Teguh Tersenyum di Tengah Badai

oleh Steve Kosasih*



Malam itu, di Kota Philadelphia Amerika Serikat, hujan badai turun dengan derasnya. Seorang pengusaha hotel kecil yang merangkap sebagai manajer dan resepsionis menerima sepasang suami istri dari luar kota yang membutuhkan kamar untuk menginap. Saat itu, tahun 1889, belum ada teknologi pemesanan hotel secara online. Para pelancong sering kali terpaksa berspekulasi untuk memperoleh penginapan di suatu daerah.

Malam itu, seluruh keluarga sang manajer tidur di dalam kantor mereka saat sepasang tamu itu tidur dengan tersenyum di kamar mereka yang nyaman.

Lebih dari tiga tahun berlalu, pada suatu pagi, sang manajer menerima surat dengan amplop indah dan tinta emas. Sang tamu yang hadir di tengah badai pada malam yang gelap itu mengundangnya untuk dating ke kediaman sang tamu di New York.

Saat sang manajer tiba di New York, sang tamu menyambutnya dengan hangat dan mengajaknya melihat sebuah pencakar langit. “Bangunan ini akan menjadi hotel termegah di dunia. Saya ingin Anda yang mengelolanya.” Sang tamu adalah William Waldorf Astor, salah satu orang terkaya di dunia saat itu. Sang manajer adalah George Charles Boldt, yang akhirnya menjadi seorang miliarder pemilik berbagai jaringan hotel di Amerika Serikat. Bangunan itu adalah hotel Waldorf Astoria, yang saat ini adalah salah satu jaringan hotel kelas atas termewah dan terbaik di dunia.

Jangan tergesa-gesa menolak badai

Salah satu nasihat terbaik yang saya terima dari mentor saya adalah “tetaplah tersenyum saat badai melanda. Bekerjalah lebih keras daripada sebelumnya. Hanya mereka yang telah teruji oleh guncangan badai layak memimpin kapal yang lebih besar”. Semakin lama saya berkarier, semakin saya percaya bahwa nasihat itu benar. Pengalaman mengatasi berbagai krisislah yang kemudian memampukan saya untuk memimpin lebih baik dan tangguh dibandingkan sebelumnya.

Ada banyak pebisnis dan pemimpin yang mencuat dan sukses setelah “lulus” dari ujian badai dan kegelapan krisis yang mendera kehidupan mereka. Pada saat itulah keteguhan hati, daya juang, integritas, dan kreativitas kita benar-benar diuji oleh waktu dan keadaan. Seperti halnya tekanan dan proses alam mengubah karbon yang tak berharga menjadi berlian yang bernilai tinggi, hanya tekanan dan proses kehidupan yang mampu mengubah dan meningkatkan nilai diri serta harkat kehidupan kita.

Terkadang pada saat kegelapan dan hujan badai mendera kehidupan, kehidupan kita dikejutkan oleh tamu tak diundang yang mengusik kenyamanan kita. Jika saat itu tiba, kita perlu gigih menghadapinya dengan senyuman dan hati yang penuh syukur. Jangan terlalu cepat menolaknya, mungkin itu kesempatan yang ditawarkan Allah kepada kita untuk lulus dari ujian-Nya dan menerima karunia-Nya yang lebih besar lagi.


*Pemimpin Perusahaan Transportasi Publik

Sumber: Kompas, 26/11/2015

Arsitektur yang Berkarakter, Arsitektur yang Ikonik

oleh ALOIS WISNUHARDANA

Jika saja Eero Saarinen, salah satu juri pada sebuah kompetisi desain internasional tahun 1956 di Sydney, tidak melongok karya-karya yang sudah "dibuang" oleh juri-juri lainnya, hari ini bisa jadi kita tidak bisa menikmati sebuah bangunan sederhana tetapi ikonik, Sydney Opera House.

Pada tahun itu, pemerintah negara bagian New South Wales, Australia, menyelenggarakan kompetisi desain internasional untuk merancang sebuah bangunan dengan dua fungsi, satu untuk pementasan opera dan satu lagi untuk konser-konser simfoni.

Tidak ada batasan biaya untuk desain yang dirancang sehingga memberi keleluasaan para peserta untuk mengeksplorasi ide-idenya. Lokasi tapak berada di Bennelong Point, Sydney Harbour Bridge.

Mereka kemudian menunjuk juri independen untuk memilih pemenang, salah satunya Saarinen, arsitek Amerika Serikat kelahiran Finlandia. Sebanyak 200 arsitek dan desainer dari seluruh dunia mengikuti kompetisi tersebut.

Pada tahun 1957, ketika proses penjurian berlangsung, juri-juri sudah mengerucut pada beberapa desain yang masuk nomine. Eero Saarinen, juri dari Amerika Serikat yang datang terlambat 3 hari di Sydney justru tertarik dengan sebuah rancangan yang sebelumnya sudah masuk kotak.

Terjadilah diskusi dan argumentasi, sampai kemudian juri satu ini berhasil meyakinkan juri-juri lain bahwa karya yang ditunjuknya memiliki konsep yang mengagumkan, kuat dan visioner, serta layak menjadi pemenang. Desain tersebut adalah karya seorang arsitek muda berumur 38 tahun asal Denmark, Jorn Utzon.

Sydney Opera House
(gambar dari: free-wallpaperbase.com)

Ingatan dan harapan

Setelah 16 tahun proses pembangunan, hingga hari ini Sydney Opera House menjadi ikon terpenting Kota Sydney dan pada tahun 2008 dinobatkan sebagai warisan budaya dunia oleh badan PBB, UNESCO.

Penciptaan bangunan yang berkarakter dan kemudian menjadi legenda serta menjadi penanda kota (landmark) seperti Opera House, ada proses kreatif yang menggabungkan dua aspek yang selalu menggelisahkan pikiran manusia sepanjang masa; ingatan dan harapan.

Ingatan atau memori adalah jejak pengalaman masa lalu yang tersimpan menjadi tabungan rasa berkat kekuatan pancaindera. Sementara itu, harapan adalah imajinasi tentang masa depan dalam alam berpikir manusia yang ingin dialami, dihayati, dan dirasakan. Pada dua aspek itulah setiap pikiran dan tindakan bertumpu.

Dalam konteks berasitektur, di sanalah seorang desainer atau arsitek memiliki ruang eksplorasi yang luas sehingga karya yang dihasilkannya tidak semata-mata merupakan suatu ekspresi teknikal, tetapi juga mengandung cita rasa seni yang tinggi, berkarakter, menyentuh, dan visioner.

Dalam skala kota, bangunan-bangunan yang demikian akan terlihat leih menonjol, hidup, dan bernyawa, dibandingkan dengan bangunan atau lingkungan di sekelilingnya. Ia tidak mesti menjulang seperti Menara Petronas di Kuala Lumpur, Shanghai, atau Burj Khalifa di Dubai. Benar bahwa ketinggian juga bisa memesona dan menggetarkan, tetapi tidak harus dengan pendekatan yang demikian. Bentuk yang ikonik adalah cara lain.

Menjawab tantangan

Salah satu arsitek yang menggunakan pendekatan tersebut adalah Koichi Takada ketika merancang sebuah bangunan hunian dan komersial (mixed-use) Infinity by Crown, di kawasan Green Square, Sydney.

Arsitek Australia kelahiran Jepang ini mampu menjawab tantangan, bagaimana menciptakan suatu elemen kehidupan perkotaan masa depan pada situasi dan konteks masa kini. Sebuah desain yang memiliki massa bangunan berbentuk persegi lima asimetris dengan lekuk-lekuk pada lima sisinya dan ruang kosong (void) di tengah massa bangunan.

Yang mengejutkan, Takada kemudian "mengiris" satu sisi bangunan dan "melubangi" sisi lain yang berhadap-hadapan untuk menghadirkan ambience, pengudaraan, dan pencahayaan yang ideal pada keseluruhan bangunan.

Tentu saja, ini adalah pendekatan yang tak lazim dan nonlinear dari sudut pandang bsnis. Mengorbankan ruang komersial yang sebenarnya masi bisa dioptimalkan dalam perspektif bisnis properti pasti akan mengurangi nilai keuntungan secara keseluruhan.

Akan tetapi, nilai lebih yang lain justru didapatkan karena bangunan menjadi tampil ikonik, keluar dari jebakan massa kotak-kotak menjulang yang lazim kita lihat pada bangunan tinggi (high-rise building). Di situlah kemudian potensi itu dioptimalkan sehingga setiap sentimeter bangunan bernilai lebih tinggi. Pendekatan dari sudut pandang material yang mengombinasikan kaca dan aluminium pada sisi luar bangunan menjadikan Infinity seperti pulau kaca.

Infinity
(sumber: infinitybycrowngroup.com.au)

Koichi Takada menyempurnakan elemen-elemen detail bangunan ini berdasarkan pengalaman hidup masa kecilnya di Jepang, dikombinasikan dengan pendidikan dan praktik arsitekturnya ketika hidup di Tokyo, London, dan New York.

Arsitektur Jepang yang kaya akan detail dan cita rasa seni serta kehidupan kota metropolitan seperti London dan New York yang menekankan pentingnya mengoptimalkan setiap jengkal lahan dipadukan secara harmonis.

Dua sisi bangunan yang diiris diagonal menciptakan bingkai cahaya yang menaungi seluruh sisi bangunan apartemen pada bagian atas, dan meninggalkan energi kehidupan publik pada bagian bawah bangunan. Ini didapatkan karena Takada "mengangkat" massa bangunan, lalu menciptkan lorong jalanan sebagai ruang publik yang mengelilingi bangunan.

Melibatkan seluruh pancaindera

Perancangan dan proses kreatif yang dijalani Takada bersumber dari proses, formasi, dan struktur yang berlangsung di alam. Arsitektur, dalam pandnagan Takada lebih dari sekadar penciptaan bentuk yang indah. Proses ini harus melibatkan seluruh pancaindera. Misalnya, bagaimana kita merasakan angin sepoi-sepoi yang berembus, akustik yang nyaman di telinga, dan pencahayaan alami melalui kanopi-kanopi alamiah berupa pepohonan. Itu semua hanya dapat dirasakan ketika kita mengalaminya, merasakannya sendiri saat hadir di tengah-tengah bangunan.

Takada membuktikan, pemahaman akan alam dan elemen-elemen alamiah yang kuat, akan terpancar dari pilihan-pilihan material yang digunakan, dan terutama bentuk yang diciptakan.

Cara berpikir dan perancangan Takada yang bertumpu pada kehebatan alam dalam menciptakan imajinasi dalam diri manusia sedikit banyak dipengaruhi beberapa guru arsitektur terkemuka seperti Alejandro Zaera-Polo dan Farshid Moussavi yang menjadi pembimbingnya ketika menyelesaikan studi pascasarjananya, serta Rem Koolhaas.

CEO Crown Group Iwan Sunito yang membangun Infinity by Crown di Green Square menilai rancangan Koichi Takada ini sangat potensial untuk menjadi ikon baru bagi kota Sydney setelah Opera House, ketika bangunan ini selesai pengerjaannya pada tahun 2019. Bangunan yang dirancang melalui proses sayembara, yang Koichi Takada pada awalnya nyaris tak bisa memasukkan konsep desainnya.

Alois Wisnuhardana
Penulis dan peminat arsitektur
@wisnuhardana

Sumber: Kompas, 24/11/2015

Bersyukur karena Bencana

oleh Steve Kosasih*

Sudah beberapa hari ini, ramai sekali di media sosial mengenai bencana terorisme yang melanda Paris dan Beirut. Bencana yang memakan banyak korban tersebut sangat mengguncangkan dunia, baik dunia nyata maupun dunia virtual alias media sosial atau medsos. Anehnya, belakangan ini, di berbagai medsos yang marak bukanlah pembahasan bencana-bencana tersebut apalagi cara menanggulanginya, melainkan aksi protes para pengguna medsos karena ada satu pihak yang menyatakan simpatinya kepada para korban di negara tertentu yang kemudian diprotes oleh pihak lain yang tidak setuju bahwa satu negara mendapat perhatian lebih dibandingkan negara lainnya.

Malah, belum lama ini saya mendapat grafik yang agak menggelitik. Grafik tersebut menjelaskan bahwa dari 100 persen populasi yang membahas bencana terorisme di Paris dan Beirut sekitar 15 persen populasi mendoakan Paris, sekitar 15 persen populasi mendoakan Beirut dan 70 persen sisanya meributkan mana yang harus didoakan. Sungguh miris sekaligus menggelikan. Namun, sebagai insan yang percaya kepada Tuhan, apakah kita percaya bahwa sama sekali tidak ada hikmah dari hal buruk yang terjadi?

Memilih untuk bangkit

Di Kota Enterprise, Alabama, berdiri The Boll Weevil Monument atau Monumen Kumbang Kapas. Pada awal 1900-an, kota itu dikenal sangat makmur karena perkebunan kapasnya yang subur. Namun, pada tahun 1918, perekonomian kota itu hancur karena serangan kumbang kapas yang bermigrasi dari Amerika Selatan dan membuat panen kapas gagal total. Hampir semua petani bangkrut dan kota itu terpuruk dalam sekejap karena aksi "terorisme" sang kumbang kapas.

Di tengah penderitaan akibat bencana itu, para petani mengambil keputusan untuk berhenti bersedih dan bangkit dari keterpurukan. Mereka saling menyemangati satu sama lain dan bantings etir menanam kacang. Ternyata, dari panen kacang itulah kota ini kembali meraih kemakmuran, bahkan jauh melebihi sebelumnya. Masyarakat kota pun akhirnya mendirikan monumen tanda terima kasih kepada kumbang kapas sang teroris pembawa bencana.

Memilih untuk menjadi cahaya



Untuk Paris dan Beirut, saya tidak tahu apakah akan aa hikmah seperti Enterprise, Alabama. Namun, hal-hal yang tak terduga mulai terjadi. Karena aksi terorisme kemarin, seluruh perbatasan Perancis dan layanan angkutan umum di Paris ditutup. Masyarakat Paris membuak pintu rumah mereka menampung para pelancong yang kehabisan uang dan tidak bisa pulang ke negaranya akibat perbatasan ditutup. Para pengemudi taksi di Paris menggratiskan layanan taksi mereka bagi semua orang yang telantar di jalan karena layanan bus dan kereta MRT ditutup. Mereka yang terkena bencana justru menjadi penolong bagi para tamunya.

Saat ditanya mengapa mau berbuat seperti itu, jawaban mereka benar-benar mengingatkan saya akan kata-kata Martin Luther King, "Karena kegelapan tidak akan mampu menghalau kegelapan, hanya cahaya yang mampu melakukannya. Karena kebencian tidak akan mampu menghapus kebencian, hanya cinta yang mampu melakukannya."

Tak ada yang tahu masa depan, tetapi dengan kebesaran hati seperti itu bukan tak mungkin mereka akan bangkit dan lebih hebat dari sebelumnya. Bukan tak mungkin dunia kita akan menjadi dunia yang penuh damai. Bukan tak mungkin kita akan bersyukur kepada Allah atas semua bencana yang diizinkan-Nya terjadi karena pengganti yang terbaik telah disediakan Tuhan bagi kita.


*Pemimpin Perusahaan Transportasi Publik

Sumber: Kompas, 19/11/2015

Sumber gambar: FreeImages.com/Chee Kong Teo

Melihat karena Percaya



Oleh Steve Kosasih*

Anak saya belum lama ini harus mengikuti serangkaian tes psikologi, linguistik, dan matematika (yang harganya selangit) karena sulit mengikuti pelajaran dan dianggap kesulitan berkomunikasi dibandingkan anak-anak sebayanya. Setelah mengikuti tes yang mahal selama berminggu-minggu, anak saya didiagnosis mengidap ADHD alias Attention Deficit Disorder (kesulitan berkonsentrasi dan kelainan hiperaktif) serta disleksia ringan (kesulitas dalam mengeja dan membaca kata-kata). Kesimpulannya anak saya harus mengikuti terapi khusus (yang harganya dua langit) yang harus dilaksanakan oleh tim pendidik khusus, dokter dan psikolog untuk jangka waktu yang lama. Sangat menyedihkan bagi saya dan anak saya.

Melihat kesedihan kami, ibu saya yang sudah 52 tahun berprofesi sebagai pendidik bahasa menawarkan dirinya mengajar anak saya itu seminggu tiga kali. Dalam waktu 3 bulan sejak ibu saya melatih cucunya itu, kemajuannya sangat pesat. Anak saya sudah mulai membaca dan mengeja dengan baik, komunikasinya pun lebih lancar dan dia pun menjadi jauh lebih ceria. Waku saya tanya kepada ibu saya bagaimana dia bisa mengajar anak saya yang konon menderita ADHD dan disleksia itu, beliau menjawab “Oh, Mami tidak tahu soal hal-hal aneh itu. Di mata Mami, anakmu itu anak yang pintar dan cerdas, jadi Mami ajar seperti anak yang pintar dan cerdas. Mungkin selama ini dia belum mendapat guru yang tepat.”

Percaya karena melihat

Gillian Lynne adalah seorang koreografer, artis, dan sutradara terkenal yang menciptakan berbagai film dan karya musical terkenal seperti Muppet Show dan Phantom of the Opera.

Pada masa kecilnya, Gillian Lynne divonis sebagai anak bodoh yang memiliki kelainan otak sehingga sulit berkonsentrasi dan menyerap pelajaran. Guru-gurunya menyarankan agar orangtua Gillian mengobati penyakitnya atau mengeluarkannya dari sekolah karena tak ada harapan.

Suatu hari, ibunya membawanya kepada seorang dokter yang menemukan bahwa Gillian sama sekali tidak bodoh, dia hanyalah seorang anak yang memiliki passion dan bakat yang tinggi dalam menari. Ibunya menyekolahkan Gillian di Royal Ballet School, London dan sejak hari itu kariernya terus menanjak sehingga dia menjadi sangat terkenal, mendirikan perusahaan Gillian Lynne Dance Company hingga menjadi jutawan (dalam mata uang poundsterling).

Sebagaimana kita percaya

Untung Gillian tidak ke dokter yang salah, kalua tidak, mungkin dia divonis menderita ADHD, harus menjalani terapi seumur hidupnya, dan tumbuh sebagai perempuan dengan percaya diri rendah. Kadang kita melihat hasil ujian atau rapor anak-anak kita lalu percaya bahwa anak-anak itu tidak memiliki kemampuan yang baik. Lebih parah lagi kadang kita melakukan itu kepada diri sendiri dan percaya bahwa kita tidak mampu atau akan gagal melakukan sesuatu. Hasilnya dapat ditebak, yang berpikir dirinya akan gagal hamper pasti benar-benar gagal.

Tuhan tidak pernah salah menciptakan manusia. Banyak agama dan kitab suci mengajarkan “sebagaimana engkau percaya, begitulah dirimu” dan “mintalah, maka Allah akan memberikannya kepadamu”. Jikalau benar kita percaya akan kemahakuasaan Pencipta kita, kita harus berhenti hanya percaya karena melihat dan harus mulai bisa melihat karena kita percaya.

*Pemimpin Perusahaan Transportasi Publik

~ o 0 o ~

Sumber: Kompas, 12/11/2015

Sumber gambar: realisticoverdose.com

Seni Topeng Malangan

Seni topeng malangan merupakan seni tari klasik asal Malang, Jawa Timur. Tarian itu lazimnya menceritakan legenda Panji, yang didalamnya mengisahkan kepahlawanan dan kebesaran ksatria-ksatria Jawa dari kerajaan-kerajaan yang tumbuh di Malang dan sekitarnya, seperti Kerajaan Jenggala, Kediri dan Singasari.

Topeng digunakan menari waktu itu untuk mendukung fleksibilitas si penari. Sebab waktu itu sulit untuk mendapatkan riasan (make up), maka untuk mempermudah riasan, para penari tinggal mengenakan topeng di mukanya. Para penari pun bergerak sesuai karakter topeng yang beragam.

Seni tradisi ini dikenal sejak masa Kesultanan Demak (1524-1581). Pada masa itu, Sunan Kalijaga aktif menggubah pertunjukan wayang topeng Jawa. Pentas itu lantas menyebar ke Jawa Timur, salah satunya memusat di beberapa desa di Malang, sehingga kemudian seni ini dikenal sebagai topeng malangan.

Penceritaan dan dialog dalam pentas ini menggunakan dialek Jawa Timur. Topengnya dibuat dari kayu dengan guratan yang membentuk karakter wajah-wajah tertentu. Ada karakter jahat, baik, jenaka, sedih, bahkan wajah dengan citra yang berubah-ubah. Saat dibawakan penari di panggung, semua karakter itu menjadi bergerak hidup.

Penokohan



(sumber gambar: Kompas, 1/11/2015, hal.10)

Topeng malangan memiliki lebih kurang 76 tokoh/karakter yang terbagi dalam empat kelompok besar, yaitu:
  • - Tokoh protagonis, yaitu tokoh baik Kerajaan Jenggala dan Kediri yaitu Panji dan Dewi.
  • - Tokoh antagonis, dari Kerajaan Sabrang atau seberang yaitu, Kerajaan Dulang Kencana, Bantar Angin dan lainnya. Tokohnya adalah, Klana, Bapang, Patih Sabrang dan Butho.
  • - Tokoh jenaka, biasanya abdi yaitu, Demang dan Bambang.
  • - Tokoh hewan, seperti Ayam, Naga, Ikan (Bader Bang), Monyet, Lembu, Babi, Sapi, dan Lalat (jelmaan Walangwati-walang Semirang.
Karakteristik Topeng Malangan berbeda dengan topeng dari daerah lain, seperti Solo, Cirebon, dan Bondowoso. Perbedaannya terletak pada ragam warna yang lebih banyak dibanding topeng daerah lain.

Ciri Topeng Malangan dikuatkan dari pewarnaan dengan kombinasi lima warna dasar yakni, merah melambangkan keberanian, putih melambangkan kesucian, hitam melambangkan kebijaksanaan, dan kuning melambangkan kesenangan, serta hijau melambangkan kedamaian. Selain itu, ornamen atau ukirannya juga lebih detail.

Sanggar Asmoro Bangun



Memang sudah tak banyak seniman yang menggeluti kesenian ini. Tetapi bukan berarti tidak ada sama sekali. Salah satu yang bertahan adalah Sanggar Asmoro Bangun.

Di sanggar yang terletak di Dusun Kedung Monggo, Desa Karang Pandan, Kecamatan Pakisaji, Malang ini biasanya digelar pertunjukan wayang topeng. Pertunjukan memiliki jadwal yakni biasanya digelar 36 hari sekali atau setiap Senin Manis atau Senin Legi.

Selain menampilkan pertunjukan Topeng Malangan, sanggar juga memberikan kursus tari kepada anak-anak. Biasanya pelatihan tari dilaksanakan setiap hari Minggu. Dan bagi yang ingin menyaksikan proses pembuatan topeng, dilaksanakan setiap hari, jam 8 pagi sampai 4 sore.

Alamat Padepokan Seni Topeng Asmoro Bangun
Jl. Prajurit Slamet, Dusun Kedung Monggo, Desa Karang Pandan,
Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang - Jawa Timur, Indonesia
Email: topengasmorobangun@gmail.com
CP. Bapak Handoyo (+62-8175404437)


~ o 0 o ~

Sumber:

bangunasmoro.blogspot.co.id

Kompas, 1/11/2015

Kompas: Topeng Malang Makin Terpinggirkan

Padepokan Seni Topeng Asmoro Bangun, Buku "Dramatari di Indonesia, Kontinuitas dan Perubahan", karya RM Soedarsono dan Tati Narawati.

Berubah Sebelum Diubah

pic from: indonesia-now.com

Oleh Steve Kosasih*

Dapat dikatakan semua makhluk hidup menyukai keseragaman dan tidak menyukai perbedaan. Di dunia fauna, hewan-hewan yang sama akan cenderung berkumpul dan menolak kawanan yang tidak seragam dengan mereka.

Peribahasa Inggris menggambarkan hal itu dengan kalimat, "Birds of the same feather flock together". Hal yang sama juga berlaku untuk manusia. Kita cenderung menyukai mereka yang sama dengan kita dan menolak mereka yang berbeda, dalam hal apa pun.

Anehnya, hal itu sama sekali bertentangan dengan prinsip sukses dalam kehidupan. Untuk bisa hidup dengan baik di tengah masyarakat, kita harus mampu membaur dengan lingkungan yang beraneka ragam dan penuh dengan perbedaan.

Lantas, mengapa kita cenderung tidak suka perbedaan? Selidik punya selidik, ternyata itu karena secara alami makhluk hidup membenci perubahan. Perubahan mengakibatkan ketidakpastian. Padahal, untu bertahan hidup, sukses dalam pelajaran, berhasil dalam bisnis, dan banyak hal lainnya, kita membutuhkan kepastian. Charles Darwin menemukan fakta bahwa bukan makhluk yang terkuat atau yang terpintar yang mampu bertahan hidup, melainkan hanya yang mampu beradaptasi terhadap perubahan yang akan tetap eksis.


Mengubah yang paling mudah

Riset yang diberitakan Cambridge News menyatakan bahwa 10 jenis pekerjaan dengan bayaran tinggi pada 2015 bahkan belum ada pada 2005. Jika riset itu benar, mungkin kita menyekolahkan anak-anak kita untuk menghadapi dunia kerja yang belum eksis hari ini, melatih mereka untuk menggunakan teknologi yang belum diciptakan hari ini, dan mendidik mereka untuk memecahkan masalah yang belum ada hari ini.

Masyarakat Ekonomi ASEAN yang konon akan diberlakukan pada akhir tahun ini tidak hanya membuka arus perdagangan barang atau jasa, tetapi juga pasar tenaga kerja profesional, seperti dokter, pengacara, akuntan, dan berbagai profesi lainnya. Artinya, persaingan akan semakin ketat untuk seluruh masyarakat yang tidak siap menghadapi hal ini.

Mau tidak mau, kita harus berubah karena dunia terus-menerus berubah. Kita harus mulai mengubah yang paling mudah diubah dan ada dalam kendali kita: diri kita sendiri.

Ekspektasi dan daya saing diri harus kita ubah untuk menghadapi tantangan masa depan. Bahkan, cara kita melihat dunia juga harus kita ubah. Bahayanya, kadang dunia berubah tanpa kita sadari.


Bagai katak dalam tempayan

Peneliti dari MIT William Thompson Sedgwick menyatakan, seekor katak jika dimasukkan ke tempayan yang berisi air bersuhu normal dan perlahan-lahan dipanaskan tidak akan meronta dan melompat, tetapi akan mati karena tanpa sadar perlahan-lahan ia direbus hingga matang.

Susunan syaraf dan otak kita bereaksi terhadap perubahan hampir sama seperti katak itu (walau kita berjuta-juta kali lebih cerdas daripada katak). Kita cepat bereaksi terhadap perubahan ekstrem, tetapi sulit mengenali perubahan yang bertahap dan perlahan-lahan menggerogoti eksistensi kita. Jangan jadi katak dalam tempayan. Mari kita secara sadar mengubah diri kita ke arah yang lebih dibutuhkan dunia sebelum kita perlu berubah. Jangan menunggu saat kita terpaksa harus berubah karena mungkin saat itu sudah terlambat untuk berubah.


*Pemimpin Perusahaan Transportasi Publik

~ o 0 o ~

Sumber: Kompas, 5/11/2015

Sel Punca: Terapi yang Menjanjikan

Sel punca adalah terapi baru dalam dunia medis. Meski masih dalam tahap penelitian dan belum jadi layanan standar, hasilnya cukup menggembirakan. Keberhasilan itu membuat para ahli yakin terapi sel punca akan jadi tren masa depan, menggantikan terapi konvensional dengan obat atau suntik.



Musa Asy'arie (64), Guru Besar Filsafat Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, telah merasakan manfaat terapi sel punca. Sejak menderita diabetes melitus 10 tahun lalu, kadar gula darahnya selalu di atas normal. Berbagai pengobatan dilakukan, termasuk ke sebuah rumah sakit di Singapura. Namun, gula darahnya tetap tinggi.

Atas saran teman, ia mencoba terapi sel punca di RSUD dr Soetomo Surabaya, enam bulan lalu. Setelah tiga kali penyuntikan sel punca yang diambil dari sumsum tulang belakang, fungsi pankreasnya naik dari 30 persen jadi hampir 100 persen. Kadar gula darahnya turun mendekati normal. Jumlah dan dosis obat yang diminum pun berkurang.

"Sekarang diabetes tak menakutkan lagi. Selain tubuh lebih ringan, saya bisa melakukan berbagai aktivitas yang berguna bagi orang lain," ujarnya.

Manfaat serupa dituturkan Andi Muhammad Ardan (32), mahasiswa semester 10 program dokter spesialis bedah plastik di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (FK Unair). Pada 2013, ia dinyatakan mengalami sirosis hati level lanjut, 75 persen hatinya jadi jaringan ikat.

Akibatnya, berat badannya turun drastis. Kemampuannya mengoperasi hanya 2-3 jam, padahal tuntutan profesi mengharuskan ia harus bisa mengoperasi 7-8 jam. Itu sempat membuatnya putus asa dan berniat mundur dari pendidikan. Apalagi, sirosis tahap lanjut belum ada obatnya dan berpeluang jadi karsinoma atau kanker.

Atas saran rekan seprofesi, ia ikut terapi sel punca di almamaternya. Setelah disuntik sel punca dari jaringan lemak di perutnya tiga kali selama tiga bulan, berat badannya naik 17 kilogram. Nilai serum glutamic oxaloacetic transaminase dan serum glutamic pyruvate transaminase sebagai indikator kesehatan hati juga normal. "Operasi 12-14 jam pun tak masalah," tuturnya.

Ada pula Rio Gunawan (32), karyawan bank swasta asing di Jakarta, yang patah tulang paha pada 2009. Berbagai terapi dijalani, mulai pasang pen, delayed union atau penyambungan tulang yang tertunda pada 2010, dan bone graft atau cangkok tulang pada 2011. Semua tak memberi hasil memuaskan.

Lalu, ia disarankan melakukan nailing atau pemasangan sejenis pelat atau paku pada tulang patah. Namun, metode itu berisiko jika kondisi tulangnya tak mendukung. Lalu, ia dianjurkan menjalani terapi sel punca di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta.

Meski sempat ragu karena terapi itu baru di Indonesia, ia berani mencoba setelah tahu ada aturan Menteri Kesehatan yang mengatur terapi sel punca. Terapi dilakukan dengan mengambil sel punca dari sumsum tulang belakangnya. Hasilnya, "Dulu saya harus jalan memakai kruk (tongkat). Kini, saya bisa jalan tanpa kruk sambil menggendong anak," ujarnya.

Penyakit degeneratif

Terapi sel punca mulai dikembangkan di dunia pada 1996 dan di Indonesia pada 2007. Terapi dilakukan dengan menyuntikkan sel punca ke pasien untuk memperbaiki organ atau jaringan tubuh yang rusak.

Sel punca bisa diambil dari embrio, darah tali pusat bayi baru lahir dan dari orang dewasa. Sel punca embrio belum dikembangkan di Indonesia karena etikanya diperdebatkan. Sel punca dewasa bisa diambil dari tubuh pasien sendiri (autologous) atau orang lain (allogenic).

"Sel punca dari embrio dan darah tali pusat potensinya amat besar, tetapi risiko tumbuh ke arah keganasan besar," kata Andri Lubis, Kepala Bagian Penelitian RSCM yang juga pengembang terapi sel punca tulang rawan. Tingkat penolakan sel punca yang diambil dari tubuh pasien jauh lebih kecil daripada diambil dari orang lain.

Sel punca bisa untuk terapi penyakit degeneratif atau terkait penurunan fungsi tubuh, mutasi dan keganasan sel. Beberapa penyakit yang bisa diterapi adalah jantung koroner, pelemahan pompa jantung, diabetes melitus, stroke, parkinson, kanker, dan gangguan tulang.

"Semua penderita penyakit degeneratif bisa diterapi dengan sel punca, tak ada batasan usia," kata Sekretaris Pusat Kedokteran Regeneratif dan Sel Punca Surabaya yang juga dokter penyakit dalam pengembang sel punca RSUD dr Soetomo Purwati. Pemeriksaan oleh dokter menentukan bisa tidaknya seseorang diterapi sel punca.

Karena masih tahap riset di seluruh dunia, terapi sel punca belum jadi layanan standar. Banyak aspek terapi perlu dioptimalkan dan diteliti sebelum diterapkan pada layanan rutin. Akibatnya, biaya terapi belum ditanggung asuransi kesehatan. Namun, biaya terapi di Indonesia jauh lebih murah dibanding di Tiongkok, apalagi di Eropa. Bahkan, sejumlah pasien bisa dibiayai dari dana riset.

Meski demikian, mutu terapi sel punca di Indonesia tak kalah dibandingkan negara lain. Dari 379 pasien yang diterapi di RSUD dr Soetomo, perbaikan pasien diabetes 30-100 persen dan nyeri sendi lutut 60-70 persen. Perbaikan pasien stroke 50 persen dan penyakit jantung 60- 80 persen. Hal serupa ditunjukkan peserta terapi di RSCM.

Meski menjanjikan, pasien perlu cermat menerima tawaran terapi sel punca. Di Indonesia, terapi baru dikembangkan di RSCM dan RSUD dr Soetomo. Klaim keberhasilan tanpa ditopang riset memadai perlu diwaspadai.

Oleh M ZAID WAHYUDI

~ o 0 o ~

Sumber: Kompas, 4/11/2015

Baca juga:

Kompas: Sel Punca Tak Obati Semua Penyakit

Perempuan di Mata Ajeng

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Perempuan punya tempat khusus di mata Ajeng Patria Meilisa (29). Sampai-sampai ia melakukan studi mendalam tentang hiperealitas kecantikan perempuan yang diwujudkannya dalam buku.

Keprihatinan terhadap fenomena perempuan modern berawal ketika ia melihat para perempuan berlomba-lomba ingin menjadi putih atau tinggi. ”Perempuan itu kayak bener-bener dimanfaatin untuk meraih keuntungan, bukan dilihat sebagai sosok yang mempunyai banyak potensi dalam dirinya,” kata Ajeng yang menjadi dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) InterStudi, Jakarta Selatan.

Buku berjudul Hiperealitas Perempuan dalam Pemasaran yang akan diluncurkan Desember mendatang itu merupakan hasil penelitian dengan metode wawancara lapangan. Ajeng berharap buku itu bisa membuka mata setiap perempuan. ”Memang semua perempuan pengin cantik, pengin sempurna. Tapi bukan cuma itu fokusnya. Bisa berkarya, bermutu, berbobot, dan tidak hanya ngurusin fisik,” tambah Ajeng yang pernah menjadi finalis Wajah Femina (2008) dan Top 5 Putri Indonesia (2008) itu.

Jika dibiarkan, lanjut Ajeng, hiperealitas kecantikan bisa membuat perempuan hidup dalam kepalsuan, tidak mensyukuri diri sendiri, dan terus berusaha memenuhi tuntutan menjadi sempurna.

”Kecantikan kan tak melulu hanya soal kesempurnaan tubuh, tapi otak harus terus diasah,” kata Ajeng yang setelah menyelesaikan S-2 memilih menjadi dosen untuk terus mengasah dirinya. ”Kalau berhenti belajar, suka ada yang hilang. Aku enggak mau. Ayo otak diputar terus,” ujar Ajeng yang merupakan ibu dari tiga anak.

Ditemui di lingkungan kampus, beberapa pegawai yang baru berjumpa dengannya sempat mengira perempuan cantik yang awet muda tersebut adalah mahasiswa. ”Mbaknya mahasiswa tingkat berapa?” tanya mereka. Ajeng hanya tersenyum sebelum menjelaskan bahwa dirinya sudah menjadi pengajar di kampus tersebut.

Dosen ”galak”

Mengajar mata kuliah Wawancara dan Talkshow serta Perilaku Konsumen, para mahasiswa dari semester awal hingga akhir mengenal Ajeng sebagai dosen ”galak”. Ketika seorang mahasiswanya datang terlambat 15 menit, misalnya, Ajeng tak memperbolehkannya mengisi absensi kedatangan.

”Ada yang bilang Ajeng itu galak, ha-ha-ha-ha. Ya enggak galak sih, tapi tegas. Kalau di luar kampus, saya suka ketawa-tawa, tapi kalau di ruang kelas harus berbeda. Kalau enggak, kita bisa disepelekan. Tegas buat kebaikan mereka juga,” katanya.

Ilmu komunikasi yang dibagikan ke mahasiswa pun cukup beragam. Pada mata kuliah Wawancara dan Talkshow, pelajaran dimulai dari sejarah talkshow, pengertian, hingga kiat menghadapi narasumber dari beragam karakter dan kalangan. Agar tak melulu mencekoki mahasiswa dengan teori, dosen tamu pun sesekali didatangkan untuk berbagi pengalaman terkait praktik di lapangan.

”Mengajar itu menyenangkan. Kebetulan bidang saya di komunikasi. Saya cinta banget dengan komunikasi dengan berbagai teorinya,” ujar Ajeng yang segera menyanggupi ketika tawaran mengajar mulai datang.

Bibit kepedulian pada dunia pendidikan secara tidak sadar sebenarnya sudah muncul ketika wajahnya mulai menghiasi layar kaca. Sejak duduk di bangku sekolah menengah, Ajeng sudah malang melintang di dunia pertelevisian, diawali sebagai pemandu acara cerdas cermat Ki Hajar Dewantara di TVRI.

”Seru dan bangga. Senang bisa dikenal karena prestasi,” kata Ajeng.

Tomboi

Sederet prestasi yang pernah diraihnya justru berawal dari kekhawatiran sang ibu ketika melihat Ajeng tumbuh menjadi gadis tomboi. Kala itu, Ajeng, misalnya, bisa makan sambil mengangkat kaki ke kursi. Meski tomboi, Ajeng cenderung pemalu. Untuk membangun keberanian anak bungsu dari tiga bersaudara itu, kedua orangtuanya kemudian mendaftarkan Ajeng ke ajang kecantikan.

Ia ingat ketika masih di bangku SMP, tiba-tiba menerima panggilan seleksi ”Wajah La Tulip Cosmetique”. ”Saya langsung gelagepan dan bertanya pada Mami, kok tiba-tiba dapat telepon kayak gini? Kata Mami, enggak apa-apa. Itung-itung sekadar nyoba. Kita harus belajar merias, sopan santun dijaga, dan tampil di depan umum,” ujarnya.

Ajeng yang harus belajar memakai sepatu hak tinggi untuk kompetisi tersebut malah meraih juara pertama sekaligus juara umum. Perlahan, ia jatuh cinta pada dunia mode yang kemudian membawanya tampil di panggung mode internasional, seperti di Yunani, Malaysia, dan Tiongkok.

Pengalaman itu membentuknya menjadi perempuan yang mengerti cara berdandan dan merawat diri, tapi juga menyadari bahwa kemampuan intelektualnya harus terus diasah. Dari panggung mode, Ajeng sempat menjadi presenter di sejumlah stasiun televisi.

Kini, di sela kesibukan mengajar dan merawat tiga anaknya, ia juga merintis bisnis pakaian dengan merek lokal. ”Pengin mencoba. Pengin menggali dan menggali lagi supaya enggak mati kreativitasnya,” kata Ajeng.

Oleh MAWAR KUSUMA

Sumber: Kompas, 3/11/2015

Interview with Global Business Guide Indonesia



Global Business Guide :
PT Martel is a reputable hotel developer in Indonesia with a portfolio of successful projects which includes five-star hotels such as the Bali Imperial Hotel and the Grand Preanger Hotel in Bandung. What more can you tell us about the history of your company?

DSP :
PT Martel was founded as part of a diversification strategy for our main venture in the oil and gas sector. We recognized the volatility of that particular sector which comes with the promise of high yields but also entails high risk; hence we looked into tourism where we especially considered the prospects in the long-term.

We initiated our first involvement in the industry with the Grand Preanger Hotel in Bandung, West Java, by acquiring the 100-year-old hotel on a 30-year lease. Subsequently, we developed the original building which was constructed in the Dutch colonial era by adding 150 more rooms to the initial 50 rooms. After the renovation was completed, we officially reopened the hotel in 1990.

Our following project was the Bali Imperial Hotel in Seminyak, Bali. The idea for this hotel itself was conceived after frequently having stayed at the legendary Imperial Hotel in Tokyo during our business trips to that city. Hence, we decided to build a hotel to be managed by the same company. However, we eventually sold the hotel more than ten years later due to a number of reasons. In 1995, PT Martel opened the Novotel Hotel in the city of Bukittinggi, West Sumatra. This four-star hotel already has the distinction of having attained an architectural award for its design which was the work of renowned Thai architect, Mr Lek Bunnag, and US landscape artist, Mr Bill Bensley. Additionally, we also have several smaller-scale projects, one of which is in the city of Berastagi, North Sumatra.

Read more on Gbgindonesia.com: Interview with Mr Dedi Sjahrir Panigoro (PT Martel)

With Wael and Lianna, The Director of Global Business Guide Indonesia