Siapakah Sosok Terpenting dalam Hidupku?

Hendra Laksmi Somya Dewi

Tanggal 29 Agustus 2008, itulah ulang tahunnya yang ke-54. Dia tidak ingin dirayakan, lalu saya bujuk untuk mengunjungi anak-anak yatim di Bukittinggi.

Happy birthday!

Maka pada pada hari ulang tahunnya, di pagi hari, kami terbang dengan Garuda ke Padang. Di sana telah menunggu sahabat Atitje, alumni Seni Rupa Jurusan Tekstil ITB, yang sedang menggeluti pengembangan Sentra Tenun di Sumatera Barat. Kita sudah lama mendengar Sentra Tenun Silungkang, tapi ternyata Sumatera Barat memiliki sepuluh Sentra Tenun yang jarang kita dengar namanya.

Tim softball ITB, 1975

Aku mengenal Sommy sudah sekian lama karena dia adalah teman sekelas adikku, Hilmi, sedang kakaknya, Rani, juga teman sekelas adikku, Yani.

Sommy, masuk ITB pada th 1974, jurusan Teknik Lingkungan, dan saya sendiri masuk ITB jurusan Elektro th 1965. Kemudian sempat cuti kuliah pada th 1970, dan atas dorongan dua orang mentor yang sangat banyak membina saya, yaitu Alm. Kuntoaji dan Alm. Dodi Tisna Amijaya, saya pun kembali kuliah pada th 1975 hingga berhasil lolos dari lubang jarum dan diwisuda pada th 1978.

Bintang di kampus Ganesha

Pada saat kembali ke kampus th 1975, umurku 28 dan mulai resah atas kesendirianku. Sommy seorang bintang di kampus, dan banyak bintang lain yang melakukan pendekatan padanya. Aku beruntung dapat menjadi salah seorang finalis. Sempat hampir putus asa, tapi untung ada teman sekelasnya, Ira, yang dari waktu ke waktu membocorkan pasang surut hatinya.

Namun dengan ketekunan dan kesabaran, akhirnya pada tanggal 12 Desember 1975 di Restoran Tizi Bandung, aku melakukan serangan akhir dengan hasil yang menggembirakan. Maka melalui suatu proses panjang kami pun menikah pada 9 September 1979.


"My funny valentine
Sweet comic valentine
You make me smile with my heart
Your looks are lovable... Unfotographable..."

Setelah menikah, kami tinggal di rumah mertua di Jl. Setiabudi No. 279 Bandung. Memang mertua kami sangat ramah dan terbuka. Rumah tersebut sangat besar serta nyaman, dan tanpa terasa kami tinggal di sana selama lima tahun.

Di acara pernikahan Mea & Aad

Ayah mertua kami, Almarhum Letjen. H.R. Dharsono, merupakan salah seorang penegak Orde Baru bersama-sama Jenderal Sarwo Edhie Wibowo dan Jenderal Kemal Idris.

Bersama Ayah Ton dan kakak Rani

Kami berbahagia dan bersyukur dikaruniai Gita Kemala (Mala) pada tanggal 8 Juni 1980 yang kini sedang meniti kehidupan, bekerja di perusahaan minyak Prancis, Total, di kota kecil Pau, Prancis Selatan. Kemudian pada tanggal 2 Oktober 1982, lahirlah Yusadha Adhimukti (Ucha) yang sekarang sedang meniti karir di Bank Niaga Jakarta. Sekarang ia tinggal bersama kami di Jakarta.

Selamat datang Yusadha, 2 Oktober 1982

Di Jl. Setiabudi 279 Bandung

Tahun 1984 akhir, kami pindah ke Jakarta dan tinggal di apartemen di Jl. Probolinggo, Menteng. Setahun kemudian kami mengangsur sebuah rumah tua di kawasan Jeruk Purut. Hingga akhirnya alhamdulillah pada bulan Agustus 1990 kami menempati rumah baru dan asri di kawasan Jakarta Selatan.

Kami berempat sungguh bahagia di rumah ini dan telah melakukan beberapa kali renovasi. Mungkin istilahnya ini rumah tumbuh.

* * *
Lulus dari Jurusan Teknik Lingkungan ITB, Sommy pun mulai bekerja di perusahaan daerah air minum Bandung. Namun pada saat kami pindah ke Jakarta pada tahun 1984, ia berhenti bekerja.

Saat ini ia aktif di kegiatan sosial, antara lain di Persatuan Istri Insinyur Indonesia, Majelis Ta'lim AsSakinah, Pengajian Jenggala, dan lain-lain. Setelah Mala dan Ucha bekerja, dia pun berpikir untuk usaha kecil-kecilan.

Ulang tahun pernikahan ke-29, 9 September 2008

(Melantunkan Misty, The Hills Hotel, 2008)

Bersantai di rumah Jeruk Purut, 1988

San Fransisco, 1990

"Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh"


Mengenang Ayah Ton



Demikian bunyi ucapan pada secarik kertas berlampir sejuta kenangan dan rasa bangga, memadati rumah Jalan Setiabudi 281 Bandung yang sedang dirundung duka. Sang Maung telah mangkat dengan meninggalkan teladan dan kesederhanaan yang penuh hormat. Almarhum Ayah Ton telah tiada.

Biasanya pagi-pagi Ayah Ton (begitu para cucu HR Dharsono menyebutnya) sudah duduk membaca koran sambil sesekali bercakap-cakap atau menghabiskan waktu membaca buku, mengikuti berita dan mendengarkan musik. Itulah aktivitas-aktivitas menjelang kepergian beliau, yang di bulan-bulan terakhirnya memang lebih banyak diam sejak penyakit saluran pernafasan yang dibawanya dari LP Cipinang semakin akut.

Almarhum Let. Jen (Purn) Hartono Rekso Dharsono lahir di Pekalongan, Jawa Tengah, tanggal 10 Juni 1925. Beliau adalah anak kesembilan dari 12 bersaudara, putra R. Prajitno Rekso, mantan Wedana Paninggaran pekalongan. Sang Maung memulai karir militernya dari Divisi Siliwangi.

Di saat genting tumbangnya Orde Lama dan lahirnya Orde Baru, Pak Ton yang waktu itu berpangkat Mayor Jenderal dipercaya menjadi Pangdam VI Siliwangi (1966-1969). Sosok Pak Ton yang kerap tampil dengan baret hijau kebanggaannya mulai melontarkan gagasan-gagasan baru di tingkat nasional yang sasarannya adalah perombakan system politik Orde Lama.

Bandung yang masa itu tampil sebagai kiblat Orde Baru dengan mahasiswa ITBnya yang militan telah turut mempercepat laju perubahan tersebut. Namun langkah pembaruan yang sering diusulkan Pak Ton rupanya terlampau cepat. Keteguhannya dalam mempertahankan pendapat telah menempatkan dirinya seolah berseberangan dengan arus besar pimpinan Orde Baru. Hal ini akhirnya berpengaruh pada karir militernya.
Tahun 1969 sang Maung dialihkan ke dunia diplomatik menjabat Duta Besar RI untuk Muangthai. Bahkan di tahun 1972-1975 Pak Ton memegang dua jabatan penting sekaligus selaku Duta Besar RI untuk Republik Rakyat Khmer dan Ketua Delegasi RI pada International Commission for Control and Supervision (ICCS) yang berperan aktif dalam upaya mengakhiri perang Vietnam.


Ketika Sekretariat ASEAN dibentuk, Pak Ton menjadi Sekretaris Jenderal ASEAN yang pertama (1976-1978). Namun lima bulan sebelum jabatannya berakhir, pemerintah RI menarik dukungannya. Ada yang menganggap Pak Ton menyimpang dari tugasnya. Sebab selaku SekJen ASEAN Pak Ton dianggap telah mencampuri urusan dalam negeri Indonesia, setelah ia mengkritik kebijakan pemerintah dalam pidatonya di upacara peringatan ke-10 Tritura, Februari 1978 di Bandung.
Setelah itu banyak pintu lembaga pemerintahan yang tertutup baginya. Apalagi setelah Pangkopkamtib yang kala itu dijabat Laksamana (Purn) Sudomo mencapnya desiden.

Posisi berseberangan (dengan penguasa) tersebut kian melebar yang pada akhirnya memicu timbulnya pemikiran-pemikiran kritis menyoroti persoalan politik melalui diskusi-diskusi. Salah satunya adalah catatan keprihatinan atas tragedy berdarah di Tanjung Priok pada 12 September 1984 yang dikenal sebagai “Lembaran Putih Tanjung Priok.”
8 November 1984 Mantan Sekjen ASEAN ini memasuki babak baru sebagai tahanan politik, setelah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam sidangnya menjatuhkan vonis 10 tahun penjara, yang kemudian oleh Pengadilan Tinggi dikurangi menjadi 7 tahun setelah mantan Pangdam Siliwangi ini menyatakan banding. Hukuman 7 tahun itu lalu dikuatkan oleh Mahkamah Agung.
Pak Ton dinyatakan bersalah karena melakukan delik politik dan tindak pidana subversi ketika ia menghadiri rapat-rapat setelah “Peristiwa Tanjung Priok” 1984. Rapat-rapat itu dianggap berkaitan dengan peledakan bom di pusat perdagangan Glodok dan BCA tahun 1984. Sampai akhir sidang, Pak Ton tetap menolak dakwaan karena merasa tidak bersalah. Pak Ton menjalani hukuman di LP Cipinang hanya 5 tahun 10 bulan setelah akhirnya dinyatakan bebas pada hari Minggu 16 September 1990.

PERJALANAN SANG MAUNG

1945 - 1949 Menjadi komandan regu, komandan peleton, kemudian Komandan batalyon 322/Siluman merah yang ditugaskan menumpas pemberontakan PKI di Madiun.
1950 - 1953 Menjadi Kepala Staf Brigade 23/Siliwangi yang ikut serta merencanakan operasi penumpasan RMS. Kemudian diperbantukan pada Staf Umum Angkatan Darat (SUAD) dan menjadi Asisten II Staf persiapan Akademi Militer Nasional (AMN).
1952 Mendapat tugas belajar di Hogere Krijge School, Denhaag, Belanda.
1954 - 1956 Menjadi Kepala Staf AMN.
1957 Wakil Gubernur AMN.
1958 Gubernur AMN.
1960 Menjadi kepala Staf Kodam III Siliwangi.
1962 - 1964 Menjadi Atase Militer RI di London.
1965 - 1966 Menjadi Asisten III Panglima Angkatan Darat.
1966 - 1969 Dengan pangkat Mayor Jenderal menjadi Pangdam VI Siliwangi.
1969 -1971 Mengakhiri karir di militer dan menjadi Duta Besar RI untuk Muangthai.
1972 - 1975 Menjadi Duta Besar RI untuk Rakyat Khmer dan juga menjabat Ketua Delegasi RI pada International Commission for Control and Supervision (ICCS) dalam upaya untuk mengakhiri perang Vietnam.
1976 - 1978 Menjadi Sekjen ASEAN yang pertama.
1978 - 1980 Beralih ke swasta menjadi direktur utama Propelat, lalu mengundurkan diri dan aktif pada Forum Studi & Komunikasi (FOSKO) TNI-AD.


Links:

Arsitek di Kampus Ganesha Bandung

(Kampus Ganesha ITB)

Pada era tahun 1970-an nama almarhum Robi Sularto menjadi ikon arsitek Indonesia. Gedung Sapta Pesona yang berdiri megah di jalan Medan Merdeka Jakarta merupakan salah satu rancangannya yang dinilai amat imajinatif.

Ia bersama lima orang sahabatnya, para arsitek jebolan ITB, Yuswadi Salya, Adhi Moersid, Darmawan Prawirohardjo, Nurrochman Siddharta, dan Iman Sunaryo, membentuk wadah biro arsitek Atelier 6.

(Grand Hotel Preanger)

Kami beruntung dapat bekerjasama dalam merencanakan Grand Hotel Preanger Bandung yang dibuka tahun 1990 dan kemudian Bali Imperial Hotel pada tahun 1993.

Robi, di samping arsitek juga menggeluti sejarah, antropologi, dan bidang metafisika. Kiprahnya di dunia arsitektur membuat ia dinobatkan sebagai salah satu dari maestro arsitek oleh Ikatan Arsitektur Indonesia.

Dia meninggalkan kita semua di suatu Minggu pagi yang tenang tanggal 30 Juli 2000. Namun, kenangannya senantiasa bersama kita.

Dan kini kita mempunyai sosok arsitek muda yang patut kita banggakan dan telah pula berkiprah ke mancanegara.


Ialah Ridwan Kamil, seorang Master Desain Urban lulusan University of California-Berkeley AS, dan sebelumnya lulus sarjana Arsitektur dari ITB. Selain sebagai dosen dan pendiri biro arsitek Urbane, ia kini juga menjabat Ketua Bandung Creative City Forum (BCCF).

Ketika pemerintah baru mulai merumuskan konsep dan memetakan industri kreatif Indonesia, BCCF telah lama dibentuk, yaitu sejak Januari 2008. Sepanjang Juli hingga akhir Agustus ini, forum BCCF tersebut menggelar kegiatan ekonomi kreatif anggota komunitas dalam Helar Festival.

Meskipun baru berdiri delapan bulan, Ridwan merasa BCCF berhasil membangun solidaritas di antara anggota komunitas antara lain dengan diterimanya ikon .bdg (dot bdg) sebagai merek ekonomi kreatif Bandung.


Ridwan meyakini kota berperan penting dalam membangkitkan kreativitas warga. Ekonomi kreatif di sejumlah negara dengan Inggris sebagai pelopor, terbukti mampu membangkitkan pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja lebih cepat daripada ekonomi berbasis industri gelombang kedua.

”Dalam BCCF, strategi ruang publik sebagai ruang inspiratif orang-orang kreatif sangat penting. Generasi muda, generasi X dan Y, mobilitasnya sangat tinggi. Mereka butuh ruang baru yang tidak formal untuk membangkitkan ide kreatif.

”Mereka kan tidak selalu terinspirasi melalui ngobrol di kafe yang mahal. Sesekali boleh dong nongkrong di Taman Menteng (Jakarta) yang terdesain baik."

”Menjadikan Yogya kota hotspot (di mana orang dapat mengakses internet secara mobil) adalah ide brilian. Artinya, di mana pun orang bisa merasa nyaman dan produktif,” kata Ridwan.

Dalam merancang kota, menurut pemenang International Young Design Entrepreneur of the Year dari British Council Indonesia ini dikenal filosofi warga menciptakan karakter kota, maka kemudian kota akan menciptakan karakter warganya.

Analoginya, bangunan itu seperti manusia. Ketika berdiri di kota, bangunan harus mengobrol dengan tetangga sebelah, memberi ruang cukup dengan kawasan sekelilingnya. Ini banyak dihilangkan proyek baru yang hanya fokus pada diri sendiri. Itu sebabnya kita tidak punya ruang publik yang nyaman.

Arsitektur yang baik harus seimbang dari sisi ekonomi, sosial, dan ekologis. Dominasi arsitektur di Jakarta dan kota baru di Indonesia masih pada sisi ekonomi. Jadi, bangunan dipagari, tidak ada plaza publik, banyak ruang kosong yang tidak didesain baik.

Dalam isu ruang sosial, kota sebagai ruang publik seharusnya didesain memberi rasa nyaman dan aman, seperti dalam ruang privat (rumah) sehingga warga mau keluar dari rumah. Untuk itu, ruang publik harus didesain, tidak cukup hanya disediakan.

Contoh lain adalah jalan sebagai ruang publik terbesar yang diperlakukan sekadar sebagai ruang sirkulasi engineering. Akibatnya, pemerintah hanya menyediakan aspal, tetapi tidak memikirkan pedestrian untuk pejalan kaki.

”Boro-boro didesain, disediakan saja tidak. Pertanyaannya, lalu di mana warga kota bisa melakukan interaksi sosial dengan kenyamanan dan keamanan seperti di ruang privat? Karena tidak ada pilihan, maka 60 persen warga Jakarta melarikan diri ke mal yang menyediakan keamanan dan kenyamanan dengan segala sensasinya,” kata Ridwan.


Ketika ditanya, di mana tempat arsitektur lokal di tengah globalisasi?

Ridwan menjawab, "Hormati nilai luhur budaya dengan cara baru, bukan copy and paste secara fisik. Artinya, yang diriset nilai budaya lalu ditransformasikan menjadi bentuk geometri modern.
Misalnya, ia mendesain dengan dinding motif batik untuk renovasi Hotel Sahid, dan tidak dengan membuat joglo. Spirit Jawa tetap hadir, tetapi ia memakai referensi budaya Jawa lain yang diinterpretasi ulang.

(Disarikan dari: Kompas, 24 Agustus 2008)