Selamat Jalan Sang Guru


Sang Guru: Iskandar Alisjahbana

Sekitar tahun 1963, Pemda Prov. Jabar dan beberapa perusahaan swasta bekerjasama dengan Lab. Radar Elektro Teknik ITB di bawah pimpinan Prof. Dr. Ing. Iskandar Alisjahbana membangun stasiun percobaan relai televisi di Tangkuban Perahu untuk memancarkan siaran dari TVRI.

Setelah beberapa tahun melakukan usaha swadana, akhirnya pada awal tahun 1965 masyarakat Bandung dapat menikmati siaran TVRI Jakarta yang masih hitam putih.

Di situlah awal perkenalan keluarga Panigoro dengan sosok Iskandar Alisjahbana. Ketertarikan dengan kegiatan beliau pun mengilhami kami memilih jurusan di Universitas. Kakak Arifin, memilih Teknik Tenaga Listrik, adik Yani mengambil Teknik Komputer, dan saya sendiri memilih Teknik Telekomunikasi.

Kami bertiga beruntung mendapat pelajaran dari beliau, tak hanya secara formal di kampus ITB, tapi juga secara informal di kehidupan sehari-hari dan yang penting beliau selalu menekankan pentingnya kewirausahaan atau biasa disebut entrepreneurship.


Taburan bunga dari murid Arifin

Arifin, dalam mengenang jasa-jasa beliau pun merasa amat kehilangan. Saat pembangunan stasiun relai televisi, Arifinlah yang mengemudi mengantarkan Pak Iskandar Alisjahbana ke lokasi pembangunan.

Kejadian-kejadian itu masih terlintas dalam bayangan kami sampai secara mengejutkan beliau meninggalkan kita untuk selamanya pada hari Selasa, 16 Desember 2008.


Peang, Pia dan Ibu Anna

Beliau menghembuskan nafas terakhirnya di RS Santo Borromeus Bandung pada usia 77 tahun. Suami dari Prof. Anna Alisjahbana itu dimakamkan keesokan harinya di samping makam ayahnya, Sutan Takdir Alisjahbana di desa Tugu, Bogor. Selain seorang istri, Iskandar meninggalkan tiga orang anak dan 6 cucu.


Ketiga putra almarhum



Dengan Marga dan Talita

Selama di ITB, Profesor kelahiran Jakarta, 20 Oktober 1931 ini memegang sejumlah jabatan. Pada 1964-1966, dia menjadi Ketua Laboratorium Komunikasi Radio Departemen Teknik Elektro ITB. Pada 1965-1967, menjadi Ketua Badan Riset Telekomunikasi Indonesia.

Ia menyandang Ketua Jurusan Eletronik ITB sepanjang 1966-1968. Pada 1966, dia menjadi Guru Besar Teknik Elektro ITB untuk bidang telekomunikasi.

Jabatan Rektor ITB diemban beliau pada 1976-1978. Mulai 1992 hingga akhir hayatnya, dia tercatat sebagai pendiri dan Komisaris PT Pasifik Satelit Nusantara. Jabatan terakhirnya adalah Ketua Majelis Wali Amanat ITB 2001-2004.

Yang paling mengesankan dari beliau adalah bahwa tidak ada jarak dengan siswa-siswanya. Bahkan beliau terbilang amat perhatian terhadap anak didiknya.

Pada saat menjabat sebagai Rektor, beliau sering meminjamkan mobilnya kepada saya dan Adi Dharma Soelaiman, adik tingkat saya di ITB, untuk keperluan kegiatan non akademik.

Adi Dharma sendiri, yang kini menjabat Komisaris PT. Techno Multi Utama, menyebut Prof. Iskandar Alisyahbana sebagai guru sejati kehidupannya. Interaksi dengan Sang Guru berlangsung sejak tahun 1973, melalui pertemuan-pertemuan dan diskusi-diskusi informal di luar labolatorium, di ruang kerjanya di lab Radar ITB dan di PT. RFC (perusahaan swasta nasional telekomunikasi yang dibangun bersama-sama dengan lima orang teman-temannya), maupun di gerbong kereta api atau di mobil dalam perjalanan Bandung-Jakarta.


Insinyur muda

Bagi Adi Dharma, Prof. Iskandar Alisjahbana adalah seorang visioner ulung, nyaris futurolog, dan seorang nasionalis tulen. Dia tidak mau bangsa ini terus menerus menghambur-hamburkan uangnya untuk membeli teknologi dari bangsa asing.

Dalam catatannya mengenai Guru kami ini, Adi Dharma menulis, “Kepada saya dan Dedi Panigoro sohib saya, beliau pernah berkata, ‘Lihat saja Adi, suatu hari bangsa ini akan berhadapan dengan krisis yang luar biasa, karena bangsa ini enggan belajar dari bangsa-bangsa lain seperti bangsa Jepang untuk menjadikan teknologi sebagai bagian dari karya-karya dan jati dirinya.’ Ketika itu di suatu sore di tahun 1976 di teras rumahnya di jalan Sulanjana, Bandung.”

Dan rupanya terbuktilah kata-kata beliau ini ketika pada dasawarsa lalu bangsa ini mengalami krisis seiring dengan lemahnya penguasaan teknologi yang berpengaruh pada struktur finansial.


Menyampaikan rasa duka

Sepanjang hidupnya sebagai pengajar beliau tak henti-hentinya menekankan pentingnya kewirausahaan dalam pembangunan bangsa ini. Beliau menyebarluaskan teori Prof. McClelland yang menekankan pentingnya “need for achievement” atau yang biasa disebut “vitamin N-Ach”.

Beberapa orang yang berseberangan dengan dia di kampus ITB menyebutnya kebarat-baratan, oportunis, kapitalis liberal, dan bahkan ada yang mengatakan dia Machiavelist. Namun menurut Adi Dharma, selain nasionalis tulen, ia adalah juga seorang humanis. Bagaimana dia sering mendengung-dengungkan agar setelah lulus dari ITB kami tetap teguh dan konsisten di bidang teknologi, sebagai enterpreneur, sambil menciptakan lapangan kerja bagi saudara-saudara kita yang nganggur dan perlu pertolongan.

Palgunadi Setiawan, mantan direktur PT Astra Internasional Indonesia, mengenang beliau dalam dua kata: orisinil dan anggun. Saat Iskandar Alisjahbana menjabat sebagai Ketua Majelis Wali Amanat ITB, pengusaha yang kini terjun membantu pengusaha mikro ini menjadi wakilnya.


Selamat jalan...

Salah satu bukti orisinilitas serta keanggunan putra dari sastrawan Sutan Takdir Alisjahbana ini ialah ketika ia berhasil membawa Indonesia sebagai negara ketiga di dunia setelah Kanada dan AS yang memanfaatkan satelit untuk sistem komunikasi domestik. Beliau orang yang pertama kali mencetuskan penggunaan satelit sebagai alat telekomunikasi di Nusantara yang disebut sistem komunikasi satelit domestik Palapa (SKSD Palapa). Bak seorang Gajah Mada, Prof. Iskandar Alisjahbana pun telah menyatukan NKRI di dunia modern ini.

Pemuda Iskandar menatap masa depan

Kiprah beliau dalam bidang telekomunikasi negeri ini dimulai setelah lulus sebagai Sarjana Muda pada 1951 dari Fakultas Teknik Universitas Indonesia yang kemudian menjadi ITB Departemen Elektronik. Studinya berlanjut ke Electrical Engineering Department, TH Muenchen, Jerman dan jurusan yang sama di TH Damstadt, Jerman hingga meraih gelar Diploma Engineering dan Doktor Engineering. Semua itu ditempuhnya selama kurun 1954-1960. Kemudian ia menjadi dosen elektronik ITB hingga pensiun di tahun 1996.


Rumah tua tempat keluarga besar Alisjahbana berkumpul

Selain mencetuskan satelit, Iskandar juga berjasa menggagas tele blackboard, yaitu sebuah teknologi yang bisa merekam tulisan tangan di atas papan elektronik. Surat itu bisa dikirim ke lokasi yang jauh melalui gelombang radio atau televisi.

Pada saat Bandung menjadi lautan sampah, beliau juga yang gigih memperjuangkan gagasan mengkonversi sampah menjadi tenaga listrik. Dan sangat disayangkan gagasan tersebut kandas di tengah jalan.

Secara umum, saya sendiri menggambarkan beliau sebagai seorang cendekiawan, demokrat, guru sejati, kawan, kritikus, dan juga seniman.

Selamat jalan Sang Guru...!!


Di peristirahatan yang terakhir

Tan Joe Hok

Selalu punya cita-cita, punya tujuan. Sikap hidup inilah yang membuat Tan Joe Hok—satu-satunya pebulu tangkis anggota tim Piala Thomas 1958 yang masih tersisa—meraih sukses demi sukses dalam hidupnya. Bahkan, dalam usia senja sekalipun, ia masih punya cita-cita.

Kita hidup, menurut Tan Joe Hok (71), memang selalu harus punya attainable goal, tujuan yang bisa kita capai. Kalau tidak punya cita-cita, itu sama halnya dengan kapal yang tanpa tujuan di tengah lautan, lalu limbung diombang-ambingkan ombak.

Tan Joe Hok

Ketika ia masih kecil, misalnya. Mungkin sekitar umur 12 tahun. Si kecil Tan Joe Hok di Kampung Pasir Kaliki, Bandung, juga punya cita-cita sederhana, ”ingin hidup berkecukupan, bisa makan”. Si kecil Tan lalu merintis tujuannya itu melalui bulu tangkis. Berlatih di lapangan yang dibangun ayahnya, di depan rumah mereka. Dan, ikut bergabung di klub Blue White, Bandung, ketika ia ditawari Lie Tjuk Kong. Siapa tahu bisa berkecukupan dari bulu tangkis....

Tentu bukan tanpa upaya untuk meraih cita-citanya. Ia biasa berlatih keras dari pagi-pagi buta (sampai sekarang pun Tan Joe Hok terbiasa bangun pukul 04.15 dan senam di gym pribadinya untuk tetap menjaga kebugarannya di usia senja, di rumahnya di kawasan Jalan Mandala, Pancoran, Tebet, Jakarta).

Pintu menuju tujuan sederhananya mulai terkuak lima tahun kemudian di Surabaya tahun 1954.

”Saya mengalahkan Njoo Kiem Bie dan tampil sebagai juara nasional pada usia 17 tahun,” katanya. Setelah sukses pertamanya itu, pintu-pintu cita-cita seperti mulai terbuka.

”Saya mulai diundang ke kanan, ke kiri, dan saya pun diundang ke India bersama (pasangan juara All England) Ismail bin Mardjan dan Ong Poh Lin,” tutur Tan.

Mulailah Tan pergi keliling India—ke Bombay, New Delhi, Calcutta, Ghorapur, Jabalpur, dan kota lainnya di India. Keliling lebih dari setengah bulan, pulangnya mampir di Bangkok dan Singapura (Malaya, waktu itu).

”Ismail bin Mardjan bilang kepada saya, ini saya tak akan lupakan, ’Eh, Joe Hok, kamu akan menjadi yang terbaik di dunia. Asalkan kamu latihan keras seperti sekarang. Tetapi jangan hidupnya kayak saya ini...’,” tutur Ismail bin Mardjan.

Ketika mampir di rumah Ismail di Malaya, barulah mengerti apa arti kata Ismail ”jangan hidupnya kayak saya”.

”Jangan bayangkan Singapura seperti sekarang ini. Rumah Ismail ada di kampung, kotor, dan sungainya hitam, berbau,” tutur Tan. Sore hari, pukul 18.00, Ismail selalu pamit kepada Tan Joe Hok. Ternyata, guna menyambung hidupnya, sang juara All England itu harus bekerja jadi petugas satpam, dari pukul 6 petang sampai pukul 6 pagi.

”Doa” Ismail kepada Tan Joe Hok itu rupanya terwujud.

Tak hanya berhasil tampil sebagai atlet bulu tangkis pertama yang meraih medali emas di arena Asian Games dan orang Indonesia pertama yang mampu juara All England, pada tahun 1959, Tan Joe Hok rupanya juga memikat publik di Amerika Serikat.

”Saya dimasukkan di majalah Sports Illustrated,” tutur Tan Joe Hok. Majalah itu masih rapi disimpannya dan, memang, profil Tan Joe Hok menghiasi dua halaman majalah tersebut, terbitan 13 April 1959.

Wonderful World of Sports. Tan Joe Hok Takes Detroit...”, tulis majalah tersebut.

Sejak tahun 1959 itu, Tan Joe Hok studi di Texas, memenuhi beasiswa dari Baylor University Jurusan Premedical Major in Chemistry and Biology.


Mengganti Nama

Situasi konfrontasi, Bung Karno mencanangkan ”Ganyang Malaysia” dan ”Ganyang Antek Imperialis”, membuat Tan Joe Hok mengurungkan niatnya untuk kembali ke AS meneruskan studi S-2. Ia lalu tinggal di Tanah Air.

”Apa kata Bung Karno, saya nurut saja. Saya malah sempat main di perbatasan Kalimantan sampai ke Mempawah, menghibur sukarelawan kita di medan perang,” ungkap Tan Joe Hok.

”Dulu Ganyang Amerika, eh, tahun 1965 giliran Ganyang China. Dampaknya, kita yang nggak ngerti apa-apa jadi kena,” tutur Tan Joe Hok.

Di pelatnas Senayan pun terjadi perubahan drastis. Suatu siang, di flat atlet—kini Plaza Senayan—Kolonel Mulyono dari CPM Guntur, Jakarta Pusat, mengumpulkan para atlet.

”Kami semua disuruh ganti nama begitu saja. Pak Mulyono yang tentukan,” tutur Tan.

Maka, anggota-anggota Piala Thomas pun ”diberi nama” Indonesia, Ang Tjing Siang menjadi Mulyadi, Wong Pek Sen menjadi Darmadi, Tan King Gwan menjadi Dharmawan Saputra, Lie Tjuan Sien menjadi Indra Gunawan, Tjiong Kie Nyan menjadi Mintarya, Lie Poo Djian menjadi Pujianto, dan Tjia Kian Sien menjadi Indratno.

Tim Thomas Cup Indonesia (1984), Tan Joe Hok sebagai pelatih

”Saya diberi nama Hendra oleh (Panglima Kodam Siliwangi) HR Dharsono. Kartanegara saya karang sendiri, pokoknya ada ’tan’- nya,” papar Tan Joe Hok.

Ternyata tak sesederhana pergantian nama. Perlakuan terhadap Tan Joe Hok dan kawan- kawannya itu ternyata ”dibedakan”.

Mengurus KTP dan paspor, mereka harus menunjukkan bukti Surat Bukti Kewarganegaraan RI (SBKRI) meski nyata-nyata bertahun-tahun mereka sebenarnya telah berjuang untuk negeri ini. Itulah namanya dinamika hidup, terkadang manis, ada waktunya pula pahit-getir.

(Jimmy S Harianto)

Sumber: Kompas, 7 Desember 2008

Sokola Rimba

Depdiknas Harus "Belajar"dari Butet

Saur Marlina Manurung (36) atau dikenal dengan Butet Manurung celingukan ke arah teman-temannya ketika ditanya berminat menjadi pegawai negeri sipil atau PNS atau tidak. Pendiri perkumpulan Sokola ini celingukan, terutama karena dirinya tidak tahu apa itu kepanjangan PNS.

Setelah mendapat penjelasan bahwa PNS adalah singkatan dari pegawai negeri sipil, Butet yang membiarkan rambut ikalnya tergerai tersenyum.

”Saya sih enggak suka. Lagi pula, enggak cocok kali ya? Bagaimana kami bisa upacara setiap Senin pagi, sementara kami ada di ujung gunung,” ujar Butet yang semasa mahasiswi juga aktif sebagai pencinta alam Palawa Universitas Padjadjaran, Bandung, itu sambil senyum.


Jawaban Butet disampaikan saat jumpa pers setelah diterima Presiden dan Ny Ani Yudhoyono di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis (4/12). Presiden mengundang Butet untuk memberikan apresiasi dan dukungan atas upaya perkumpulan Sokola menjangkau dan mendidik anak-anak usia sekolah yang tidak terjangkau sama sekali oleh pendidikan formal.

Sokola mengembangkan metode dan kurikulum belajar yang disesuaikan dengan karakter dan kebutuhan komunitas agar terintegrasi dengan kehidupan nyata sehari-harinya. Sokola dengan 16 relawannya melayani anak-anak di daerah terpencil dan daerah pascabencana. Butet dikenal pertama karena perjuangannya melayani anak-anak komunitas Orang Rimba, Jambi.

Butet dan empat temannya (Indit, Hari, Dodi, dan Deddy) datang di Kantor Presiden karena undangan Presiden dan Ny Ani Yudhoyono setelah mendengar Sokola akan menutup sementara dua sekolahnya. Presiden mengajak Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo saat menerima Butet.

Bambang mengakui, Depdiknas harus belajar dari Butet untuk memberi layanan warga negara sesuai prinsip education for all. ”Tidak selalu model terbaik dari pemerintah. Kami tak akan segan memakai model Sokola untuk menjangkau mereka yang terpencil,” ujarnya.

Kepada perkumpulan Sokola, Presiden memberi dana Rp 200 juta dan paket makanan standar militer jenis T2 untuk keluarga di daerah terpencil. Butet berterima kasih dan sama sekali tidak menduga, apalagi mengharapkannya.

Dalam artikel yang dimuat di majalah Time, Presiden menyebut Butet dan sukarelawan lainnya sebagai pahlawan senyap (silent heroes).

Dalam pertemuan itu, sebutan itu kembali disebut. ”Pahlawan ada di mana-mana, tidak hanya mereka yang direkam oleh media,” ujar Presiden.

Butet juga diperkenalkan program ”Indonesia Pintar” yang dirintis Ny Ani bersama istri para menteri.

(Wisnu Nugroho)

Sumber: Kompas, 5 Desember 2008