Temu kangen dengan Yessy di Helsinki & Tallinn

Dari St. Petersburg kami melanjutkan perjalanan ke Helsinki, ibukota Finlandia, dengan Rossiya Airlines. Helsinki merupakan tujuan pertama kami di Skandinavia karena jaraknya yang dekat dengan St. Petersburg dan juga adanya kesempatan untuk mengunjungi Yessy & keluarga yang sudah 7 tahun tinggal disana.
Setelah terbang selama 1 jam, akhirnya kami tiba di bandara Helsinki-Vantaa. Suasana terasa cukup haru ketika kami dijemput Yessy dan anak-anaknya, Rasya dan Nares, bahkan tak terasa saya menitikan air mata ketika menyadari bisa bertemu Yessy kembali.

Dari bandara kami diantar menuju hotel Scandic Simonkentta dengan menggunakan bis airport tujuan ke pusat kota nomor 615, dengan membayar tiket bis seharga 4.50e. Perjalanan dari bandara menuju hotel ditempuh selama 30 menit



Sore hari kami dijemput kembali oleh Yessy sekeluarga untuk makan malam di rumahnya. Yessy masak ikan salmon, tahu, lalapan dan sayur asam. Sambil makan malam kami bercerita banyak mengenai masa lalu sambil bernostalgia....

Keesokan pagi setelah breakfast di hotel, saya dan Somy mengambil paket city tour Helsinki dengan membeli tiket harian seharga 7 euro dan menggunakan tram sebelum kemudian dijemput Yessy dan anak-anaknya untuk berkeliling mengunjungi beberapa tempat lainnya.



Menelusuri sepanjang jalan Aleksanterikatu, kami  menemukan nuansa Eropa dengan  bangunan tua yang dipertahankan bentuk aslinya walaupun diperuntukan sebagai pertokoan. Kami singgah ke Helsinki Cathedral, atau biasa disebut sebagai gereja putih, yang merupakan salah satu landmark/icon terkenal kota Helsinki. Setelah itu kami menyempatkan diri mencicipi ikan muikku, jenis ikan kecil yang digoreng dengan tepung dan disajikan dengan kentang goreng dan saus mayonaise sebelum melanjutkan perjalanan ke Gereja Uspenski Orthodox Cathedral, gereja orthodox terbesar di Eropa Barat dan merupakan salah satu  simbol nyata kekuasaan Rusia dalam sejarah Filnlandia.







Rintik hujan mulai turun dan dingin semakin terasa, namun hal itu tidak menyurutkan semangat kami untuk melanjutkan  perjalanan menyusuri sudut kota terutama menuju market square yang terletak di depan istana presiden. Sekilas kami tidak menyadari, ketika duduk santai dan menikmati pemandangan laut, apabila bangunan tersebut adalah istana presiden karena selain terllihat sederhana dan hampir serupa dengan bentuk bangunan lain serta  tidak nampak penjagaan yang begitu ketat, struktur bangunan  luar juga terlihat jauh dari kesan mewah karena tidak ada ukiran/pahatan ataupun ornamen lain yang memberikan kesan berbeda dengan bangunan lain disekitarnya. 

Selama di market square, selain berkeliling melihat beberapa kios yang menjual suvenir atau pernak-pernik/perhiasan khas buatan Finlandia, kami juga mampir di salah satu kios untuk membeli buah ceri yang manis rasanya. Tidak jauh dari market square, kami menghampiri icon Helsinki lainnya berupa sebuah patung perempuan telanjang yang diberi  nama Havis Amanda. Setiap tahunnya pada hari buruh, patung yang letaknya berada ditengah kolam ini menjadi pusat perhatian publik ketika sejumlah mahasiswa, bersama masyarakat Finlandia lainnya, melakukan atraksi ritual dengan memandikan dan meletakkan topi di patung tersebut.

Selanjutnya kami menelusuri sisi jalan Esplanadi yang tidak hanya memiliki salah satu taman terindah di tengah kota namun juga  dipenuhi oleh berbagai toko desain terkemuka internasional. Salah satu toko yang kami kunjungi adalah Marimekko yang terkenal dengan desain Finlandia karena memiliki corak dan warna yang khas/unik sejak tahun 1951. Menjelang sore yang semakin gelap ditambah hujan yang semkin deras dan kelelahan yang terasa, kami akhirnya memutuskan untuk beristirahat dan kembali ke hotel.

Hari ketiga, kami mengunjungi Tallinn, ibukota Estonia. Estonia adalah negara kecil tetangga Finlandia seluas 45,227 km2 dan merupakan salah satu bagian negara Baltik bekas jajahan Uni Soviet.

Jam 6 pagi kami telah dijemput dari hotel oleh Yessy sekeluarga menuju pelabuhan dengan menggunakan mobil untuk selanjutnya, dengan tiket seharga 25 Euro/orang dan menggunakan kapal ferri Tallink, kami menuju Tallinn dengan waktu tempuh 2 jam. 

Setiba di Tallinn pada jam 9.30 pagi waktu setempat (atau sama dengan waktu Helsinki), kami langsung menuju salah satu obyek wisata utama kota, yaitu Old Town. Ketika mulai memasuki  wilayah kota tua yang cukup luas ini, kami "disambut" oleh 2 (dua) buah menara bundar  dengan atap kerucut berwarna oranye yang diberi nama Viru Gate. Dari strukturnya yang kokoh dan tinggi, terlihat menara tersebut merupakan salah satu bagian dari tembok benteng yang mengelilingi kota tua. Sepanjang jalan menyusuri wilayah itu, kami menemukan beragam bentuk bangunan tua menarik dan bersejarah peninggalan abad 13-16 seperti lapangan terbuka Town Hall Square, Gereja Orthodox Cathedral Rusia St. Alexander Nevsky, kastil Toompea Castle,  tembok kota Hellemann Tower and Town Wall dan bangunan unik lainnya antara lain salah satu apotik yang telah berdiri sejak tahun 1400.












Selain daya tarik wisata, hal lain yang membuat penduduk di negara tetangga sering mengunjungi Estonia adalah harga barang yang relatif murah dibandingkan sesama negara pengguna mata uang Euro, antara lain Finlandia. Salah satu contoh dari hal ini adalah banyak dimilikinya summer home oleh warga asing karena harga tanah yang relatif murah sekitar Rp. 30 ribu/m2m, atau rumah yang harganya Rp. 400 juta atau bahkan tanah seluas 5 hektar dengan rumah tua diatasnya senilai Rp. 750 juta. Melihat sejarah bahwa Estonia merupakan bekas jajahan Rusia dan 25% penduduk minoritasnya adalah etnis Rusia maka tidak heran apabila banyak ditemukan orang yang bisa berbahasa Rusia ataupun praktik money laundering yang sumbernya diduga kemungkinan besar berasal dari Rusia. 






Setelah berjalan melihat dan menyusuri kota tua selama kurang lebih 3-4 jam, kita memutuskan untuk makan siang di  Lido Restaurant yang berada didalam sebuah pertokoan baru bernama Solaris dan letaknya tidak jauh dari Old Town. Lido merupakan buffet-style restaurant yang mempunyai desain unik dan menawarkan beragam makanan dan minuman khas Estonia. Setelah makan siang dan menghabiskan sisa waktu sebelum menuju pelabuhan, kami menemani Yessy dan keluarga berbelanja ke Rimi Hyperrmarket yang lokasinya bersebelahan dengan pelabuhan untuk membeli sejumlah barang kebutuhan pokok mengingat harganya yang relatif lebih murah dibandingkan di Helsinki. Tak terasa sudah kita menghabiskan waktu lebih dari 6 jam di Tallinn sehingga kita kemudian menuju ke pelabuhan untuk menaiki kapal ferri yang akan membawa kita kembali ke Helsinki.

Keesokan hari, setelah sarapan pagi, Somy dan Yessy jalan jalan ke KBRI dan Kantor Pusat Nokia di Espoo.   Kemudian mereka kembali ke hotel untuk menjemput sayauntuk selanjutnya menuju Kaivopuisto, salah satu daerah di pinggir laut yang memiliki taman yang indah. Namun angin dingin disertai hujan rintik memaksa kami unuk segera kembali ke mobil dan mencari tempat untuk menghangatkan badan dan pilihan kami jatuh ke McD di daerah Kamppi yang tidak jauh dari Hotel.  Setelah itu kami kembali ke hotel untuk beristirahat dan mulai berkemas.


5 (lima) sudah hari kami berada di Helsinki dan pagi ini Yessy kembali menjemput kami di hotel untuk menuju ke bandara dengan menaiki bus yang ditempuh selama 20 menit. Proses check in berjalan lancar dan sambil menunggu boarding, kami masih sempat makan empek-empek buatan Yessy. Sebagai informasi, empek-empek ini biasanya dibikin Yessy berdasarkan pesanan yang dapat dikirim baik secara lokal ke seluruh wilayah Finlandia ataupun ke negara Eropa lainnya. Tetapi jenis pesanan seperti pisang molen, tape, dll hanya dapat dikirim secara lokal atau hanya di Finlandia saja.


A New French (Tech) Revolution?


Telecom enterpreneur XAVIER NIEL wants to shake up his home country’s education system.
By: Vivienne Walt 

            A tall, middle aged man is propped against a wall inside a building on the gritty nothern edge of Paris. He’s deep in discussion with a young woman sporting bright-green hair tied in pigtails; she’s sucking on a neon-blue lollipop and driving home a point to him with her hands.
            The man listening intently to the artsy-looking twentysomething isn’t a talent agent or even a college professor—though he’s keenly interested in education. He is Xavier Niel, one of the richest people in France (estimated net worth: $7.8 billion), who achieved his wealth by disrupting his country’s tellecommunication industry. Now Niel, 46, wants to upend another French institution: its notoriously rigid education system.
            In September he opened a programming school called 42, a name derived from the 1970s classic The Hitchhiker’s Guide to the Galaxy, in which the answer to life’s mysteries is always 42. The school, in Nothern Paris (where Fortune found Niel chatting with students), breaks almost every rule of French matriculation: Tuition is zero. So too, are prerequisites. Of the 70,000 young French who took 42’s application test, about 40% were high school dropouts. To underscore the school’s edgy feel, Niel (pronounced “nee-el”) had a pirate flag hoisted outside the building.
Niel says he was inspired to start his school not only because French companies report a chronic shortage of high-tech talent to hire, but also because some 200,000 youths drop out of school each year. Many, including Niel, believe that is because french education focuses on formalized, nationaly controled testing that favors workhorses over creative geeks and maverick innovators. The country that once churned out geniuses such as painter Pierre-Auguste Renoir and composer Claude Debussy has struggled to create a Mark Zuckenberg or Steve Jobs.
Niel sees technology skills as a way to even the playing field in France, not just for diadvantage kids but also for middle-class and elite students who want to explore different career paths. “There’s a lack of social mobility,” he says. “If you are the son of a doctor.” By contrast, his new school is “a little subversive,” he says with a delighted grin.
Niel knows all about being subversive. He was raised in the modest suburb of Creteil, a far cry from Paris’s majestic avenues. And while the great majority of French CEOs come out of the grandes ecoles, the equivalent of the Ivy League, Niel skipped college altogether and holed up at home with his computer, coding. “I started literally in a garage alone,” he explains. “I had some luck.”
Niel developed sex-chat software (he was 18, after all) and other communication tools, which he sold to tech companies that provided content for France Telecom’s groundbreaking Minitel online service. At 26, he created France’s first ISP, WorldNet, and sold it for about $55 million in 2000. In 1991 he launched Iliad, the first French company to offer a “tripple play” TV-phone-Internet service, naming it (in English, no less) Free. Last year Niel won the bid for France’s fourth mobile service and launched Free Mobile, offering a floor-smashing 20 Euro (about $28) monthly plan for unlimited calls, far cheaper than other French services.
His competitors cried foul, but Niel couldn’t have cared less. Iliad’s market cap has ballooned 11-fold over the decade, to 9.8 billion Euro ($13.5 billion), making Niel, who owns 55.3% of Iliad, immenslyy rich. Yet despite that (and even though the now owns a sizable chunk of France’s ultimate establishment newspaper, Le Monde), Niel retains his outsider image among French execs, having smashed his way into the elite. Niel is smart enough to know that image works to his advantage, as he throws his energies into new projects; his other company, Kima Ventures, invest in 100 startups a year.
“He is very un-French, but maybe that is why he has succeeded,” says Christophe Roquilly, a professor at EDHEC Business School in Lille. “He doesn’t accept the establishment’s state of mind.”
An antiestablishment culture pervades Niel’s school. During a recent boot camp for about 3,000 programers, the floor was littered with inflatable mattresses and soda cans from students who’d hopped trains to Paris from the hiterlands and bunked there for weeks. About 1,000 will make the cut for a three-year programming course that begins in mid-November. Even then there will be few teachers of classes. Students sit in warehouse-size rooms at aApple computers, creating whatever program they dream up, in a kind of giant hackathon.
Not everyone is sold on the idea Government rules dictate that since 42’s students need no high school diploma, the three-year courses will not have degree status. Wannabe students seem unconcerened. “ I’ve been earning the SMIC [minimum wage] in different jobs for years,” says Clement Aupetit, 26, who did not finish high school. “This might open doors.” Conservative French corporations could be wary of recruiting Niel’s new army of coders. “Opening themselves to different profiles will be a big leap for them,” wrote one blogger on the French site rude Baguette. Niel has not exactly ingratiated himself with France’s elits. He was once an investor in a chain of sex-toy shops; he spent a month in jail in 2004 on charges that he brokered prostitutes from his stores. The charges were later dropped.
But Niel is optimistic. If just a few students make it, he says, his investment – about 70 million Euro ($96 million) so far – will be worth it.
And besides, Niel is already at work creating his next project, 1000 Startups, which he claims will be the world’s biggest incubator and will open in 2016. “We don’t think we can change everything in France,” he says. “But we’ll have some impact.” There seems no better person to make that happen.[]

 Taken from FORTUNE Magz.