Lelah Mengasyikkan


Vokalis jazz Imelda Rosalin Simangunsong (45) merasa selalu membutuhkan waktu untuk latihan bersama apabila akan tampil di panggung. Meski terasa melelahkan, dia tetap meluangkan waktunya.
“Grup enggak boleh bongkar pasang pemain. Sulit menjadi grup yang solid kalau kita tidak mau sama-sama menyisihkan waktu untuk latihan. Sejago apa pun pemainnya, kekompakan bermain musik sangat diperlukan, apalagi main musik jazz,” kata Imelda seusai acara Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Financial Club untuk subsektor musik di Bandung, Jawa Barat, Selasa (21/11).
Imelda bersama grupnya, Salamander Big Band, sedang mempersiapkan konser jazz Tribute to Riza Arshad di Institut Teknologi Bandung yang digelar pada Kamis (23/11). Riza adalah musisi kelas dunia yang sering menjadi mentor bagi musisi-musisi muda. Konser ini digelar memperingati ulang tahun ke-11 Salamander Big Band.
Imelda mengatakan, big band ini punya personel yang tidak seperti band lain. Jumlah personel mencapai 30 orang.
“Kami enggak pernah menunggu job untuk pentas, tetapi secara rutin menggelar konser. Paling tidak, 3 sampai 4 kali setahun. Kebetulan di Bandung, kami punya banyak pemain alat tiup yang mempunyai skillcukup bagus. Personel big band dituntut tidak hanya bisa bermain jazz, tetapi juga lancar membaca not balok,” ujar Imelda yang juga salah satu pendiri Yayasan Bandung Musik Indonesia. (OSA)

Dikutip dari Kompas edisi 22 November 2017

Bertemu Para Komodo



Bisa lihat komodo? Tanya seorang kawan lewat aplikasi percakapan saat diberitahukan kepadanya ihwal operator wisata yang melayani pelesiran ke sejumlah pulau dalam kawasan Taman Nasional Komodo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur.
Kerumunan ikan tersebar di titik penyelaman Batu Bolong, Kawasan Taman Nasional Pulau Komodo, Manggarai Barat, saat tim Ekspedisi Terumbu Karang Kompas melakukan penyelaman, Rabu (30/8).
FOTO-FOTO: KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Kerumunan ikan tersebar di titik penyelaman Batu Bolong, Kawasan Taman Nasional Pulau Komodo, Manggarai Barat, saat tim Ekspedisi Terumbu Karang Kompas melakukan penyelaman, Rabu (30/8).
Pertanyaan itu, bisa dijawab “iya” pada waktu-waktu tertentu, dan “tidak” pada masa lainnya. Musim kawin komodo (Varanus komodoensis), dengan puncaknya pada Juli-Agustus adalah sebabnya.
 Komodo yang ditemui di Kawasan Taman Nasional Komodo.
Komodo yang ditemui di Kawasan Taman Nasional Komodo.
Pada saat itu, komodo akan cenderung menghilang dari peredaran untuk kawin. Selain itu, fakta bahwa komodo hidup di alam liar juga menambah ketidakpastian.
Trekking atau berjalan berkeliling untuk melihat komodo menjadi salah satu kegiatan di Taman Nasional Pulau Komodo.
Trekking atau berjalan berkeliling untuk melihat komodo menjadi salah satu kegiatan di Taman Nasional Pulau Komodo.
Namun, tetap saja, banyak wisatawan berdatangan untuk menjumpai satwa purba tersebut karena berdekatan dengan masa liburan sekolah. Biasanya pula, ada saja individu satwa purba tersebut ditemukan. Seperti saat kami mampir ke Pulau Komodo yang ditumbuhi pepohonan asam, lontar, bidara, dan gebang persis di pengujung musim kawin pada Kamis (31/8) lalu.
Kapal-kapal yang mengantar wisatawan bersandar di sekitar Pantai Merah atau “Pink Beach”.
Satu individu kami temukan tak jauh dari gerbang Loh Liang sebagai pintu masuk Taman Nasional Komodo. Tiga individu lain kami temukan di sekitar kawasan penginapan untuk keperluan riset yang dinaungi sejumlah jenis pepohonan.
Wisatawan menikmati Pantai Merah.
Wisatawan menikmati Pantai Merah.
Di antara temuan itu, sejumlah jejak kotoran komodo berupa feses berwarna putih dengan bulu- bulu hitam mencuat teronggok di beberapa sisi jalur pendakian. Warna putih diduga berasal dari tulang satwa yang dimangsa, mengingat komodo melumat utuh setiap makanannnya, dan bulu-bulu hitam diduga jejak keberadaan unggas atau burung yang dilahapnya.
Empat individu komodo itu diperkirakan berusia di atas 30 tahun. Perilaku mereka yang seakan tidak peduli pada pengunjung, hanya berbaring leyeh-leyeh, dan tidak turut hiruk-pikuk musim kawin diduga karena masing-masing merasa tak lagi sanggup bersaing.
Rafael Foan Aryzona Putra yang akrab disapa Aryz, petugas Taman Nasional Komodo yang menemani kami mengambil rute trekking jalur pendek, mengatakan, pada umur segitu, hasrat komodo untuk kawin mungkin kalah oleh individu lebih muda. Masa hidup komodo antara 40 tahun dan 50 tahun. Populasi jantan dan betina dalam perbandingan 4 : 1 menambah kepelikan itu. Aryz menyebutkan, terdapat 1.337 komodo di Pulau Komodo, 1.473 ekor di Pulau Rinca, 4 ekor di Pulau Padar, 90 ekor di Pulau Gilimotang, dan 80 ekor di Pulau Nusakode.
Padahal, kawasan yang ditetapkan sebagai taman nasional sejak 1980 dan pada 1986 sebagai World Heritage Site and a Man and Biosphere Reserve oleh UNESCO pada 1986 itu tidak hanya menyimpan eksotisme komodo. Kakaktua kecil jambul kuning (Cacatua sulphurea parvula), yang empat ekor di antaranya juga kami temukan tengah bertengger di atas pohon gebang (Corypha utan) adalah spesies yang populasinya juga diawasi ketat.
Melayari Komodo
Berlayar menuju sejumlah pulau, dan tentu saja titik-titik penyelaman, dalam kawasan tersebut adalah keputusan terbaik yang bisa diambil untuk bersenang-senang di daratan dan lautan Komodo. Kami memutuskan menumpang dua jenis kapal berbeda dan beraktivitas selama 24 jam (liveaboard), masing-masing selama 3 hari 2 malam, di kedua kapal tersebut.
Pertama Kapal Layar Motor (KLM) Adishree berjenis pinisi pada 28-30 Agustus, dan KLM Kalaki yang termasuk pelayaran rakyat pada 31 Agustus-2 September. Tarif resmi KLM Adishree untuk program 3 hari 2 malam adalah 6.500 dollar AS, sedangkan durasi sama untuk KLM Kalaki adalah Rp 15 juta.
Kapten Adishree Nasrul Nasir (35) menyebut, sejauh ini jadwal pelayaran kapal itu selalu penuh. Sejak beroperasi Mei 2016, Adishree hanya menjalani satu kali docking selama sepekan pada Februari lalu.
Itu pun bukan masa libur bagi Nasrul. Ia tetap bekerja dengan mengawasi perbaikan minor itu sembari turut menggosok badan kapal, memperbarui cat, dan sebagainya.
“Penuh terus. Belum pernah libur,” ujar Nasir. Ia seolah hendak menunjukkan geliat pariwisata di kawasan itu yang tengah berkembang.
Para tamu didominasi wisatawan dalam negeri. Adapun tamu asing berasal dari Amerika, Jepang, dan Korea. Tamu-tamu dilayani sejumlah anak buah kapal, seperti Bernadinus Egal (22), Vinsensius Afrianus Berno (19), Muhammad Natsir (45), Arman Maulana (27), Irenius G Phili (23), Asdar (39), dan Benyamin Nidua (40) di bawah kepemimpinan Nasrul.
Pengalaman menjadi kapten kapal wisata sejak tahun 2000, untuk kapal surfing dan diving, membawa Nasrul ke sejumlah lokasi eksotis di Nusantara. Ia menyebut perairan di Kepulauan Mentawai, Nias, Sumba, dan Rote sebagai lokasi-lokasi terbaik untuk melakukan aktivitas surfing.
“Tapi kalau untuk diving hanya di Komodo,” ujarnya mantap. Nasrul berargumen, sembari sesekali mengatakan perairan Komodo sebagai “paling istimewa,” hal itu menyusul kondisi terumbu karang yang relatif lebih sehat.
Keadaan arus, yang oleh sebagian orang dilihat sebagai kendala dan oleh sebagian lagi dianggap sebagai daya tarik, menurut Nasrul, tetap bisa dihadapi. Waktu jeda antarkondisi arus di sejumlah titik, dan sikap tidak meremehkan keadaan alam, menurut Nasrul, adalah dua kunci untuk menghadapi keliaran alam tersebut.
Maka, Adishree yang dibangun di Bira, Bulukumba, Sulawesi Selatan, pada 2015 langsung membawa kami ke titik penyelaman pertama di Sebayur Kecil pada Senin (28/8) siang. Dua dive master bernama Ardus Egitadeus (29) yang akrab dipanggil Egi dan Rudyansah (45) memandu kami menjalani check dive untuk memastikan segala aspek teknis penyelaman, termasuk kondisi fisik dan psikis, memenuhi syarat untuk melanjutkan kesenangan.
Egi yang berasal dari dataran tinggi Ruteng, Manggarai, NTT, dan sebelumnya menjalani aktivitas berkebun kopi di kawasan kaki pegunungan sebelum jatuh cinta pada laut berulang kali mengingatkan tentang aspek keselamatan. Dilengkapi gambar mengenai topografi dan arus bawah laut lokasi penyelaman yang direka Rudy, Egi yang berambul gimbal memberikan taklimat dengan gaya menghibur tanpa kehilangan esensi.
“Kita tahu Komodo banyak arus, kadang-kadang penyelam profesional mau coba. Ngapain kita menantang alam. Tolong ikuti rule,” kata Egi diiringi senyum. Maka itu juga yang kami jalankan selama menyelami empat titik selanjutnya. Masing-masing Shotgun dan Castle Rock pada Selasa (29/8) serta Batu Bolong dan Taka Makassar pada Rabu (30/8).
Banyak arus dan relatif kuat. Itulah yang kami rasakan dalam penyelaman di Komodo. Konsekuensinya adalah pengaturan waktu, menyusul momen dinanti tatkala arus bisa dijinakkan, dan tuntutan kekuatan fisik serta penggunaan udara yang relatif lebih boros.
Akan tetapi, tantangan itu terbayar dengan kekayaan dan keragaman biota laut yang dijumpai. Batu Bolong, yang juga disebut sebagai Aquarium Komodo oleh pemandu selam menjanjikan perjumpaan dengan berbagai jenis ikan berukuran besar yang cenderung diam saat dipotret.
Sebut saja misalnya ikan napoleon (Cheilinus undulatus) dengan ukuran sekitar 1 meter yang berenang tenang dan cenderung menanti untuk didekati dan diabadikan. Atau moral eel yang bersembunyi di balik karang dengan mulut bergigi yang membuka dan mengatup, serta meninggalkan kesan angker.
Juga ikan pari berduri bluespotted ribbontail ray (Taeniura lymma) yang menanti di dasar samudra. Tentu saja, beratus spesies terumbu karang turut menemani petualangan di dalam samudra.
Sesi penyelaman hari pertama dan kedua ditutup dengan trekking ke dua sisi berbeda perbukitan Pulau Gililawa Darat. Privilese untuk menikmati matahari terbenam dari dataran tinggi itu juga menjadi tujuan sejumlah pengunjung, sekalipun tumpukan dan ceceran sampah plastik terlihat di salah satu titik pulau dan di sebagian sisi pantai.
Tidak hanya wisatawan Indonesia, tetapi pengunjung dari sejumlah negara Eropa dan China turut mendaki perbukitan terjal, berbatu, serta penuh debu sebelum tiba di puncak. Sebagian langsung mengambil posisi duduk dan menyendiri menanti terbenamnya mentari, sebagian lagi berkelompok dan merayakan dengan sesi pemotretan, minuman, dan canda tawa.
“Kerja di laut ini harus lucu karena kalau tidak, akan bosan,” kata Egi. Bapak dua anak itu berkali-kali menitip pesan kepada kami agar orang-orang menjaga kelestarian terumbu karang di perairan Komodo sebagai jaminan keberlangsungan hidup industri pariwisata dan kehidupan orang-orang di kawasan tersebut.
Sementara dalam pelayaran dengan KLM Kalaki bersama Erwin (44) sebagai kapten kapal dan Basri (31) serta Anas (21) sebagai anak buah kapal yang sebagian tugasnya sebagai juru mudi dan juru masak, kami menuju mendarat di Pulau Komodo, Pulau Papagarang, dan Pulau Rinca. Ribuan kelelawar di sekitar perairan Pulau Kalong dan padatnya permukiman di Pulau Mesa yang dikelilingi mooring buoy penambat kapal.
Kami juga mampir sebentar ke perairan Pink Beach yang ramai dipenuhi wisatawan melakukan aktivitas snorkeling. Dinamai “Pink Beach” karena warna merah muda di sebagian pasir pantainya.
Warna yang berasal dari cangkang mikroorganisme foraminifera mati yang terbawa ke pantai dan bercampur bersama pasir dan patahan karang itu memesona orang-orang, untuk berjemur atau sekadar berfoto.
Jadi, apakah bisa liat komodo? Kemungkinan besar bisa, serta ditambah banyak yang lain.
(Ichwan Susanto/Antonius Ponco Anggoro/Ingki Rinaldi)
KOMPAS NEWSPAPER
Taman Nasional Komodo di Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur berisikan kesenangan. Kesenangan di lautan. Kesenangan di daratan.

Dikutip dari Kompas edisi 19 November 2017

Bersiap Ikut Maraton



Penyanyi Andien berniat ikut Bank Jateng Borobudur Marathon 2017 di kawasan Candi Borobudur, di Magelang, Jawa Tengah, 19 November mendatang.

“Rencananya, sih, mau ikut yang 10 kilometer, semoga bisa karena aku mesti menyanyi dulu di acara pembukaan maraton. Setelah itu, menyanyi lagi saat peserta memasuki garis akhir. Semoga di sela-sela itu bisa ikut lari, he-he,” ujar Andien, Rabu (15/11), di Jakarta.

Oktober lalu, Andien bersama anaknya, Kawa, ikut maraton sejauh 10 kilometer. Persiapan Andien cukup serius waktu itu. Ia sampai ikut latihan maraton selama 1,5 bulan. “Aku sebenarnya enggak hobi lari, tetapi adikku, Diego Yanuar, mengajak ikut maraton. Ya, sudah aku coba saja dan ternyata lari 10 kilometer enggak terasa capek. Kami finis dengan waktu wajar. Kawa yang ditaruh di kereta dorong juga enggak rewel,” tuturnya.

Untuk mengikuti Borobudur Marathon 2017, Andien juga menyiapkan diri. Biduan yang baru melepas album baru berjudul Metamorfosa itu akan melihat kondisi jalan yang akan dipakai sebagai lintasan maraton. “Kalau memungkinkan, ya, ikut lari,” kata Andien yang akan mengajak suaminya, Ippe; juga Kawa dan Diego untuk ikut maraton yang digelar Bank Jateng dan harian Kompas itu. (TRI)

Dikutip dari Kompas edisi 17 November 2017

Kegigihan Cut Nyak Dhien


Aktris Sha Ine Febriyanti akan bermonolog pada Kamis (16/11) pukul 19.30 malam ini di Bentara Budaya Jakarta (BBJ). Dia memerankan tokoh Cut Nyak Dhien dalam lakon Cut Nyak Dien. Ine menampilkan sisi lain sosok perempuan pejuang itu.

“Cut Nyak Dhien dari sisi kelembutan sebagai perempuan. Bagaimana dia pada hari-hari ketika kehilangan suaminya. Dari sisi pejuang yang diasingkan,” kata Ine seusai berlatih di BBJ pada Rabu (15/11) siang.

Monolog berangkat dari naskah yang digarap Ine bersama Agus Noor. Digambarkan, saat perempuan gigih itu berada di pengasingan di Sumedang, Jawa Barat. “Aku mencoba memasuki ranah batinnya, berempati dengan perjuangan dan kesedihannya,” kata Ine.

Mengapa memilih tokoh Cut Nyak Dhien, Ine merasa tiba-tiba ingin mementaskan tokoh tersebut. Hal serupa juga ia alami ketika akan memainkan tokoh Gayatri. “Pokoknya tiba-tiba ingin. Mungkin kesamber atau piye. Alasan baru muncul belakangan,” kata Ine.

Saat pentas Gayatri pada Oktober lalu, Ine menemukan konteks tentang persoalan keberagaman di Indonesia. Dalam Cut Nyak Dhien, Ine tergelitik oleh pertanyaan tentang pengkhianat. “Suatu saat nanti, anak cucuku akan bertempur dengan pengkhianat yang lahir dari bangsa sendiri,” kata Ine mengutip naskah monolog. (XAR)

Dikutip dari Kompas edisi 16 November 2017

Pahlawan Sejati dan Pahlawan Kesiangan

Oleh: M Subhan SD

Cornelis de Houtman (1565-1599) adalah orang Belanda pertama yang dikenal di Indonesia. Ketika belajar di SD dulu, kisah pendaratan Cornelis di Banten tahun 1596 menjadi titik awal sejarah kelam kolonisasi Belanda di negeri ini. Dalam ekspedisi keduanya pada 1598, bersama saudaranya, Frederik de Houtman, kapal Cornelis mendarat di Aceh pada 1599. Karena motif penaklukan, Aceh memberi perlawanan sengit. Cornelis takluk di tangan perempuan pejuang Aceh: Laksamana Malahayati. Dalam duel satu lawan satu di geladak kapal pada 11 September 1599, Cornelis tewas di tangan Laksamana Malahayati. Sementara Frederik ditawan selama dua tahun di Benteng Pidie.
Malahayati adalah sosok luar biasa. Patriot pemberani pembela bangsa. Ia adalah perempuan laksamana pertama tatkala gelombang pengelanaan dunia sejak abad ke-15 didominasi kaum laki-laki. Malahayati sudah mengawali jauh dari zaman emansipasi. Keberanian Laksamana Malahayati mendengung kembali setelah memperoleh gelar pahlawan pada Hari Pahlawan 2017. Kamis (9/11), empat pejuang mendapat gelar pahlawan sesuai Keputusan Presiden Nomor 115/TK/2017. Selain Laksamana Malahayati, juga Tuan Guru Kiai Haji Muhammad Zainuddin Madjid (Nusa Tenggara Barat), Sultan Mahmud Riayat Syah (Kepulauan Riau), dan Lafran Pane (DI Yogyakarta).
Tuan Guru Zainuddin Madjid (1908-1997) adalah tokoh nasionalis, tokoh pendidikan, ulama besar. Ia adalah pejuang yang memajukan umat Islam dan kebangkitan bangsa dan tanah air, antara lain mendirikan Nahdatul Wathan (Kebangkitan Bangsa). Pahlawan lain Sultan Mahmud Riayat Syah (Sultan Mahmud Syah III). Ia adalah pejuang yang gigih melawan Belanda, termasuk mengobarkan perang di Teluk Riau dan perairan Malaka pada 1784. Satu lagi Lafran Pane (1922-1991), pendiri organisasi mahasiswa HMI pada 1947, yang kadernya banyak menjadi penguasa sampai hari ini. Adik pujangga Sanusi Pane dan Armin Pane ini berjuang membela Republik Indonesia yang baru saja diproklamasikan.
Seperti sosok-sosok pahlawan sebelumnya, kisah empat pahlawan tersebut bukanlah tentang kisah pribadinya, melainkan tentang perjuangan mereka membela bangsa dan tanah air, tentang darma bakti mereka pada nusa dan bangsa. Mereka terpanggil menuntaskan tugas suci (mission sacre) pada bangsanya. Mereka memilih jalan yang senyap, seperti peribahasa “lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup dijajah”. Karena sosok berjiwa-jiwa mulia itulah, Indonesia menjadi bangsa merdeka yang bermartabat. Kata penulis Amerika Serikat, Joseph Campbell (1904-1987), pahlawan adalah mereka yang memberikan hidupnya untuk hal yang lebih besar dari dirinya sendiri.
Lalu apa makna kepahlawanan pada era sekarang? Masih adakah darma bakti untuk Ibu Pertiwi? Memang, ada yang berceloteh bahwa pahlawan itu tergantung persepsi sudut pandang masing-masing. Bagi kita orang Indonesia, Teuku Umar (1854-1899), Pattimura (1783-1817), Sudirman (1916-1950), misalnya adalah pahlawan bangsa. Tetapi, orang Belanda melihatnya sebagai pemberontak, penjahat, pembuat onar. Orang Filipina mengagungkan Jose Rizal (1861-1896) sebagai pahlawan mereka, tetapi Spanyol menghukum mati sebagai pemberontak. Pahlawan orang Amerika Serikat seperti George Washington (1732-1799) dan Thomas Jefferson (1743-1826) pun disebut pemberontak oleh kolonialis Inggris.
Namun, yang perlu diingat ada “nilai” yang menjadi ukuran di atas perbedaan persepsi itu. Bahwa pahlawan sejati itu memiliki kesadaran untuk memperjuangkan “nilai-nilai kemanusiaan”. Ini bersifat universal, melintasi batas-batas teritori dan batas-batas identitas diri. Universalisme nilai-nilai kemanusiaan sulit dibantah oleh argumentasi apa pun. Penjajahan, penindasan, eksploitasi, penistaan, kekejaman, ketidakadilan, adalah nilai-nilai yang bertentangan dengan kodrat manusia. Penjajahan, misalnya, bukan cuma pengalaman buruk bangsa Indonesia, melainkan juga penderitaan yang dialami bangsa-bangsa di Asia Afrika, Asia, Amerika Selatan. Makanya, paragraf pertama Pembukaan UUD 1945 tegas-tegas mengumandangkan, “.maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.
Apabila melongok apa yang terjadi dewasa ini, praktik-praktik tak manusiawi ada di depan mata: diskriminasi, penindasan, kekejaman, penghinaan. Bahkan, hari ini, ada pemegang mandat rakyat justru tidak amanah, tidak adil, suka menistakan orang lain. Itulah representasi watak-watak yang tidak manusiawi dan watak penjajah, bukan watak kepahlawanan. Di panggung politik, misalnya, hipokrisi menjadi fenomena paling kentara. Semenjak era baru reformasi, tidak mudah menemukan pemimpin yang menyejukkan. Justru banyak pemimpin yang suka melemparkan bensin di atas percikan api. Mereka kerap meruncingkan sesuatu yang berbeda. Mementingkan diri sendiri. Buktinya banyak pemimpin yang terbelit korupsi. Rasanya jauh dari nilai-nilai kepahlawanan.
Panggung politik hari ini rasanya sangat jauh dari harapan Aristoteles (384-322 SM) sebagai tempat suburnya watak-watak mulia. Politik hari ini justru tampak tak malu mempertontonkan watak-watak buas-licik, perpaduan singa dan rubah seperti anjuran Machiavelli (1469-1527). Sangat berbeda dengan kepahlawanan Laksamana Malahayati, Tuan Guru Zainuddin Madjid, Sultan Mahmud Riayat Syah, dan Profesor Lafran Pane. Kita berutang kepada mereka. Apakah semangat juang mereka menyadarkan pemimpin sekarang? Entahlah kalau sudah mati rasa. Atau, jangan-jangan sekarang memang banyak “pahlawan kesiangan” yang merasa paling berjasa meskipun tak melakukan apa-apa.
Dikutip dari Kompas rubrik Politik dan Hukum edisi 11 November 2017



Catatan Perjalanan Aceh



Awal bulan November ini, saya berkesempatan untuk mengunjungi provinsi paling barat Indonesia yaitu Nanggroe Aceh Darussalam. Keistimewaan Aceh tentu saja karena Aceh tidak pernah dijajah oleh Belanda. Aceh memiliki mental yang merdeka. Kita sangat berbahagia karena panglima perang, wanita berdarah Aceh, Keumalahayati atau akrab disapa Malahayati, baru saja mendapat gelar Pahlawan Nasional pada Hari Pahlawan beberapa hari yang lalu.



Pada tahun 1599,  kapal Cornelis de Houtman (1565-1599) bersandar di Aceh dengan tujuan penaklukan. Laksamana Malahayati menepis dengan gagah berani dan terjadilah duel satu lawan satu di geladak kapal Belanda itu, sehingga Cornelis tewas pada tanggal 11 September 1599 dalam hunusan pedang wanita ini. Malahayati adalah sosok luar biasa. Patriot pemberani pembela bangsa. Ia adalah perempuan laksamana pertama yang menolak penjajahan tatkala gelombang pengelanaan dunia didominasi kaum laki-laki.

Saya terbang dengan pesawat langsung dari Jakarta dan setelah mendarat saya langsung berziarah ke pemakaman massal Siron, korban tsunami.



Setelah itu, mencicipi warung kopi Solong, tertua di Aceh. Alamatnya di Jalan Lamlumpang, Ulee Kareng, Kota Banda Aceh. Rasanya memang nikmat dan segar. Saya juga mengunjungi sisa-sisa tsunami antara lain PLTD Apung milik PLN yang terdampar ke tengah kota.



Saya sengaja memilih hotel Hip Hop yang terletak 100 meter dari Masjid Raya Aceh, Masjid Baiturrahman. Sangat memudahkan untuk ibadah. Masjid Raya Aceh tetap megah dan suasana ibadah terasa sangat kental. Serasa di Madinah. Saya mengunjungi juga Pantai Puleelheue dan coffee shop Khacharayeuk di Jalan Lamgugob, Syiah Kuala, Kota Banda Aceh.





Di depan Masjid Raya Aceh, ada sebuah taman sari yang diberi nama Bustanussalatin. Kami juga mencoba rumah makan khas Aceh, Rumah Makan Syah Kuala. Tidak lupa kami mengunjungi Museum Tsunami yang bertengger dengan gagah di depan taman sari Bustanussalatin, karya arsitek Ridwan Kamil. Hal yang paling menarik adalah pemutara film tsunami yang diputar berulang-ulang untuk para pengunjung yang tidak dipungut bayaran. Saya tak lupa mampir di Pantai Kuala Cut dan menikmati kuliner khas rempah-rempah Aceh yang kuat di Restoran Bardi. Resto Bardi terletak di Jalan Residen Dabu Broto Lamlagang, Banda Aceh.











Saya juga berkesempatan mengadakan diskusi dengan Persatuan Ahli Tambang Indonesia (Perhapi) Student Chapter Aceh membahas berbagai hal mengenai masa depan Aceh. Di komunitas ini saya juga bertemu dengan Duta Pariwisata Aceh tahun 2014, Devi Pratiwi.






Saat ini masyarakat Aceh sedang bersukacita karena ditemukan satu cekungan fluida yang sangat besar di Aceh barat. Walaupun belum diketahui kandungannya apakah air, minyak, atau gas. https://seruindonesia.com/2017/11/10/setelah-tsunami-2004-ditemukan-cadangan-minyak-bumi-di-aceh-melebihi-arab-saudi/



Contoh untuk Anak


Vokalis band Nidji, Giring Ganesha (34), sedang menjalani perkuliahan di Universitas Paramadina, Jakarta. Jadwal kuliahnya tidak setiap hari. Namun, ada jam kuliah yang mulai pukul 09.00. Agar tiba di kampus tepat waktu, ia berangkat pukul 08.00 dan naik bus transjakarta.

“Sekarang aku pilih naik angkutan umum seperti transjakarta. Dari rumah ke kampus aku naik transjakarta Koridor 13. Enak, enggak panas, dan lebih cepat sampai tujuan ketimbang naik mobil sendiri,” katanya, pekan lalu, di Jakarta. Ia menambahkan, mobilnya dipakai untuk antar-jemput anaknya ke sekolah.

Meski sebagian besar teman kuliahnya anak muda generasi milenial, Giring tak merasa kikuk. “Bukan hanya teman kuliah, dosen pun ada yang berusia lebih muda dari saya he-he. Saya, sih, santai aja,” katanya.

Giring yang juga pencipta lagu dan punya bisnis di bidang media online memutuskan kuliah lagi karena ingin memberikan contoh yang baik bagi anaknya. “Dulu ibuku ingin aku menjadi diplomat, tapi aku malah lebih senang main musik. Kuliah di jurusan hubungan internasional aku tinggal,” ujar lelaki yang aktif di Partai Solidaritas Indonesia itu.

Harapan sang ibu pun tidak tercapai. Akan tetapi, dengan menyelesaikan pendidikan, Giring berharap anak-anaknya kelak tetap bersemangat bersekolah sembari menjalankan hobinya. (TRI)

Dikutip dari Kompas rubrik Nama & Peristiwa edisi 10 November 2017

Maaf, Jokowi Sedang Mantu

Oleh: M Subhan SD
Dari tayangan langsung televisi, di Solo Ketua DPR Setya Novanto terlihat sehat saat menghadiri acara pernikahan putri Presiden Joko Widodo, Kahiyang Ayu, dengan Bobby Afif Nasution, Rabu (8/11). Ketua DPR yang juga Ketua Umum Partai Golkar ini hadir di antara para undangan. Tampak sehat. Jauh dari penampakan saat ia terbaring di RS Premier Jatinegara, Jakarta, akhir September. Kala itu Novanto sakit sehingga mangkir dari panggilan KPK setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus KTP elektronik pada Juli lalu.
Ketika dirawat di rumah sakit, beredar luas foto Novanto. Kondisinya memprihatinkan. Tubuhnya tergolek lemah di ranjang pasien. Di wajahnya terlihat masker dan selang-selang. Kelihatannya sakitnya parah sekali. Tetapi, ada yang jeli melihat kejanggalan di foto itu. Terlihat alat detak jantung EKG yang menunjukkan garis lurus (flat). Nah, itulah yang langsung viral dan terus direproduksi menjadi meme lucu-lucu. Sekarang ini meme itulah di antaranya yang diperkarakan Novanto.
Saat dirawat di rumah sakit itu, praperadilan yang diajukan Novanto terhadap penetapan tersangka dirinya berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Dalam praperadilan yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (29/9), hakim tunggal Cepi Iskandar memutuskan penetapan tersangka Novanto dalam kasus dugaan korupsi KTP-el oleh KPK tidak sah. KPK pun diminta menghentikan penyidikan terhadap Novanto.
Banyak orang menang taruhan karena tebakannya tepat: Novanto lolos dari belitan kasus KTP-el. Lalu kembali kicauan di media sosial (Twitter) yang viral dengan tagar #ThePowerOfSetnov. Lucu, kritis, menggelitik, agak sarkas. Novanto memang politikus kuat, lihai, piawai. John Foster (2011) berpuisi menggoda, “politikus lihai tahu kapan menarik pukulan dan kapan memetik dawai-dawai indah”. Kini dua pimpinan KPK, Agus Rahardjo dan Saut Situmorang, diperkarakan di kepolisian atas dugaan pemalsuan surat dan penyalahgunaan wewenang.
Pekan-pekan itu pula tersiar kabar Yorrys Raweyai dicopot dari jabatannya sebagai Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Partai Golkar. Yorrys juga Ketua Tim Kajian Elektabilitas Partai Golkar. Menurut kajian tim, kasus KTP-el berdampak besar terhadap penurunan elektabilitas Partai Golkar. Yorrys dianggap bermanuver dan kritis terhadap penonaktifan Novanto. Dua hari setelah putusan praperadilan, Novanto pulang dari rumah sakit. Sudah membaik.
Sepekan ini beredar surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) berkop KPK yang ditujukan kepada Novanto. Namun, Novanto menolak diperiksa KPK walaupun hadir dalam sidang terdakwa Andi Narogong di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Jumat (3/11), yang justru terungkap keluarganya adalah pemilik salah satu perusahaan pemenang lelang proyek KTP-el.
Bahkan, lewat Sekretariat Jenderal DPR, KPK dikirimi surat bahwa pemeriksaan ketua DPR harus seizin presiden seperti putusan Mahkamah Konstitusi. Tetapi, tunggu dulu. Saat uji materi UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, Mahkamah Konstitusi hanya memutus Pasal 245 Ayat 1. Ayat 3 Huruf c menyebutkan, izin dari presiden tidak berlaku apabila tindak pidana khusus. Korupsi itu tindak pidana khusus, loh!
Maaf, Presiden Jokowi sedang mantu. Jangan usik kebahagiaan Presiden….
Dikutip dari rubrik Politik dan Hukum Koran Kompas edisi 9 November 2017

Frederica Widyasari Dewi


Direktur Utama PT Kustodian Sentral Efek Indonesia Friderica Widyasari Dewi harus pintar-pintar betul berbagi waktu dengan suaminya. Maklum, pasangan ini "beda dunia". Mantan fotomodel dan aktris ini bergelut di dunia pasar modal, sedangkan suaminya, Brigadir Jenderal Eddy Hartono, bertugas sebagai Wakil KepalaDetasemen Khusus 88 Antiteror.

Kiki-panggilan Friderica-mengatakan di mobil suaminya selalu tersedia tas berisi tumpukan pakaian. "Jadi kapan saja bisa pergi, berhari-hari," ujarnya kepada Tempo. Kiki, 41 tahun, pun tidak kalah sibuk. Pasangan itu kerap ke bandar udara bersama untuk kemudian berpisah di pintu ruang tunggu penerbangan masing-masing.

Maka, begitu ada jadwal lowong, Kiki dan suami selalu menghabiskan waktu barengan. Eddy sering kali hanya mengantar Kiki ke suatu perhelatan, lalu duduk di pojokan. Misalnya saat Kiki mengisi panggung penggalangan dana untuk sastrawan Hamsad Rangkuti di kantor Tempo, Jakarta, Jumat dua pekan lalu. "Setiap ada waktu, ya, harus dinikmati bersama," ujar Kiki.

Mantan Direktur Bursa Efek Indonesia ini menikmati sastra. April lalu, Kiki membawakan puisi di Panggung Para Perempuan Kartini, yang digelar Tempo di Museum Bank Indonesia, Jakarta. Tampil perdana membacakan puisi di panggung, kala itu dia berulang kali berlatih di hadapan suami. Di panggung Hamsad, dia membacakan cerita pendek Lagu di Atas Bus tanpa latihan. Tapi jangan minta suaminya tampil di panggung seni. "Dia pasti langsung kabur," kata ibu dua anak ini, tertawa.

Dikutip dari rubrik Pokok dan Tokoh Majalah Tempo edisi 8 Oktober 2017

Frederica Widyasari Dewi



TRIE Utami, 49 tahun, kebanjiran order. Penyanyi yang terkenal pada 1990-an ini punya jadwal manggung yang padat. Terlebih setelah Krakatau, grup musiknya yang vakum beberapa tahun, kembali hidup dengan nama Krakatau Reunion. "Dua tahun belakangan ini kami tampil lebih banyak daripada 25 tahun yang lalu," kata Iie-sapaan akrab Trie Utami-Rabu pekan lalu.

Trie sang vokalis tak menghitung jumlah penampilan tahunan mereka. Namun bulan ini saja kelompok beraliran jazz tersebut sudah menolak tujuh permintaan manggung di berbagai daerah. Mereka hanya mengiyakan tampil di enam pertunjukan. Salah satunya Maumere Jazz Fiesta Flores, yang digelar akhir Oktober nanti. Bulan lalu, mereka tampil di Moskow untuk mempromosikan wisata Tanah Air.

Krakatau Reunion mesti mementahkan banyak tawaran lantaran kepadatan agenda tiap personel. Dwiki Dharmawan, misalnya, punya proyek dengan musikus Flores, Ivan Nestorman. Indra Lesmana sibuk di Indra Lesmana Keytar Trio. Selain itu, semua anggota Krakatau Reunion mengajar musik. "Kami ngumpul susah banget," ujar Trie.

Fondasi band Krakatau dibentuk pada 1984. Mereka mulai melejit lewat Gemilang pada 1987. Pada 2007, mereka mulai jarang tampil, lalu vakum. Lantaran kangen berkarya bersama, mereka memutuskan kembali manggung pada 2013 dengan nama Krakatau Reunion. Meski lama berpisah, tak susah bagi mereka untuk nge-jam kembali. "Kami hanya perlu mengingat lagi lagu-lagu Krakatau," kata Trie.

Dikutip dari rubrik Pokok dan Tokoh Majalah Tempo edisi 15 Oktober 2017

PRIBUMI


Kata-kata sampai tak pernah sendirian. Tak pernah polos, meski tampak tak berbekas. "Kata-kata mampu merusak tanpa meninggalkan jejak," kata Paulo Coelho.
Pribumi contohnya. Ia kita terima bersama sejarahnya, kaitan emotifnya, trauma dan mimpinya. Ia kita tafsirkan dengan perasaan kita, di suatu masa, di suatu tempat. Orang yang hanya menengok ke kamus-sembari berlagak netral atau kebal-sebenarnya berpura-pura tak tahu makna tak pernah lahir dari definisi. Makna kata berkembang dalam hidup.
Pribumi, sebagaimana dipakai dalam percaturan sosial-politik Indonesia, adalah kata yang "baru"-dalam arti sudah tak sama lagi dengan kata pribumi dalam percakapan bahasa Sunda di Desa Parongpong atau Sarongge. Ia lanjutan kata Belanda inlander: ia produk kolonialisme abad ke-19 dan 20.
Lebih tepat: ia produk rasa waswas dan mata rabun kolonialisme.
Di tanah jajahan yang bermatahari terang tapi terik, dengan malaria dan hutan karet, dengan perempuan sensual dan lelaki yang tak bisa ditebak, para kolonialis Belanda mendirikan garis demarkasi. Mereka ingin melawan hasrat dan mengalahkan cemas mereka sendiri. Kata pribumi dibentuk untuk itu, seperti tanggul dan parit.
Seperti Kota Batavia.
Ada sebuah telaah sejarah Marsely L. Kehoe ("Dutch Batavia: Exposing the Hierarchy of the Dutch Colonial City") yang menunjukkan bahwa bentuk kota ini menegaskan segregasi yang diniatkan: penduduk dipisahkan dengan tembok kota dan kanal-kanal yang tanpa jembatan, dalam sebuah wilayah yang dibangun dengan perencanaan kota dan arsitektur Belanda.
Orang Belanda butuh itu, sejak kota ini dibikin VOC sampai dengan zaman setelah VOC bangkrut dan digantikan rezim "Hindia Belanda". Mereka tak nyaman dikelilingi lautan manusia yang bukan-Belanda. Mereka mencoba mempertahankan identitas "Belanda"-dan mempertontonkan dominasi mereka. Mereka bernafsu hidup di koloni yang mendatangkan harta ini, tapi mereka tak hendak jadi bagian tanah jajahan.
Maka, dengan dana, senjata, administrasi, dan wacana, ditegakkanlah sebuah hierarki. Klasifikasi penduduk pun disusun dalam tiga lapis. Di atas: golongan "Eropa". Di bawahnya: golongan "Timur Asing". Paling bawah: inlander, pribumi.
Makna tiap kategori sebenarnya rancu, bahkan kacau. Dalam kelompok "Eropa" orang Jepang bisa masuk. Bagaimana pula dengan orang Melayu dari Filipina? "Pribumi" atau bukan?
Pribumi: jika dilihat akar katanya, ia mengacu ke tempat, bumi. Tapi kemudian kata itu dipaksakan maknanya dengan dicampur pengertian rasial. Bila di gerbang gedung societeit dipasang maklumat, "Anjing dan Pribumi dilarang masuk", petugas akan melarang pendatang dengan melihat ciri-ciri etnisnya, bukan dengan menanyakan asal-usul "bumi"-nya.
Asal-usul geografis memang tak segera tampak. Maka dalam sistem pemisahan sosial itu (Rancière akan menyebutnya partage du sensible) dibuat aturan untuk menegaskan. Di bawah rezim apartheid Afrika Selatan, orang harus membawa "kartu identitas ras". Dalam apartheid Hindia Belanda, orang harus mengikuti aturan berpakaian.
Pada 1904 terbit sebuah brosur yang menentukan kostum penduduk koloni, menggarisbawahi klasifikasi tiga lapisan yang berlaku. Penyusunnya penasihat perkara Islam pemerintah kolonial, Sayid Uthman al-'Alawi. Menurut brosur itu, pakaian orang Eropa jas dan topi; pakaian orang Arab jubah, rompi, dan sorban; pakaian Melayu dan Jawa kemeja atau kebaya, dengan "setangan" di kepala. Bertukar cara berpakaian tak dibolehkan hukum-termasuk oleh hukum Islam.
Tak mengherankan bila pelukis Raden Saleh, sekembali dari Eropa ke Batavia dan ingin tetap bisa pakai pantalon, perlu mengirim surat ke Ratu Belanda minta izin. Dan permintaannya ditolak.
Takut untuk tercampur, cemas untuk menjaga identitas "Belanda"-hingga melahirkan klasifikasi tiga golongan yang dasar-dasarnya tak jelas-adalah sikap yang merayap ke mana-mana.
Novel Couperus yang terkenal, Stille Kracht, menggambarkan dengan bagus situasi itu. Keluarga Residen Van Oudijck di Labuwangi, Jawa Timur, melihat ke sekitar dengan angkuh dan bingung. Rasanya ada kekuatan tersembunyi, stille kracht, di kota kecil ini. Ada misteri, klenik, orang Jawa yang culas, orang Indo yang imoral, yang terus-menerus merisaukan. Eva, istri sang Residen, menjaga stabilitas jiwanya dengan menjalankan kelaziman "Eropa" secara ketat: mengenakan pakaian resmi saat makan malam adalah wajib, juga di Kota Labuwangi yang gerah.
Eva-ia kecemasan kolonialis. Ia, yang menduga pianonya sumbang karena ada kecoak pada dawainya, tak tahu benar apa yang hidup di luar rumah selain serangga. Seperti kolonialisme itu sendiri, ia rabun: merasa tahu tapi sebenarnya tak tahu kehidupan negeri jajahan yang ajaib ini.
Kata pribumi yang membingungkan tapi mereka bikin dan sebarkan itu adalah salah satu gejala ketaktahuan dan kecemasan itu. Hanya kekuasaan mereka yang membuat kata itu, label itu, diterima dan dilanjutkan bahkan oleh orang-orang jajahan sendiri-seakan-akan kebenaran.
Goenawan Mohamad
Kata-kata sampai tak pernah sendirian. Tak pernah polos, meski tampak tak berbekas. "Kata-kata mampu merusak tanpa meninggalkan jejak," kata Paulo Coelho.
Pribumi contohnya. Ia kita terima bersama sejarahnya, kaitan emotifnya, trauma dan mimpinya. Ia kita tafsirkan dengan perasaan kita, di suatu masa, di suatu tempat. Orang yang hanya menengok ke kamus-sembari berlagak netral atau kebal-sebenarnya berpura-pura tak tahu makna tak pernah lahir dari definisi. Makna kata berkembang dalam hidup.
Pribumi, sebagaimana dipakai dalam percaturan sosial-politik Indonesia, adalah kata yang "baru"-dalam arti sudah tak sama lagi dengan kata pribumi dalam percakapan bahasa Sunda di Desa Parongpong atau Sarongge. Ia lanjutan kata Belanda inlander: ia produk kolonialisme abad ke-19 dan 20.
Lebih tepat: ia produk rasa waswas dan mata rabun kolonialisme.
Di tanah jajahan yang bermatahari terang tapi terik, dengan malaria dan hutan karet, dengan perempuan sensual dan lelaki yang tak bisa ditebak, para kolonialis Belanda mendirikan garis demarkasi. Mereka ingin melawan hasrat dan mengalahkan cemas mereka sendiri. Kata pribumi dibentuk untuk itu, seperti tanggul dan parit.
Seperti Kota Batavia.
Ada sebuah telaah sejarah Marsely L. Kehoe ("Dutch Batavia: Exposing the Hierarchy of the Dutch Colonial City") yang menunjukkan bahwa bentuk kota ini menegaskan segregasi yang diniatkan: penduduk dipisahkan dengan tembok kota dan kanal-kanal yang tanpa jembatan, dalam sebuah wilayah yang dibangun dengan perencanaan kota dan arsitektur Belanda.
Orang Belanda butuh itu, sejak kota ini dibikin VOC sampai dengan zaman setelah VOC bangkrut dan digantikan rezim "Hindia Belanda". Mereka tak nyaman dikelilingi lautan manusia yang bukan-Belanda. Mereka mencoba mempertahankan identitas "Belanda"-dan mempertontonkan dominasi mereka. Mereka bernafsu hidup di koloni yang mendatangkan harta ini, tapi mereka tak hendak jadi bagian tanah jajahan.
Maka, dengan dana, senjata, administrasi, dan wacana, ditegakkanlah sebuah hierarki. Klasifikasi penduduk pun disusun dalam tiga lapis. Di atas: golongan "Eropa". Di bawahnya: golongan "Timur Asing". Paling bawah: inlander, pribumi.
Makna tiap kategori sebenarnya rancu, bahkan kacau. Dalam kelompok "Eropa" orang Jepang bisa masuk. Bagaimana pula dengan orang Melayu dari Filipina? "Pribumi" atau bukan?
Pribumi: jika dilihat akar katanya, ia mengacu ke tempat, bumi. Tapi kemudian kata itu dipaksakan maknanya dengan dicampur pengertian rasial. Bila di gerbang gedung societeit dipasang maklumat, "Anjing dan Pribumi dilarang masuk", petugas akan melarang pendatang dengan melihat ciri-ciri etnisnya, bukan dengan menanyakan asal-usul "bumi"-nya.
Asal-usul geografis memang tak segera tampak. Maka dalam sistem pemisahan sosial itu (Rancière akan menyebutnya partage du sensible) dibuat aturan untuk menegaskan. Di bawah rezim apartheid Afrika Selatan, orang harus membawa "kartu identitas ras". Dalam apartheid Hindia Belanda, orang harus mengikuti aturan berpakaian.
Pada 1904 terbit sebuah brosur yang menentukan kostum penduduk koloni, menggarisbawahi klasifikasi tiga lapisan yang berlaku. Penyusunnya penasihat perkara Islam pemerintah kolonial, Sayid Uthman al-'Alawi. Menurut brosur itu, pakaian orang Eropa jas dan topi; pakaian orang Arab jubah, rompi, dan sorban; pakaian Melayu dan Jawa kemeja atau kebaya, dengan "setangan" di kepala. Bertukar cara berpakaian tak dibolehkan hukum-termasuk oleh hukum Islam.
Tak mengherankan bila pelukis Raden Saleh, sekembali dari Eropa ke Batavia dan ingin tetap bisa pakai pantalon, perlu mengirim surat ke Ratu Belanda minta izin. Dan permintaannya ditolak.
Takut untuk tercampur, cemas untuk menjaga identitas "Belanda"-hingga melahirkan klasifikasi tiga golongan yang dasar-dasarnya tak jelas-adalah sikap yang merayap ke mana-mana.
Novel Couperus yang terkenal, Stille Kracht, menggambarkan dengan bagus situasi itu. Keluarga Residen Van Oudijck di Labuwangi, Jawa Timur, melihat ke sekitar dengan angkuh dan bingung. Rasanya ada kekuatan tersembunyi, stille kracht, di kota kecil ini. Ada misteri, klenik, orang Jawa yang culas, orang Indo yang imoral, yang terus-menerus merisaukan. Eva, istri sang Residen, menjaga stabilitas jiwanya dengan menjalankan kelaziman "Eropa" secara ketat: mengenakan pakaian resmi saat makan malam adalah wajib, juga di Kota Labuwangi yang gerah.
Eva-ia kecemasan kolonialis. Ia, yang menduga pianonya sumbang karena ada kecoak pada dawainya, tak tahu benar apa yang hidup di luar rumah selain serangga. Seperti kolonialisme itu sendiri, ia rabun: merasa tahu tapi sebenarnya tak tahu kehidupan negeri jajahan yang ajaib ini.
Kata pribumi yang membingungkan tapi mereka bikin dan sebarkan itu adalah salah satu gejala ketaktahuan dan kecemasan itu. Hanya kekuasaan mereka yang membuat kata itu, label itu, diterima dan dilanjutkan bahkan oleh orang-orang jajahan sendiri-seakan-akan kebenaran.
Goenawan Mohamad
dikutip dari Majalah Tempo edisi 29 Oktober 2017 rubrik Catatan Pinggir