Jembatan Politik Pangeran Langkat

TENGKU AMIR HAMZAH meminta kakak kandungnya, Tengku Abdullah Hod, yang sedang kuliah kedokteran di Belanda agar pulang ke Langkat-Sumatera Utara. Ia menyampaikan permintaan itu melalui surat pada akhir 1945. "Pulanglah kamu ke negerimu, mengabdilah kamu kepada tanah air dan rakyat yang sangat memerlukan pengabdiannmu," kata Amir kepada Abdullah Hod dalam suratnya. Danil Ahmad dalam buku T. Amir Hamzah (2005) menguraikan isi surat Amir kepada abangnya itu. Danil mengetahui cerita soal surat itu langsung dari Hod. "Setelah membaca surat Amir Hamzah, Hod kembali ke tanah air dan bertugas di Binjai," ujarnya. Dari surat tersebut, menurut Danil, tecermin jelas bagaimana sikap, jiwa, dan kesadaran kebangsaan Amir kala itu. Amir mengirim surat tersebut tak lama setelah ia menjadi Asisten Residen Langkat, setara dengan bupati yang berkedudukan di Binjai. Gubernur Sumatera Tengku Muhammad Hasan mengangkat Amir sebagai wakil pemerintah Indonesia di wilayah Kesultanan Langkat pada 29 Oktober 1945. Hasan adalah gubernur pertama Sumatera yang diangkat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Di mata sejarawan Universitas Sumatera Utara, Suprayitno, pengangkatan Amir merupakan siasat politik Hasan untuk merangkul semua kalangan. Amir adalah menantu Mahmud Rahmad Shah, Sultan Langkat. Kesultanan Langkat kala itu cukup berpengaruh di wilayah Sumatera Timur. "Amir ditunjuk karena politik moderat Hasan," kata Suprayitno ketika berkunjung ke kantor Tempo, Jakarta, pertengahan Juli lalu. Anthony Reid, dalam bukunya, The Blood of The People (1979), berpendapat serupa. Menurut dia, Hasan "merayu" kesultanan agar berpihak kepada pemerintah Republik Indonesia. Kala itu, Hasan terjebak di antara perseteruan dua kekuatan politik di Sumatera. Di satu kubu, ada barisan pemuda pergerakan yang mendominasi kota. Di kubu lain, ada sejumlah kesultanan yang mengendalikan mesin pemerintahan. Barisan pemuda pergerakan kala itu mendesak Hasan agar secepatnya memegang kendali pemerintahan. Namun kesultanan yang mengendalikan pemerintahan tak bisa melepaskan begitu saja hubungan dengan Belanda. Sejumlah kesultanan masih terikat kontrak dan memiliki hubungan emosional dengan Belanda-yang hendak menguasai kembali Sumatera setelah Jepang kalah oleh tentara Sekutu dalam Perang Dunia II. Menurut Reid, Amir dipilih karena memiliki hubungan dengan kedua kekuatan besar tersebut. "Tengku Amir Hamzah jelas memiliki hubungan yang lebih baik dengan kesultanan dan pergerakan," kata Reid melalui surat elektronik yang diterima Tempo, 30 Juli lalu. Guru besar Australian National University ini menambahkan, Amir sangat memahami situasi politik waktu itu sehingga ia berusaha menjembatani kedua kekuatan tersebut. Selain Amir, Hasan memilih anggota keluarga kesultanan lain sebagai wakil pemerintah RI. Misalnya Tengku Musa sebagai Asisten Residen Asahan dan Tengku Hasnan sebagai Asisten Residen Labuan Batu. "Hasan juga mencoba membawa fungsi kesultanan di bawah payung Republik," ujar Reid. Di luar keluarga kesultanan, Hasan sebelumnya melibatkan banyak kelompok pemuda pergerakan dalam pemerintahannya. Misalnya, Hasan mengangkat Dr Amir sebagai Wakil Gubernur Sumatera, serta Xarim M.S., dan Luat Siregar sebagai staf gubernur. Luat Siregar dan Xarim kala itu memiliki hubungan langsung dengan barisan pemuda. Meski bisa merangkul kedua kelompok, Hasan hanya berfungsi sebagai penghubung di antara mereka. Penyebabnya, menurut Reid, Hasan kurang berkarisma di mata kelompok pemuda pergerakan. Untuk berhubungan dengan barisan pemuda, Hasan banyak didukung oleh Xarim M.S. Amir tidak menolak ketika diangkat sebagai Asisten Residen Langkat. Ketika itu Amir berusia 34 tahun. Ia pun telah mengenyam banyak pengalaman di bidang pemerintahan di bawah Kesultanan Langkat. Bergelar Pangeran Indra Putera, Amir mulanya menjabat Wakil Kepala Langkat Hilir dan Tanjung Pura. Lalu Amir menjabat Kepala Luhak Teluk Haru. Terakhir, ia menjadi kepala bagian ekonomi kesultanan. Sewaktu menjadi asisten residen, Amir memilih berkantor di Gedung Kerapatan Kesultanan Langkat. Hingga kini, gedung itu masih berdiri kokoh di jantung Kota Binjai. Bangunan bergaya arsitektur Eropa-dengan kubah bercorak Turki di atapnya-itu kini menjadi Museum Pengadilan Agama Binjai. Bangunan ini sempat rusak ketika revolusi sosial meletus di Sumatera Timur pada 1946, tapi kembali dipugar pada 1970-an. Selaku asisten residen, Amir melantik pembantu pemerintah RI di beberapa daerah, di antaranya Saidi Husny untuk daerah Langkat Hilir yang berkedudukan di Tanjung Pura. Tengku H.M. Lah Husny, dalam buku Biografi Sejarah Pujangga dan Pahlawan Nasional Amir Hamzah, menulis bahwa pelantikan itu disaksikan masyarakat, perwakilan partai, dan beberapa organisasi pemuda. Di sela pelantikan, Amir sempat berpidato. Ia mengutarakan harapannya agar tak keliru memilih Saidi Husny. "Untuk saya, yang penting ialah kerja sama antara pemerintah, partai-partai, dan organisasi-organisasi," kata Amir Hamzah dalam pidatonya. Amir juga melantik Divisi Gajah, batalion pertama Tentara Keamanan Rakyat-cikal-bakal Tentara Nasional Indonesia-untuk wilayah Binjai. Menurut Djohar Arifin Husin, dalam buku Tengku Amir Hamzah: Tokoh Pergerakan Nasional, Konseptor Sumpah Pemuda, Pangeran Pembela Rakyat (2013), anggota Divisi Gajah merupakan orang-orang pilihan yang berasal dari suku Batak. "Personel Divisi V tersebut dikenal sangat loyal kepada pemerintah," kata Djohar. Selama memerintah, Amir dikenal sebagai pemimpin yang sederhana. Sagimun M.D., dalam bukunya, Pahlawan Nasional Amir Hamzah (1993), mencontohkan, Amir memilih berjalan kaki ke masjid ketika salat Jumat. Dia juga membina hubungan baik dengan bawahan dan masyarakat Langkat. Hampir saban hari Saidi menyambangi Amir di kantornya. Ketika bertemu, mereka sering mendiskusikan pelbagai persoalan pemerintahan dan masyarakat. "Saya sering bekerja sama dengan almarhum Amir Hamzah dalam mengurus pemerintahan sehari-hari," kata Saidi kepada Sagimun. Masa jabatan Amir sebagai Asisten Residen Langkat hanya bertahan empat bulan. Sang penyair menjadi korban revolusi sosial. Dikutip dari Laporan Utama Majalah Tempo Edisi Paradoks Amir Hamzah 14 Agustus 2017

No comments :