab. Sumba Timur. Anda dapat menghubungi pusat tenun ini di nomor 085237474140. Di sini juga ada homestay Ama Tukang, tarifnya Rp 200.000 per malam sudah pakai aircon. Anda dapat memesan kamar dengan menghubungi nomor berikut 081236225231.

Kami makan malam di restoran terbaik di Tambolaka, namanya Warung Gula Garam.  Resto ini didirikan oleh Louis Parera, seorang Prancis-Portugal. Alamatnya di Bandar Udara Tambolaka Sumba Barat Daya telp 0387 2524019 atau 081236724266. FB: WARUNG GULA GARAM.

Tidak diragukan Pulau Sumba mempunyai masa depan yang sangat cerah.

Setelah selesai acara di Pulau Sumba kami kembali ke Jakarta dan mengurungkan rencana ke Bali karena situasi Gunung Agung. Penerbangan Waingapu sampai Jakarta sangat melelahkan, kami menempuhnya selama 18 jam melalui 3 kali delay di Waingapu, Kupang, dan Surabaya. Mungkin saran untuk ke Indonesia Timur sebaiknya menggunakan pesawat direct ke Kupang.

Koleksi foto:


Pantai Kita Sumba

Danau asin Weekuri

Nihi Watu Resort

Pantai Nihi Watu

Padang Savana

Penggembala kuda

Tenun Sumba Timur terkenal mutunya

Warung Gula Garam

Homestay Ama Tukang Rp 200.000 per malam pakai aircon

Akar mengkudu pewarna kain 

Dengan Rato, Kepala Suku Tarung

Pantai Mandorak

Pantai Mandorak

Tanjung Mareha

Kampung Rende

Loncatan di Savana

Sawah tadah hujan

Padang Savana dengan kuda

Perekatan tenun

Makan-makan di dermaga Kupang

Anak di Sumba Timur

Bukit Wairinding

Bukit Wairinding

Bukit Wairinding

Dengan Herman, Pantai Bawana

Pantai Indah Sumba Bawana

Tidak bisa lagu Indonesia Raya tapi bisa lagu ini






Perjalanan Ke Rote

Pada tanggal 23 November 2017 saya dan istri terbang ke Kupang. Kami mendarat di Bandara El Tari setelah menempuh perjalanan selama 3 jam dengan Batik Air. Pesawat yang kami tumpangi transit selama 2 jam di sana, kemudian kami melanjutkan penerbangan ke Pulau Rote selama 15 menit dan mendarat di Bandara DC Saundale, Rote. Di airport kami dijemput oleh pengendara taksi yang cekatan dan ramah, Vincent namanya. Anda bisa menghubungi Vincent di nomor 08113821107 jika ingin diantar jalan-jalan Rote juga lain kali.

Kami langsung menuju penginapan Lualemba Bungalows dan menginap di sana selama 2 malam. Sepanjang perjalanan banyak pohon lontar, pohon jambu mete, babi, sapi, dan kambing. Konon kabarnya babi hanya dimakan pada saat upacara adat. Kami beruntung sudah mulai musim hujan sehingga padang sabana mulai terlihat hijau. Lualemba Bungalows terletak 64 km dari airport. Memang pantai Lualemba adalah pariwisata yang bagus di Pulau Rote. Banyak wisatawan mancanegara datang untuk mencari ombaknya.

Kami kaget karena supir taksi tidak dapat menemukan Lualemba Bungalows, karena tidak memasang papan nama. Letaknya dekat dengan bibir pantai, sekitar 600 m saja, dan tidak memasang papan nama. Setelah kami menemukan lokasinya, kami membuka sendiri pintu gerbangnya. Kemudian mobil masuk dan berhenti di depan restaurant reception. Saya bingung, siapa yang di reception ini? Tidak ada siapa-siapa. Kemudian muncullah seorang wanita Rote, namanya Janet, istri dari David, seorang carpenter dari Australia. Ternyata ia adalah pemilik Bungalow tersebut. Tanpa basa-basi dan tanpa menanyakan identitas kami, langsung diberikan kunci kamar.

Bungalownya sederhana tanpa aircon, kamar mandinya di luar, tarifnya Rp 1.000.000 per malam termasuk makan 3 kali sehari. Penghuninya 90% adalah peselancar dari mancanegara. Kata Janet, hotel itu laku karena suaminya gila. Tamu yang kehabisan uang bisa bayar kapan-kapan. besoknya kami pun menyewa motor matic Rp 75.000 karena Pulau Rote kecil dan mudah untuk dikitari. Mengendarai motor adalah pengalaman yang menyenangkan setelah puluhan tahun saya dan istri tidak pernah berboncengan. Kami pun mengendarai motor secara bergantian. Untungnya jalanan di sana sepi sehingga kami bebas meliuk-liuk membawa motor sambil kagok-kagok sedikit.

Alamat Lualemba Bungalows: Pantai Nemberaki, dimiliki dan dioperasikan oleh Jenet dan David Ralph 081237404137 atau 081239478823. Email: lualembarote@gmail.com. Website: www.lualemba.com

Kami mengunjungi pusat tenun tradisional Rote di Baa, Ibukota Rote. Posisinya di sebelah kali. Harga tenun berkisar dari Rp 250.000 - Rp 500.000. Tenun Rote bernuansa hitam dan merah. Ciri khas Pulau Rote adalah tanaman lontar yang dipakai sebagai atap dan alat musik khas Rote Sasando. Mereka juga membuat gula merah yang terkenal dari nira pohon lontar.

Koleksi Foto

Seeds Resort Pantai Lua Lemba

Sasando khas Pulau Rote terbuat dari daun lontar

Penyeberangan ke pulau terluar, Pulau Ndana dekat Darwin
Sunsets di Pantai Nemberala


Membagikan ballpoint ke anak-anak

Bungalow sederhana di Lualemba

Danau tua di Pulau Rote

Pantai Nelayan Lualemba

Daun kelor, sayur sehari-hari masyarakat Pulau Rote

Rumah tua Pulau Rote

Rumah Tua Pulau Rote

Pantai khas Rote

Karang Bolong Pulau Rote

Dermaga penyeberangan ke pulau terluar