Sri Mulyani Indrawati


SEBUAH cangkir putih bertulisan "Mrs. Always Right" sudah cukup menjadi bentuk protes putra-putri Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, 54 tahun. Pesan itu kurang lebih bermakna nyonya yang selalu benar.
Ani panggilan Sri Mulyani bercerita, cangkir tersebut adalah hadiah dari ketiga anaknya, yakni Dewinta Illinia, Adwin Haryo Indrawan, dan Luqman Indra Pambudi. "Mereka bilang ibu pasti senang kalau disebut Mrs. Always Right," katanya di kantor Tempo, Selasa dua pekan lalu.
Menteri kelahiran Lampung itu mengaku kerap berdebat dengan anak-anak meski menyangkut hal yang remeh sekalipun. Tapi ia enggan disebut tak mau mengalah bila berdiskusi di tengah keluarga. "Biasalah kalau orang tua dengan anak itu selalu saja ada perdebatan," ujarnya, lantas terbahak.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menduga anaknya sengaja memilih cangkir dengan pesan khusus tersebut karena melihat peran ibunya di kantor dan di rumah. Maklum, sebagai bendahara negara, ia harus sering terlibat diskusi yang sengit agar neraca keuangan tetap sehat.
Tak ada perlakuan istimewa dari Sri Mulyani terhadap buah tangan cangkir itu. Alih-alih menyimpannya di lemari, ia justru memakainya di kantor. Dengan memakainya, ia merasa diingatkan, seperti ketika ia membaca pesan pada suvenir yang sering dijumpai ketika bertugas ke London bertulisan "Don’t worry, you are only fifty". "Pesan itu adalah pengingat agar hidup kita bahagia," tuturnya.

Dikutip dari rubrik Pokok dan Tokoh Majalah Tempo Edisi Paradoks Amir Hamzah 14 Agustus 2017.

Intel Belanda atau Menahan Jepang

DATUK Hafiz Haberham kepayahan juga mengerjakan aneka perintah Asisten Residen Deli dan Serdang A.R. Treffers. Pada April 1942, bangsawan Kesultanan Deli, Sumatera Utara, itu sudah tujuh bulan membuat rakit bambu yang diruncingkan dan dipasang vertikal di sepanjang pesisir pantai Langkat-Asahan sepanjang 288 kilometer. Nama Datuk Hafiz tercatat sebagai salah satu anggota agen rahasia Belanda yang bertugas menahan masuknya pasukan Jepang ke Sumatera Timur. Hafiz bahkan mengepalai organisasi yang bernama Siap Sedia (SS) itu. Ia merekrut sejumlah bangsawan dari beberapa kesultanan sebagai anggotanya. Salah satunya Amir Hamzah, menantu Sultan Langkat yang menjabat kepala luhak, setingkat camat, di Teluk Haru di Pangkalan Brandan. Dalam sebuah laporan intelijen kepada pemerintah Belanda pada 1947, Hafiz menulis bahwa para anggota organisasi rahasia itu sudah terbentuk dan tersebar di beberapa kesultanan. "Datuk Hanafi di Tanjung Balai dan Tengku Amir Hamzah di Langkat," tulisnya. Dokumen dalam bahasa Belanda itu kini tersimpan di Arsip Nasional. Dengan agak detail, Hafiz melaporkan bahwa anggota-anggota elite dinas rahasia itu tak mengangkat sumpah setia kepada Belanda, seperti agen lain. "Karena mereka itu akan bekerja langsung di bawah saya," tulis Datuk Hafiz. Para intel SS, kata Hafiz, memiliki tanda khusus, yakni uang kepeng bergarit "V". Ia bersaksi bahwa, selama kepemimpinannya, setidaknya 700 kepeng lencana ia keluarkan. "Permintaan lain tidak bisa saya berikan karena kehabisan uang sen," ucapnya. Dengan kata lain, Hafiz mengklaim jumlah anak buahnya mencapai ribuan. Organisasi rahasia itu bermula pada September 1941. Enam bulan sebelum pasukan Jepang mendarat di Sumatera Timur, Treffers mengajak Datuk Hafiz bersekoci dari Hamparan Perak ke Belawan. Di atas sekoci, Treffers memintanya membuat rintangan untuk menghambat pendaratan pasukan Jepang. "Walaupun Belanda kalah, saya dianjurkan tetap berpendirian sebagai warga negara Belanda," kata Datuk Hafiz. Empat bulan kemudian, Datuk Hafiz membentuk korps pengawal negeri (landwachten). Menurut Tengku Lah Husny, adik kandung Saidi Husny, kawan sepermainan Amir sejak kecil, dalam Biografi Sejarah Pujangga dan Pahlawan Nasional Amir Hamzah, landwachten itu aktif bertempur melawan serdadu Jepang. Amir, kata Lah Husny, menjadi salah satu pemimpin pasukannya. Sultan Mahmud yang meminta menantunya masuk korps itu. Sultan juga menunjuk adiknya sendiri, Tengku Harun, agar ikut bertempur. "Amir Hamzah dan Tengku Harun mendapat pangkat sersan dan masing-masing mengepalai pasukan kecil," demikian ditulis Lah Husny. Sebelum bertempur, Amir mendapat pelatihan militer selama 14 hari di Pulo Brayan-kini masuk Kecamatan Medan Barat. Ia dan Tengku Harun baru berperang ketika Jepang menyerbu Sumatera Timur pada Maret 1942 melalui muara-muara sungai. Dalam sebuah penyergapan, Tengku Harun mendapat tugas meledakkan titian Tanjung Pura untuk menahan laju pasukan Jepang. Menurut Lah Husny, Harun menolak perintah Belanda karena tak ingin jembatan itu hancur. Agar tidak terkesan memberontak, ia mengajukan laporan palsu: alat peledaknya tidak bekerja. Pasukan Amir dan Tengku Harun tidak mampu bertahan. Serdadu Jepang mendesak ke daratan hingga pasukan Amir mundur ke Gunung Setan, dekat Bukit Barisan. Anak buahnya meminta Amir membatalkan kontrak sukarelawan dengan Belanda karena melanggar janji membantu saat terpojok. Amir menolak. Ia meminta para serdadu itu kabur sendiri-sendiri. Kepada opsir Belanda, Amir melapor anak buahnya sedang pulang mengambil persediaan pakaian. Belanda, kata Lah Husny, lalu meminta Amir ke Medan dengan pasukan seadanya. Dalam pertempuran di Gunung Setan, Amir dan pasukannya hanya bisa bertahan sebulan. Jepang menahan mereka di kamp Lau Segala. Amir dan pasukannya disuruh mengangkut balok-balok kayu untuk perlindungan tentara Jepang. Baru pada 1943, Amir bebas dari kerja paksa itu atas permintaan Sultan Mahmud. Anthony Reid, peneliti sejarah Asia Tenggara yang mengajar di Australian National University, juga mencatat para bangsawan yang menjadi intel-intel Belanda di masa pendudukan Jepang. Sumatera Timur pada 1940-an, kata Reid, adalah wilayah yang terbelah. Pegawai pemerintah yang berasal dari elite kesultanan memihak Belanda, sedangkan rakyat biasa menentangnya. Kelompok anti-kesultanan memakai Jepang untuk mengakhiri kekuasaan feodal. "Kedua belah pihak mencoba menggunakan Jepang dan Sekutu buat keuntungan mereka masing-masing," kata Reid lewat pesan elektronik kepada Tempo pada akhir Juli lalu. Sepupu Amir, Tengku Saridjat, yang kini 81 tahun, tak memungkiri Kesultanan Langkat mendukung Belanda. Saking dekatnya, menurut dia, setiap ada pesta dansa, Sultan Mahmud selalu mengundang tamu-tamu kolonial. "Kami yang masih kecil sering melihat, tapi tidak boleh ikut," kata Saridjat di Medan pada akhir Juli lalu. Saridjat baru berusia 14 tahun ketika itu. Menurut dia, kedekatan keluarga Sultan Langkat dengan Belanda juga terjadi karena keduanya punya kontrak pengeboran minyak bumi di Telaga Said, dekat Pangkalan Brandan, yang digarap Royal Dutch Shell. Dari kontrak itu, Reid menulis dalam Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatra, Sultan Mahmud memperoleh pendapatan pribadi hingga 472.094 gulden, jauh di atas pendapatan Sultan Deli-Serdang, yang terkenal kaya. Pada 1933, kekayaan Sultan Mahmud mencakup 13 mobil, satu sekoci pesiar yang tidak terpakai, dan kuda-kuda pacu. Ketimpangan antara kalangan kesultanan dan rakyat jelata itu makin meruncingkan sentimen anti-kesultanan, terutama sepanjang 1942, menjelang pendaratan Jepang di Sumatera Timur. Salah satu tokoh pemuda di Langkat, Jacob Siregar, mengaku berkunjung ke Penang, Malaysia, untuk menemui Fujiwara Kikan, organisasi intelijen Jepang di bawah pimpinan Mayor Fujiwara Iwaichi. Jacob hendak mencari dukungan Jepang untuk menghancurkan Kesultanan. Pada saat bersamaan, Belanda meminta Sultan Langkat dan keluarganya menghalau Jepang. Kempetai, polisi militer Jepang, menangkap Treffers dan mengeksekusinya pada 12 Maret 1942. Para intelijen anggota SS juga ditangkap dan dimasukkan ke penjara. Datuk Hafiz dan sejumlah pemimpin Siap Sedia baru keluar dari bui setelah Jepang menyerah kepada Sekutu pada Agustus 1945. Keluar dari penjara, Datuk Hafiz menghubungi Amir Hamzah dan anggota dinas rahasia Belanda untuk menghidupkan kembali SS dengan nama Pasukan Ke-5. Sebetulnya pasukan ini merupakan respons Hafiz terhadap makin kuatnya Pemuda Sosialis Indonesia di bawah pimpinan Sihite. "Saya khawatir Pesindo menjadi kekuasaan terkokoh di daerah ini," tulis Hafiz. Revolusi sosial keburu meledak di Sumatera Timur pada Maret 1946. Kombatan SS kembali terberai. Pada 1947, Datuk Hafiz bergabung dalam komite yang mendirikan Negara Sumatera Timur, negara bagian Republik Indonesia Serikat boneka Sekutu-Belanda. Amir, sementara itu, sudah wafat setahun sebelumnya dieksekusi anggota Pesindo. Dikutip dari Laporan Utama Majalah Tempo Edisi Paradoks Amir Hamzah 14 Agustus 2017

Jembatan Politik Pangeran Langkat

TENGKU AMIR HAMZAH meminta kakak kandungnya, Tengku Abdullah Hod, yang sedang kuliah kedokteran di Belanda agar pulang ke Langkat-Sumatera Utara. Ia menyampaikan permintaan itu melalui surat pada akhir 1945. "Pulanglah kamu ke negerimu, mengabdilah kamu kepada tanah air dan rakyat yang sangat memerlukan pengabdiannmu," kata Amir kepada Abdullah Hod dalam suratnya. Danil Ahmad dalam buku T. Amir Hamzah (2005) menguraikan isi surat Amir kepada abangnya itu. Danil mengetahui cerita soal surat itu langsung dari Hod. "Setelah membaca surat Amir Hamzah, Hod kembali ke tanah air dan bertugas di Binjai," ujarnya. Dari surat tersebut, menurut Danil, tecermin jelas bagaimana sikap, jiwa, dan kesadaran kebangsaan Amir kala itu. Amir mengirim surat tersebut tak lama setelah ia menjadi Asisten Residen Langkat, setara dengan bupati yang berkedudukan di Binjai. Gubernur Sumatera Tengku Muhammad Hasan mengangkat Amir sebagai wakil pemerintah Indonesia di wilayah Kesultanan Langkat pada 29 Oktober 1945. Hasan adalah gubernur pertama Sumatera yang diangkat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Di mata sejarawan Universitas Sumatera Utara, Suprayitno, pengangkatan Amir merupakan siasat politik Hasan untuk merangkul semua kalangan. Amir adalah menantu Mahmud Rahmad Shah, Sultan Langkat. Kesultanan Langkat kala itu cukup berpengaruh di wilayah Sumatera Timur. "Amir ditunjuk karena politik moderat Hasan," kata Suprayitno ketika berkunjung ke kantor Tempo, Jakarta, pertengahan Juli lalu. Anthony Reid, dalam bukunya, The Blood of The People (1979), berpendapat serupa. Menurut dia, Hasan "merayu" kesultanan agar berpihak kepada pemerintah Republik Indonesia. Kala itu, Hasan terjebak di antara perseteruan dua kekuatan politik di Sumatera. Di satu kubu, ada barisan pemuda pergerakan yang mendominasi kota. Di kubu lain, ada sejumlah kesultanan yang mengendalikan mesin pemerintahan. Barisan pemuda pergerakan kala itu mendesak Hasan agar secepatnya memegang kendali pemerintahan. Namun kesultanan yang mengendalikan pemerintahan tak bisa melepaskan begitu saja hubungan dengan Belanda. Sejumlah kesultanan masih terikat kontrak dan memiliki hubungan emosional dengan Belanda-yang hendak menguasai kembali Sumatera setelah Jepang kalah oleh tentara Sekutu dalam Perang Dunia II. Menurut Reid, Amir dipilih karena memiliki hubungan dengan kedua kekuatan besar tersebut. "Tengku Amir Hamzah jelas memiliki hubungan yang lebih baik dengan kesultanan dan pergerakan," kata Reid melalui surat elektronik yang diterima Tempo, 30 Juli lalu. Guru besar Australian National University ini menambahkan, Amir sangat memahami situasi politik waktu itu sehingga ia berusaha menjembatani kedua kekuatan tersebut. Selain Amir, Hasan memilih anggota keluarga kesultanan lain sebagai wakil pemerintah RI. Misalnya Tengku Musa sebagai Asisten Residen Asahan dan Tengku Hasnan sebagai Asisten Residen Labuan Batu. "Hasan juga mencoba membawa fungsi kesultanan di bawah payung Republik," ujar Reid. Di luar keluarga kesultanan, Hasan sebelumnya melibatkan banyak kelompok pemuda pergerakan dalam pemerintahannya. Misalnya, Hasan mengangkat Dr Amir sebagai Wakil Gubernur Sumatera, serta Xarim M.S., dan Luat Siregar sebagai staf gubernur. Luat Siregar dan Xarim kala itu memiliki hubungan langsung dengan barisan pemuda. Meski bisa merangkul kedua kelompok, Hasan hanya berfungsi sebagai penghubung di antara mereka. Penyebabnya, menurut Reid, Hasan kurang berkarisma di mata kelompok pemuda pergerakan. Untuk berhubungan dengan barisan pemuda, Hasan banyak didukung oleh Xarim M.S. Amir tidak menolak ketika diangkat sebagai Asisten Residen Langkat. Ketika itu Amir berusia 34 tahun. Ia pun telah mengenyam banyak pengalaman di bidang pemerintahan di bawah Kesultanan Langkat. Bergelar Pangeran Indra Putera, Amir mulanya menjabat Wakil Kepala Langkat Hilir dan Tanjung Pura. Lalu Amir menjabat Kepala Luhak Teluk Haru. Terakhir, ia menjadi kepala bagian ekonomi kesultanan. Sewaktu menjadi asisten residen, Amir memilih berkantor di Gedung Kerapatan Kesultanan Langkat. Hingga kini, gedung itu masih berdiri kokoh di jantung Kota Binjai. Bangunan bergaya arsitektur Eropa-dengan kubah bercorak Turki di atapnya-itu kini menjadi Museum Pengadilan Agama Binjai. Bangunan ini sempat rusak ketika revolusi sosial meletus di Sumatera Timur pada 1946, tapi kembali dipugar pada 1970-an. Selaku asisten residen, Amir melantik pembantu pemerintah RI di beberapa daerah, di antaranya Saidi Husny untuk daerah Langkat Hilir yang berkedudukan di Tanjung Pura. Tengku H.M. Lah Husny, dalam buku Biografi Sejarah Pujangga dan Pahlawan Nasional Amir Hamzah, menulis bahwa pelantikan itu disaksikan masyarakat, perwakilan partai, dan beberapa organisasi pemuda. Di sela pelantikan, Amir sempat berpidato. Ia mengutarakan harapannya agar tak keliru memilih Saidi Husny. "Untuk saya, yang penting ialah kerja sama antara pemerintah, partai-partai, dan organisasi-organisasi," kata Amir Hamzah dalam pidatonya. Amir juga melantik Divisi Gajah, batalion pertama Tentara Keamanan Rakyat-cikal-bakal Tentara Nasional Indonesia-untuk wilayah Binjai. Menurut Djohar Arifin Husin, dalam buku Tengku Amir Hamzah: Tokoh Pergerakan Nasional, Konseptor Sumpah Pemuda, Pangeran Pembela Rakyat (2013), anggota Divisi Gajah merupakan orang-orang pilihan yang berasal dari suku Batak. "Personel Divisi V tersebut dikenal sangat loyal kepada pemerintah," kata Djohar. Selama memerintah, Amir dikenal sebagai pemimpin yang sederhana. Sagimun M.D., dalam bukunya, Pahlawan Nasional Amir Hamzah (1993), mencontohkan, Amir memilih berjalan kaki ke masjid ketika salat Jumat. Dia juga membina hubungan baik dengan bawahan dan masyarakat Langkat. Hampir saban hari Saidi menyambangi Amir di kantornya. Ketika bertemu, mereka sering mendiskusikan pelbagai persoalan pemerintahan dan masyarakat. "Saya sering bekerja sama dengan almarhum Amir Hamzah dalam mengurus pemerintahan sehari-hari," kata Saidi kepada Sagimun. Masa jabatan Amir sebagai Asisten Residen Langkat hanya bertahan empat bulan. Sang penyair menjadi korban revolusi sosial. Dikutip dari Laporan Utama Majalah Tempo Edisi Paradoks Amir Hamzah 14 Agustus 2017

Abdi Negara Pelayan Sultan

DI depan Sultan Langkat Mahmud Abdul Jalil Rahmad Shah, Tengku Amir Hamzah terpaksa menandatangani surat perintah penangkapan Achmad Chiari. Sahabat Amir itu hendak diringkus karena tergabung dalam barisan pemuda di Langkat, Sumatera Utara. Bukan cuma Achmad, sejumlah nama tertera dalam surat itu. Sepenggal kisah itu tertuang dalam buku Nh. Dini, Amir Hamzah: Pangeran dari Seberang. Ia memperoleh cerita itu dari Tengku Tahura, putri Amir, 37 tahun silam. "Tahura memaparkan hal tersebut, lalu saya tulis di buku ini," kata Dini, memperlihatkan buku yang ditulisnya saat datang ke kantor Tempo, akhir Juli lalu. Tahura mendapat cerita itu dari ibunya, Tengku Kamaliah. Setelah Indonesia merdeka, Amir adalah penguasa Binjai. Jabatannya Asisten Residen Langkat. "Binjai adalah daerah kuasa ayahmu," kata Kamaliah kepada Tahura. "Jadi dialah yang harus menunjukkan kewenangannya." Karena itu, Sultan Mahmud meminta Amir yang menandatangani surat penangkapan karena sultan tidak memiliki wewenang. Amir juga masih terikat hukum adat. Ia sudah bersumpah setia kepada Sultan Langkat saat diangkat menjadi abdi kesultanan. "Sumpahnya untuk setia kepada paman dan sultan masih berlaku dan berdengung dalam hatinya," ujar Kamaliah. Meski menandatangani surat penangkapan, Amir justru membocorkan informasi tersebut agar mereka melarikan diri sebelum surat perintah dijalankan. Sikap Amir terkesan mendua. Dalam buku Amir Hamzah: Sebagai Manusia dan Penyair, Abrar Yusra mengatakan Amir keliru tidak membela para aktivis pejuang Republik. Dia justru memerintahkan penangkapan meski tidak sesuai dengan kata hatinya. Karena itu, "Para pejuang Republik memandangnya sebagai tokoh feodal yang berbahaya," kata Abrar. Sikap mendua Amir tidak lepas dari kondisi sosial politik di Sumatera Timur, khususnya Langkat. Sejarawan Universitas Sumatera Utara, Suprayitno, mengatakan, ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, organisasi pemuda dan laskar pejuang mendesak Gubernur Sumatera Teuku Mohammad Hasan menekan kesultanan untuk menyatakan diri bergabung dengan Indonesia. Salah satu organisasi pemuda yang menekan Kesultanan Langkat adalah Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Organisasi ini belakangan bersalin nama menjadi sayap politik Partai Komunis Indonesia. Ketua Pesindo Cabang Langkat adalah Usman Parinduri. Selain Pesindo, kelompok laskar pejuang membangun front pergerakan yang sama dengan Pesindo. Di antaranya Laskar Hizbullah, Gagak Hitam, dan Barisan Harimau Liar. Mereka juga membuka cabang di Langkat. Tapi pengaruhnya tidak sekuat Pesindo. "Pesindo yang sangat berpengaruh di sana," kata Suprayitno, pertengahan Juli lalu. Suprayitno mengatakan Pesindo dan barisan pemuda menuding kesultanan sebagai pemerintahan feodal. Mereka juga menuding kesultanan sebagai kaki tangan Belanda. "Kelompok-kelompok yang radikal ini ingin menghancurkan kesultanan," ujarnya. Salah satu penyebabnya, menurut Suprayitno, kesultanan tetap menjalin hubungan dengan Belanda, yang berencana bercokol lagi di Langkat setelah Jepang bertekuk lutut pada Perang Dunia II. Banyaknya laskar pejuang yang tak terkendali menyebabkan kesultanan tidak percaya pemerintah Indonesia mampu menjamin keamanan. Satu bulan setelah Amir menjadi Asisten Residen Langkat-tepatnya pada 30 November 1945-Pesindo mengultimatum Sultan Langkat agar mengakui Republik Indonesia dan memutus hubungan dengan Belanda. Jauh sebelum itu, organisasi pemuda dan laskar sudah menuding Sultan Langkat sebagai antek Belanda. Isu itu kian bertiup kencang ketika tentara Sekutu hendak kembali ke Tanah Air setelah Jepang kalah. Dalam bukunya, The Blood of the People, Anthony Reid menyebutkan, tudingan itu muncul karena Sultan Langkat menjadi ketua Comite Van Ontvangst (CVO) atau panitia penyambutan tentara Sekutu. Panitia ini sesungguhnya terbentuk berdasarkan hasil rapat di rumah Tengku Mansur, yang dihadiri perwakilan kesultanan, organisasi pemuda, dan laskar. Sebagai Ketua Shu Sangi Kai, Mansur bertindak sebagai sahibulbait. Selain Sultan Langkat, Xarim M.S. dan Mohammad Joesoef hadir di sana. Xarim adalah tokoh barisan pemuda, sedangkan Joesoef merupakan anggota Partai Indonesia (Partindo). Reid mengatakan tudingan miring terhadap Sultan Langkat muncul karena ia dicurigai hendak menyambut kembali kedatangan Belanda dan menangkap pemimpin pergerakan. Reid ragu terhadap tudingan itu. Para sultan, kata Reid, tetap berkomunikasi dengan perwakilan Inggris dan Belanda atas inisiatif sendiri. Amir Hamzah, yang menjadi wakil pemerintah di Langkat, tidak dapat dipisahkan dari sikap Sultan Langkat. Barisan pemuda tetap mencurigai Amir. Selain karena sikap Sultan Langkat, kedekatan Amir dengan Belanda berembus ketika ia menerima Kapten Brondgeest, pemimpin tentara Sekutu berkebangsaan Belanda, di kantornya pada akhir 1945. Amir pernah menceritakan pertemuan itu kepada Saidi Husny, anak buah Amir di Keresidenan Langkat. Amir mengatakan Brondgeest hendak meminta izin agar tentara Sekutu bisa bercokol di Langkat demi menjaga keamanan daerah tersebut. "Saya jawab bahwa ini adalah hak pemerintah pusat, yaitu Gubernur Hasan," kata Amir kepada Saidi, seperti tertulis dalam buku Pahlawan Nasional Amir Hamzah yang ditulis Sagimun M.D. Namun, kata Saidi, isu yang menggelinding di masyarakat Langkat berbeda. Amir dituduh sudah bersepakat dengan Belanda. "Amir Hamzah sebagai wakil pemerintah RI menerima segala tamu, baik bangsa asing maupun siapa saja, untuk kepentingan pemerintah di daerah Langkat," ujarnya. Untuk meredakan ketegangan, Amir pernah berpidato di tengah masyarakat, tepatnya di daerah Kebun Lada, beberapa hari sebelum revolusi sosial meletus. Zainuddin Hamid Rokyoto dalam bukunya, Penemuan Pusara Pudjangga Amir Hamzah, mengutip isi pidato Amir tersebut. "Tuhan menjadikan manusia ini tidak semua sama. Kalaulah semua orang mau disamakan di dunia ini, berlawananlah dengan kodrat Tuhan." Pidato inilah yang diduga kian membakar amarah kelompok anti-kesultanan terhadap Amir. Ketegangan antara kelompok pro dan anti-kesultanan itu memupus semangat Amir memimpin Langkat. Dalam buku yang ditulisnya, Anthony Reid mengatakan Amir diam-diam mengundurkan diri dari jabatan Asisten Residen Langkat. Atas persetujuan Komite Nasional Indonesia Langkat, Adnan Nur Lubis, politikus Partai Nasional Indonesia dan mantan aktivis Partai Gerindo, mengambil alih fungsi pemerintahan Langkat. Tapi pengunduran diri itu tak membuat Amir lolos dari revolusi berdarah pada Maret 1946. Dikutip dari Laporan Utama Majalah Tempo Edisi Paradoks Amir Hamzah 14 Agustus 2017

Eksekutor dari Halaman Istana

SEORANG kakek mendadak menangis di depan Tengku Tahura. Sambil terisak, ia meminta maaf kepada putri tunggal Amir Hamzah dan Tengku Kamaliah tersebut. "Ia mengatakan terlibat penculikan Atuk," kata Ameliah Hariana, cucu Amir Hamzah, pada Kamis medio Juli lalu. Ameliah biasa menyebut kakeknya dengan panggilan Atuk. Rina-sapaan Ameliah-lupa persisnya kapan kejadian tersebut berlangsung. Kala itu, ia masih duduk di kelas II sekolah menengah pertama. Siang itu, Rina menemani ibunya menyelesaikan beberapa urusan di Kantor Pemerintahan Kota Binjai. Saat mereka sedang istirahat, kakek itu menghampiri Tahura, ibu Rina. Selain ikut menculik Amir Hamzah, pria tua itu mengaku menjarah harta benda di Istana Langkat. Salah satunya cincin yang ia pakai. "Gara-gara cincin itu, anaknya tidak bisa memiliki keturunan," ujar Rina. Maka kakek itu ingin mengembalikan cincin tersebut. Tahura sempat naik pitam. "Kakek jangan bilang seperti itu, karena kami sudah ikhlas," kata Rina menirukan Tahura. "Kami juga sudah memaafkan Ijang Widjaja, yang membunuh Bapak." Anak Amir satu-satunya itu kemudian meminta kakek tersebut pergi. Setelah itu, Rina bertanya kepada ibunya. Rina: Siapa Ijang Widjaja? Tahura: Dia itu sahabat Atuk kamu. Rina: Kenapa dia membunuh Atuk? Tahura: Dia disuruh orang. Kalau dia tidak mau, keluarga Ijang Widjaja yang dibunuh. *** AWAL Maret 1946. Amir sedang makan siang dengan Kamaliah dan Tahura di Gedung Kerapatan Binjai. Pintu depan diketuk. Sekelompok pemuda menunggu di luar. Mereka lalu "menjemput" Amir. Menurut Rina, yang mendapat cerita dari Tahura, Amir sempat pamit kepada istri dan anaknya. Ia berjanji kembali setelah rapat. Nyatanya, selama hampir sepekan, Amir tak memberi kabar. Kamaliah lalu membawa Tahura pulang ke Istana Langkat di Tanjung Pura, 50 kilometer di sebelah utara Binjai. Setelah menikah, Amir tinggal di Gedung Kerapatan Binjai. Bangunan itu kini menjadi Gedung Pengadilan Agama Kota Binjai. Saat Kamaliah pulang ke Langkat, revolusi sosial pecah. Keluarga kesultanan kocar-kacir. Ada yang melarikan diri ke Medan dan berusaha kabur ke Malaysia. Namun tak sedikit yang ditangkap pejuang revolusi, termasuk Tahura dan Kamaliah. Tiga tahun setelah revolusi sosial pecah, istri Amir itu baru mendapat kabar bahwa suaminya meninggal. Kematian Amir diketahui dari persidangan Ijang Widjaja. Pembunuhan itu terungkap setelah pemerintah pusat-di bawah pimpinan Perdana Menteri M. Sjahrir-menugasi sejumlah petinggi Republik ke Sumatera Utara, April 1946. Tujuannya: meredam revolusi sosial. Menteri Perhubungan A.K. Gani dan Menteri Sosial Abdul Madjid pergi ke sana. Setiba di Langkat, keduanya bertemu dengan sejumlah pejabat daerah. Mereka bertanya tentang "revolusi sosial", termasuk soal Amir yang tak kunjung pulang. "Di mana Amir Hamzah?" kata Gani. Karena tak ada yang menjawab, dia langsung menduga Amir sudah wafat. Ia mengenang Amir sebagai salah satu pujangga besar yang sukar sekali dicari gantinya. "Kalau ada di Jakarta, mungkin ia diberi tugas dalam kabinet." Dari kunjungan itu, pemerintah pusat memperoleh informasi bahwa masih banyak orang ditahan. Gani meminta tahanan diinterogasi agar bisa ditentukan kesalahannya. Polisi getol melakukan pencarian setelah salah satu anggotanya, Philips Simandjuntak, hilang di masa revolusi sosial. Pengusutan itu menuntun polisi pada sosok Ijang, yang pernah bekerja di kompleks Kesultanan Langkat. Menurut Pemangku Kerapatan Adat Kesultanan Langkat, Tengku Azwar Aziz, ia hanya tahu Ijang berasal dari Rambung, Binjai. Ijang diketahui bekerja sebagai pelatih silat dan mandor kebun. Menilik namanya, Azwar yakin Ijang bukan orang Sumatera Utara. "Yang bekerja di kebun itu kebanyakan orang Jawa," ujar Azwar, akhir Juli lalu. Kepala Polisi Binjai Tengku Anuah Husny memeriksa Ijang pada awal 1947. "Pemeriksaan itu berdasarkan perintah atasannya," tulis Saidi Husny dalam buku Kenangan Masa: Mengenang Pribadi Pudjangga Amir Hamzah. Upaya mengusut Ijang tak berlangsung mulus. Rupanya, orang-orang "kiri" berusaha menghentikan pemeriksaan itu. Caranya: melobi tokoh-tokoh sosialis di Jakarta. Menurut Saidi, upaya ini berhasil. Tak berselang lama, muncul perintah baru dari pemerintah pusat. Isinya meminta pemeriksaan terhadap Ijang Widjaja dihentikan. Dua tahun kemudian, berdasarkan instruksi Pemerintah Negara Sumatera Timur, kasus Ijang kembali diusut. Pemeriksanya adalah jaksa Lubis. Berbeda dengan sebelumnya, kasus Ijang dilimpahkan ke Pengadilan Binjai. Dalam persidangan yang dipimpin hakim W.C. Soatarduga, Ijang mengaku membunuh Philips di Kwala Begumit. Yang membuat banyak orang terperenyak, ia juga mengaku mengeksekusi Amir Hamzah. Berbekal informasi itu, Soatarduga memerintahkan lokasi tempat eksekusi yang ditunjuk Ijang dibongkar. Selama persidangan, Ijang mengaku bersimpati kepada Amir. Di matanya, Amir tidak pernah berbuat sewenang-wenang dan bersedia mengulurkan tangan menolong sesama. Sang algojo sebenarnya tak kuasa melakukan eksekusi. Namun ia tidak berdaya menolak perintah. Ijang sempat dikabarkan ragu-ragu saat hendak melakukan eksekusi. Orang-orang di belakangnya berteriak: "Cepat, mandor!" Amir sempat meminta tak dieksekusi. "Mohon jangan bunuh saya," katanya. "Nanti Republik yang dipersalahkan." Ijang tak memenuhi permintaan itu. "Saya hanya menjalankan perintah." Pengadilan Binjai menghukum Ijang Widjaja 20 tahun penjara. Menurut keterangan petugas penjara, Ijang tiap malam meraung-raung dihantui bayangan orang-orang yang dipenggalnya. "Matanya liar seperti orang ketakutan," tulis Tengku M.H. Lah Husny dalam Biografi Sejarah Pujangga dan Pahlawan Nasional Amir Hamzah. Jumlah orang yang dieksekusi Ijang tak pernah jelas. Saat lahan yang menjadi tempat pembantaian di Kwala Begumit dibongkar, setidaknya ditemukan 26 kerangka di sana. Dua di antaranya Amir Hamzah dan Philips Simandjuntak. Di dalam salah satu lubang ditemukan sejumlah barang, termasuk cincin emas berbatu nilam dan jimat timah yang terselip di celana. Barang itu milik Amir. Belum selesai menjalani masa hukuman, Ijang mendapat amnesti dari pemerintah Republik Indonesia Serikat di Jakarta pada 1950. Alasannya, menurut Lah Husny, "…perbuatan Ijang Widjaja akibat dari perjuangan." Tengku Kamaliah sempat mempertanyakan bebasnya Ijang kepada Saidi Husny, yang saat itu bertugas sebagai kepala polisi di Langkat. Menurut Saidi, dalam buku Kenangan Masa, saat datang ke kantornya, wajah Tengku Kamaliah terlihat tidak begitu gembira. "Apakah orang yang telah dihukum pengadilan sampai 20 tahun penjara dapat dikeluarkan begitu saja?" Saidi hanya mendengarkan keluhan Kamaliah dan berjanji menyampaikan pesan itu kepada atasannya. Meski telah bebas, Ijang tak bisa menghirup udara segar. Di rumahnya di Kampung Rambung Binjai, ia dikurung dalam kamar tertutup karena dianggap gila, terlihat ketakutan, dan seperti berusaha selalu kabur. Menurut Nh. Dini, Tahura pernah bertemu dengan Ijang Widjaja. "Tapi ngomong-nya sudah tidak keruan. Mungkin dia juga stres." Sang mandor mati dalam keadaan gila empat tahun setelah keluar dari penjara. Dikutip dari Laporan Utama Majalah Tempo Edisi Paradoks Amir Hamzah 14 Agustus 2017

Terjepit di Antara Dua Gelombang

Sampai Nyawa Menjadi Taruhannya Para pemuda sosialis menuduh Amir pro-Belanda seperti keluarganya. Ia dibunuh karena dianggap tak tegas mendukung kemerdekaan Indonesia. Biarlah daku tinggal di sini Sentosa diriku di sunji sepi Tiada berharap tiada berminta Djauh dunia di sisi dewa DITULIS dalam huruf-sambung berkelir emas, bait pamungkas sajak "Naik-Naik" itu terpatri di nisan makam Tengku Amir Hamzah, pencipta sajak tersebut, di pelataran Masjid Azizi Tanjung Pura, Sumatera Utara. Di kanan-kiri pusara sastrawan berjulukan Raja Penyair Pujangga Baru itu terukir nukilan-nukilan dari beberapa puisinya yang lain. Pusara dari pualam putih itu tak terlampau istimewa. Makam Amir Hamzah nyempil di antara sekitar 100 makam lain. Status Amir sebagai menantu Sultan Langkat Mahmud Abdul Jalil Rahmad Shah tidak lantas menjadikan kuburannya berbeda dengan orang kebanyakan. "Amir Hamzah pernah berpesan, jika meninggal, ia ingin dimakamkan di luar kompleks kesultanan," kata Ameliah Hariana, cucu Amir Hamzah, pada Juli lalu. Jasad Amir dipindahkan ke Masjid Azizi di kompleks permakaman keluarga Sultan Langkat pada November 1949. Ia wafat dalam revolusi sosial yang mengoyak Sumatera Timur pada 20 Maret 1946 di Kwala Begumit. Selama tiga setengah tahun jasadnya terkubur di kebun pisang, satu lubang dengan delapan korban revolusi lainnya. Kwala Begumit terletak 20 kilometer ke arah selatan dari Tanjung Pura menuju Medan. Kuburan Amir berada sekitar 100 meter dari Kantor Urusan Agama Kecamatan Binjai. Ketika Tempo ke sana pada Kamis tiga pekan lalu, kebun pisang separuh lapangan sepak bola itu hanya tanah berisi tanaman liar dikelilingi perdu. Tidak ada patok atau apa pun yang menandai lokasi itu sebagai tempat eksekusi 26 tahanan pemuda sosialis Langkat. "Dulu ada semacam lubang seperti sumur yang tertutup tanah," ujar Abdul Kayum, penduduk setempat. Di lubang yang ditunjuk Abdul kini berdiri sepuluh pohon pisang setinggi dua meter. Abdul mengetahui tanah itu bekas kuburan Amir Hamzah karena beberapa kali ada acara napak tilas. Napak tilas terakhir digelar untuk mengenang satu abad Amir Hamzah, pada 2011. Di lubang itulah Amir dieksekusi, oleh Ijang Widjaja, guru silat Kesultanan Langkat, pengurus kebun yang amat disayangi Amir. Ijang menghabisi Amir dengan memenggal leher majikannya memakai katana. "Disembelih seperti ayam," kata Tengku Nurzeihan, adik ipar Amir Hamzah, yang menyaksikan eksekusi itu, kepada Tempo pada 2006. *** MASIH lekat dalam ingatan Trisutji Djuliati Kamal peristiwa gaduh pada 5 Maret 71 tahun silam. Saat itu pukul setengah tujuh pagi. Trisutji, putri dokter keluarga Kesultanan Langkat, Djulham Surjowidjojo, tengah berjalan kaki menuju Istana Binjai bersama ibunya, Nedima Kusmarkiay. Setiba di halaman istana yang menjadi tempat tinggal Sultan Mahmud dan keluarganya tersebut, Trisutji, yang saat itu berusia sepuluh tahun, dan ibunya melongo. "Kami melihat Istana sudah diserang oleh pemuda-pemuda yang membawa bambu runcing," katanya pada Rabu dua pekan lalu. Melihat keributan itu, ibunya bergegas menyeret Trisutji kembali ke rumah mereka, yang berjarak tak sampai dua kilometer dari Istana Binjai. Belakangan, Trisutji tahu bahwa kericuhan di Istana Binjai dikenal dalam sejarah sebagai revolusi sosial Langkat. Lahir di Jakarta, Trisutji tumbuh di lingkungan Kesultanan Langkat di Binjai sejak berusia dua tahun. Saban pagi, ia dan ibunya diminta datang ke Istana untuk sarapan bersama Sultan Mahmud dan keluarganya. Trisutji masih ingat sempat berkenalan dengan Amir Hamzah, yang tinggal di kompleks Istana. Di rumah itu pula Amir dijemput para pemuda yang tergabung dalam banyak organisasi. Mereka marah karena menganggap keluarga Sultan pro-Belanda dan tak mengakui Republik yang belum genap berusia satu tahun. Mereka mengabaikan apa yang sudah dilakukan Amir sebagai peletak dasar bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan Nusantara. Ketika itu bahkan Amir menjadi wakil Indonesia sebagai Asisten Residen Langkat-setingkat bupati-di Binjai. Amir berusia 35 tahun ketika dijemput dari rumahnya. Ia ditahan berpindah-pindah tempat selama dua pekan bersama 37 tawanan lain yang dianggap sebagai antek kesultanan. Di Sumatera Timur, ada tiga kesultanan yang menjalin kerja sama dengan Belanda dalam produksi minyak dan hasil bumi. "Semua yang dianggap pro-Belanda dihabisi," kata Suprayitno, sejarawan Universitas Sumatera Utara. Menurut Saleh Umar, pentolan Barisan Harimau Liar, yang menjadi salah satu organisasi dalam revolusi itu, kesalahan Amir adalah punya dua kantor yang bertentangan. Gelar Amir di kesultanan adalah Pangeran Langkat Hulu, sementara pekerjaannya sebagai asisten residen berada dalam struktur pemerintahan Indonesia. "Amir dianggap pengkhianat," ujar Saleh kepada sejarawan Muhammad Said, yang ditulis dalam What was the "Social Revolution of 1946" in East Sumatra?, yang terbit pada 1972. Selain Barisan Harimau Liar, kelompok pemuda yang menjadi motor revolusi adalah Gagak Hitam, Pasukan Marsose, dan Laskar Hizbullah. Organisasi-organisasi itu berhimpun dalam Persatuan Perjuangan atau Volksfront. Di Langkat, Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), yang dipimpin Usman Parinduri, berandil besar dalam peristiwa berdarah itu. "Umumnya mereka pemuda beraliran kiri," kata Suprayitno. Gerakan anti-kesultanan di Sumatera Timur dimulai pada 1942. Motifnya, menurut sejarawan Anthony Reid dari Australian National University, adalah merebut lahan-lahan perkebunan yang dikelola para sultan. Selain tokoh organisasi, tokoh lokal dari Karo-Batak menjadi motor kerusuhan itu. Isu yang dikembangkan tokoh komunis seperti Xarim M.S. dan Laut Siregar saat itu adalah Sultan memimpin wilayah-wilayahnya secara feodal dan menjadi antek Belanda. Mereka berusaha memupus ingatan publik akan janji para sultan yang bakal bergabung dengan Republik dalam pertemuan dengan Gubernur Sumatera Tengku Muhammad Hasan pada 3 Februari 1946. Sebagai orang pergerakan sejak bersekolah di Algemene Middelbare School Solo, Jawa Tengah, Amir sudah mencium gelagat gawat begitu demonstrasi menentang kesultanan mulai merebak. Tengku Lah Husny, yang pernah merantau bersama Amir ke Batavia, menulis dalam Biografi Sejarah Pujangga dan Pahlawan Nasional Amir Hamzah bahwa Amir sudah mengingatkan mertuanya, Sultan Mahmud, agar mengungsi. Kakak Lah Husny, Saidi Husny, yang menjadi polisi di Binjai dan berkawan dengan Amir sejak kecil, bahkan meminta sahabatnya itu segera hengkang dari rumahnya jauh sebelum demonstrasi membesar. "Amir menolak karena yakin rakyatnya tak akan menyakiti dia," kata Tengku Azwar Aziz, pemangku Kerapatan Adat Kesultanan Langkat, Juli lalu. *** CAP pengkhianat kepada Amir dan saudara-saudaranya tak hanya karena ia bagian dari keluarga Sultan. Dalam dokumen Geschiedenis van de Geheime Organisatie atau Riwajat Serikat Rahasia yang ditulis Datuk Hafiz Haberham, nama Amir Hamzah tertera sebagai anggota Treffers Organization, dinas rahasia Belanda yang berpusat di Kolombo, Sri Lanka. Organisasi itu dibentuk Belanda untuk mencegah invasi Jepang pada 1942. Hafiz adalah kepala organisasi itu. Dokumen yang dibuat Hafiz pada 1947 itu kini tersimpan di Arsip Nasional, Jakarta. Dalam laporannya, Hafiz menceritakan dengan detail apa saja yang harus dilakukan para agen-umumnya anggota keluarga Sultan di Sumatera Timur. Ia, misalnya, membangun benteng tombak di sepanjang pesisir Langkat-Asahan sepanjang lebih dari 250 kilometer. Oleh Hafiz, organisasinya diberi nama lokal Siap Sedia atau SS. "Tapi keterlibatan Amir dalam organisasi itu tidak pernah ada catatan resminya," kata Tengku Mira Rozanna Sinar, tokoh budaya Melayu. Misteri soal pemicu Amir dibunuh masih simpang-siur. Selain alasan antek Belanda dan anggota intelijen, para sejarawan belum bisa memastikan mengapa para pemuda di Langkat juga mengeksekusi Amir, yang terkenal sebagai seorang nasionalis dan pro-Republik sejak belia. Dalam tabloid mingguan Bintang edisi 29 Maret-4 April 1995, muncul sebuah artikel berjudul "Tengku Amir Hamzah Dicap Penghianat". Dalam tulisan itu, pihak yang menyebut diri "Para pejuang kemerdekaan RI di Kabupaten Langkat dan Kodya Binjai" menggugat gelar pahlawan nasional yang diberikan pemerintah Indonesia untuk Amir Hamzah pada 1975. Lewat surat pernyataan setebal 13 lembar, para penggugat itu menguraikan musabab pecahnya revolusi sosial di Sumatera Timur. "Revolusi terjadi akibat penolakan para Raja dan Sultan terhadap ajakan Gubernur Sumatera mendukung Proklamasi Kemerdekaan RI, terkecuali Sultan Siak Sri Indrapura," begitu sebagian pernyataan mereka dalam kliping Perpustakaan Tengku Luckman Sinar di Medan. Soal para penggugat menyinggung keanggotaan Amir Hamzah dalam Comite van Ontvangst Netherland India Comite Administration Oranje Boven Langkat van Binjai juga disinggung dalam artikel itu. Ini regu panitia penyambutan kembalinya Belanda ke Langkat setelah Jepang hengkang. Para penggugat tak menyinggung soal organisasi rahasia Siap Sedia. Mereka juga menolak kabar bahwa para sultan itu sepakat dengan ajakan Gubernur Sumatera. Menurut Mira Rozanna Sinar, silsilah Amir Hamzah sebagai menantu Sultan Mahmud sekaligus keponakannya itu menjadi faktor utama ia dihabisi. Jabatannya sebagai asisten residen yang mewakili Republik tak dianggap oleh para pemuda sosialis. "Kaum merah menuduh dia tak membantu perjuangan rakyat," ujar tokoh budaya Melayu yang juga Kepala Perpustakaan Tengku Luckman Sinar itu. Tengku Saridjat, 81 tahun, sepupu Amir Hamzah yang mengalami revolusi itu, mengatakan situasi pada hari-hari kerusuhan memang tak terkendali. Banyak hasutan di sana-sini, membikin merah kuping sesama kaum pribumi. Orang Langkat yang tahu sepak terjang Sultan juga ikut berdemo. "Sepertinya mereka dihasut bahwa Sultan masih mendukung Belanda meski Indonesia sudah merdeka," katanya. "Wajar saja karena Sultan punya kontrak minyak dengan Belanda." Tengku Azwar Aziz, yang meneruskan trah Kesultanan Langkat kini, yakin Amir Hamzah tak pernah membelot dari Republik. "Amir Hamzah itu seratus persen republikan," katanya. Penulis Nurhayati Sri Hardini alias Nh. Dini, yang melacak kisah hidup Raja Penyair Pujangga Baru itu, juga menemukan fakta dan kesaksian bahwa Amir tak seperti yang dituduhkan para demonstran. Amir, menurut pengarang Pada Sebuah Kapal itu, mendukung Republik Indonesia sepenuhnya. "Hanya nasibnya malang, berada di tempat yang salah," katanya. Dalam puisi "Naik-Naik" yang diterbitkan majalah Poedjangga Baroe pada 1935, Amir seperti telah meramalkan nasibnya. Ia tetap di Langkat, menolak mengungsi, dan memilih menghadapi para eksekutor yang menuduhnya berkhianat. Dalam stanza sebelum bait terakhir puisi itu, Amir menulis: bertiup badai merentak topan larikan daku hembuskan badan hembuskan daku ke puncak tinggi ranggikan daku ke lengkung pelangi.... Dikutip dari Laporan Utama Majalah Tempo Edisi Paradoks Amir Hamzah 14 Agustus 2017