Berkunjung Kembali ke Ranah Minang (2)

Maninjau






Kemudian kami mengunjungi danau Maninjau yang sangat indah. Hampir semua wisatawan yang ke Bukittinggi akan mampir di danau Maninjau. Setelah kami melihat Maninjau dari atas, kami turun melalui kelok 44 yang terkenal. Di pinggir danau terdapat Masjid Hamka dan rumah-rumah peniggalan Belanda yang indah.



Ini rumah yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi home stay dan kafe. Di dekatnya terdapat peninggalan H. Rj. Rasuna Said, tokoh pergerakan wanita terkemuka asal Maninjau.


(Rumah kediaman Alm. Rasuna Said)

(Baitul Mal Tanwil mengenang Alm. Rasuna Said)

(Murid sekolah mempersiapkan perayaan HUT kemerdekaan RI)


(Berburu babi)

Berburu babi dengan anjing menjadi suatu kebiasaan masyarakat Sumatera Barat. Mereka datang dari berbagai pelosok berkumpul di satu tempat kemudian naik bukit dan anjingnya memburu babi hutan sampai mati dan dimakan habis oleh anjing tersebut. Agak sulit untuk dimengerti di daerah yang sangat kuat agama Islamnya terdapat hobi demikian.




Lembah Sianok

Lembah Sianok adalah sebuah atraksi penting lainnya di Bukittinggi, yang mirip Grand Canyon di Amerika.







Pantai Nirwana


Dari Padang, kami menyusur pantai ke arah Selatan sejauh 10 km kami menemukan pantai Nirwana yang sangat indah. Katanya dulu banyak dikunjungi orang.




Haur Kuning


Pada saat akan meninggalkan Bukittinggi kami sempat mampir ke Haur Kuning, sebuah pasar tekstil terkemuka di Sumatera, mirip pasar Tanah Abang Jakarta. Kami terkejut banyak sekali kain songket, kerudung, dan lain-lain buatan Thailand, India dan Malaysia.

Sebuah songket asli Minang berharga Rp. 1-5 juta. Tapi sebuah songket tiruan dari Thailand yang diberi bordir secara cerdik oleh pengrajin Bukittinggi dapat dijual dengan harga 100 ribu rupiah saja. Sedang kerudung buatan India dan Malaysia dijual Rp. 20 ribu.

Demikian perjalanan kami ke Bukittinggi yang menawan. Sampai berjumpa lagi!





Artikel sebelumnya:
Berkunjung Kembali ke Ranah Minang (1)

Berkunjung Kembali ke Ranah Minang (1)

"Babendi-bendi ka sungai Tanang
Aduhai sayang

Babendi-bendi ka sungai Tanang
Singgahlah memetik
Bungo Limbayung"
Telah lama sekali saya mendengar lagu daerah Minang tersebut, dan setelah berkali-kali ke ranah Minang, baru minggu lalu saya mengunjungi sungai Tanang.
Dari Maninjau kami berkendaraan menuju jalan raya Padang, Bukittinggi. Karena lalu lintas macet maka supir membelokkan mobil ke arah Selatan dan secara tidak sengaja melalui sungai Tanang.


Ternyata sungai Tanang adalah sebuah mata air dan membentuk sebuah telaga yang luas. Dulu sangat terkenal menjadi pemandian umum, tapi sekarang kurang terawat dan tidak banyak dikunjungi orang lagi.


(Masjid dekat Sungai Tanang)


Padang

Pada 9 Agustus 2008 lalu, untuk ke sekian kalinya saya berkunjung ke ranah Minang, kali ini bersama arsitek muda berbakat, Budi Pradono dan arsitek Mellisa.


(Di kafe menghadap ke Sungai Batang Arau)

Kunjungan kali ini ingin menjajaki kemungkinan perluasan usaha pariwisata di Sumatera Barat, selain Bukittinggi. Setelah mendarat di Bandar Udara Internasional Minangkabau di Ketaping, kami tancap gas ke kota Padang menyusuri Jl. Jend. Sudirman, Jl. Bagindo Azizchan lalu belok ke Jl. Thamrin, atau disebut daerah Ganting, lalu memotong sungai Batang Arau.




Ternyata daerah Padang peninggalan Belanda tersebut banyak mempunyai gedung-gedung menarik. Salah satunya gedung Bank Tabungan Sumatera Barat (dahulu Padangsche Spaarbank), yang terletak di pinggir sungai Batang Arau dan sekarang dijadikan hotel kecil dan kafe oleh seorang pengusaha Amerika yang cerdik, Christina Fowler. Dia melayani para peselancar dari Mancanegara.



The Hills

Sore harinya, kami meluncur ke kota wisata utama Sumatera Barat yaitu Bukittinggi nan sejuk. Pada zaman kolonial Belanda, di sini didirikan kubu pertahanan yang hingga kini masih ada, yaitu dikenal dengan Benteng Fort de Kock, pada tahun 1825.

Sesuai namanya, kota yang berpenduduk 100 ribu jiwa ini berada pada ketinggian 900 m di atas permukaan laut.

Ikon kota ini adalah Jam Gadang, yang dibangun pada 1926 oleh arsitek Yazin dan Sutan Gigi Ameh. Pada bagian atasnya terdapat ornamen rumah adat Minangkabau. Pembangunan jam Gadang ini konon menghabiskan total biaya 300 Gulden.


(Jam Gadang, ikon kota Bukittinggi)



Secara geografis, Bukittinggi terdiri dari deretan bukit-bukit sehingga jalan-jalannya mendaki dan menurun. Di antara bukit-bukit itulah berdiri Hotel The Hills, dengan perpaduan langgam Moorish serta gaya arsitektur lokal Minang.






Artikel selanjutnya:
Berkunjung Kembali ke Ranah Minang (2)

Berkunjung ke Sri Sultan Hamengkubuwono X


Pagi hari di tanggal 14 Agustus 2008, saya bersama Ananda Sukarlan, Aning Katamsi, dan Chendra Panatan terbang ke kota Gudeg Yogyakarta.
Sampai di bandara Jogja kami dijemput oleh Aki Adisakti, aktivis Keluarga Pecinta Musik Jogja (KPMJ), dan langsung menuju Kepatihan untuk bertemu Sri Sultan Hamengkubuwono X. Di sana telah menunggu Prof. Dr. Bramantyo, Dekan Fakultas Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta.

Dalam suasana santai, kami menyampaikan kegiatan Java New Year Concert sebagai kelanjutan dari Jakarta New Year Concert. Tak disangka beliau sangat antusias menanggapi dan menyarankan agar dapat diselenggarakan Java Internasional Music Camp pada tahun 2009. Sekaligus diusulkan tempatnya di Balai Pendidikan Guru Kaliurang milik Depdiknas yang memiliki auditorium besar dan bagus akustiknya, serta mempunyai fasilitas akomodasi untuk 100 orang.
Pada saat kami meminta kesediaan beliau menjadi pelindung pada Java Internasional Music Camp, beliau pun tersenyum sambil menganggukkan kepala.
Sri Sultan juga menceritakan bahwa dulu Keraton Jogja mempunyai orkestra sendiri dengan konduktor dari luar negeri.

Setelah pamit dari Kepatihan, kami lalu bersantap siang di Gudeg Yu Narni, terletak di dekat kampus UGM Bulak Sumur.


Usai santap siang, kami melakukan kunjungan kehormatan ke Rektorat Universitas Gadjah Mada.



Tembang Poetik Ananda Sukarlan

Malam harinya, kami menghadiri konser 'Tembang Poetik Ananda Sukarlan' bersama Aning Katamsi yang diselenggarakan oleh Fakultas Kedokteran UGM, Pusat Kebudayaan Indonesia Belanda Karta Pustaka, dan Keluarga Pecinta Musik Jogja (KPMJ).



Nomor-nomor yang dimainkan antara lain This Boy's Had a Dream, Di Kebun Binatang, Hujan Turun Sepanjang Waktu, dan Tidurlah Intan. Pada kesempatan ini juga Ananda Sukarlan menampilkan piano solo karyanya, Rapsodia Nusantara no. 1, yang dapat disimak online di situs YouTube.
Malam itu juga hadir dengan penuh antusias, Saudara Harinto Budhi Wibowo, mahasiswa ISI Yogyakarta dan sekaligus General Manager & Conductor Jogja Phiharmonic Orchestra.

Hadir pula Gatot D Sulistiyanto, Direktur Art Music Today yang tahun ini menyelenggarakan workshop komposisi musik di Jogja dihadiri 17 negara. Sungguh suatu karya yang membanggakan diprakarsai alumni muda ISI.


(Siswa Wigardha P. Adishakti tampil sebelum konser)
Kesokan paginya, tanggal 15 Agustus, kami berkunjung ke ISI Yogyakarta bertemu dengan Dekan Fakultas Seni Pertunjukan Prof. Dr. Bramantyo serta para dosen Jurusan Piano. Hadir pula Prof. Dr. Etty Indriati & Aki Adisakti. Kami berdiskusi panjang lebar mengenai masa depan pendidikan Piano di ISI, dilanjutkan dengan peninjauan fasilitas pendidikan.

(Tampil bersama Kartika, mahasiswi UGM, di restoran Gajah Wong)

Pianississimo di Java New Year's Concert


Teacher. "And what does ff mean?"
Pupil (after mature deliberation). "Fump-Fump."
===
(Cartoon from Punch magazine October 6, 1920)
Setelah sukses menyelenggarakan Jakarta New Year's Concert tiga tahun berturut-turut, yaitu pada 2006, 2007 dan 2008, maka dewan pendiri yang terdiri dari Dedi Sjahrir Panigoro, Ananda Sukarlan dan Chendra Panatan menyepakati Jakarta New Year's Concert untuk bermetamorfosa menjadi Java New Year's Concert (JNYC).
Mengapa demikian? Acara ini telah tumbuh dan berkembang dan mendapat sambutan hangat dari pecinta musik seantero Nusantara. Lagipula nama Java sudah dikenal di mancanegara sebagai sebuah ikon budaya yang cerdas dan cantik.
Java New Year's Concert 2009 diharapkan dapat berlangsung di dua kota yaitu di Jogjakarta dan Jakarta. Jika tidak ada aral melintang, judulnya kali ini adalah Pianississimo.
Pianississimo artinya 'a lot of piano' = banyak piano, di mana dalam JNYC 2009 ini akan ditampilkan banyak piano dan pianis dalam satu panggung.
Yang akan tampil di konser ini antara lain para pemenang kompetisi piano nasional Ananda Sukarlan Award, dan akan tampil pula soprano muda, Bernadeta Astari.
Oh ya, saya akan bercerita sedikit mengenai Ayah saya, Almarhum Yusuf Panigoro. Beliau adalah seorang Guru Kesenian di Bandung dan juga bermain piano.
Saya mendengar kabar dari teman-temannya bahwa dia dan Almarhum Pak Kasur di Bandung keluar masuk sekolah-sekolah untuk memberikan pelajaran menyanyi diiringi piano. Sangat mungkin tanpa bayaran, karena saat itu adalah saat bangsa kita sedang sibuk meraih kemerdekaan.
Hampir seluruh putra beliau yang sebelas orang juga bermain piano.

(Mengiringi Raya Danubrata di Va Bene Rest th 1995, piano ini ada di The Hills Bukittinggi sekarang)

(Santai di Bali Imperial Hotel, th 1998)
(Tampil di Bali Imperial Hotel, th 2000)


(Menyanyi bersama pemenang Elite model international di Bali)


(Di Griya Jenggala, setelah konser tembang puitik Indonesia Ananda Sukarlan, 30 Juli 2007)

Merenda Kesementaraan Hidup

Di hari Minggu pagi yang cerah, saya terkesiap membaca artikel 'Etty Indriati Merenda Kesementaraan Hidup' di rubrik Persona Kompas. Kita sering sekali dari hari ke hari disibukkan dengan hal-hal yang sangat tergantung kepada peraturan, konstitusi, dan norma-norma yang jauh dari rasa keadilan dan penghayatan makna hidup yang hakiki.




Etty Indriati Merenda Kesementaraan Hidup

Sumber: Kompas, 3 Agustus 2008
Begitu seringnya menyaksikan kematian, yang telah terurai dari yang sehari sampai jutaan tahun, membuat Prof drg Etty Indriati PhD (44) semakin menghayati bagaimana alam bekerja melalui kehidupan dan kematian dan seluruh fenomena di antaranya.
Ilmu yang dikuasai guru besar Antropologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada ini termasuk langka. Polisi dan dokter forensik sering membutuhkan keahliannya untuk menyempurnakan temuan identifikasi forensik mereka.


”Kalau tulang biasanya diberikan ke laboratorium kami. Polisi di Polda Jawa Tengah dapat memisahkan mana yang perlu dikerjakan antropolog forensik, mana yang dikerjakan dokter forensik,” ujar Etty.
Ketika pesawat Boeing 737- 400 terbakar di Bandara Adisucipto, Yogyakarta, Rabu pagi 7 Maret 2007, Etty bersama kolega forensik dan dokter gigi bekerja keras mengidentifikasi 22 jenazah.
”Di tengah puluhan jenazah, serasa banyak tangan yang menggapai-dan suara-suara ’tolong saya, tolong saya’. Bersama ahli identifikasi korban bencana, kami terus bekerja sampai dini hari, pagi-pagi sudah ada di lapangan lagi mencari jenazah karena ada ketidakcocokan jumlah,” ia mengenang.
Peristiwa kematian selalu menyisakan aroma yang khas, yang hanya bisa ditangkap mereka yang terlatih kepekaan inderawinya.
”Orang yang telah meninggal proteinnya terurai menimbulkan bau khas putrid,” jelas Etty.
”Kalau indera kita terlatih, kita bisa membauinya dalam jarak, juga dapat menangkap apa yang tak ditangkap banyak orang. Ketajaman inderawi ini juga terdapat pada mata burung elang atau penciuman anjing. Jadi, manusia bukan the best of the best di antara makhluk hidup. Tiap makhluk hidup memiliki kelebihan yang berbeda dari lainnya dan saling mengisi kekurangannya untuk hidup di muka Bumi.”
Identifikasi korban kecelakaan pesawat Garuda terbilang cepat. Seperti diungkapkan Etty, ”Kami melakukan klasifikasi, mana ras Kaukasid (warga Australia), mana ras Mongoloid (Indonesia), mana laki-laki, mana perempuan. Lalu kita kumpulkan data sebelum meninggal, ante-mortem, kita masukkan ke file. Data setelah meninggal, post-mortem, juga dimasukkan ke file sendiri. Kemudian kita bandingkan di ruang rekonsiliasi file siapa cocok dengan file siapa.”
Begitu seringnya bersentuhan dengan kematian membuat insting Etty terasah. Dengan itu pula ia menemukan jenazah Prof Kusnadi Hardjasumantri.
Kembali menjadi debu
Banyak orang bertanya mengapa Etty tidak takut memegang tulang manusia yang sudah mati. ”Saya justru merasakan Tuhan menghadirkan diri-Nya, tak hanya ketika memegang tulang dari korban mutilasi, bencana, kecelakaan, tetapi juga dalam fosil. Itulah prasasti yang dipahatkan Tuhan di alam. Di situ misteri alam disingkap sedikit demi sedikit,” ujarnya.
Apa artinya kematian?
Dengan kematian, manusia memberikan kembali ke alam apa yang sudah dia ambil dari alam; mengembalikan tubuh ke bumi. Raga kita mengucurkan air ke Bumi dan alam menyikluskannya. Jadi, siklus air dikembalikan.
Maksudnya?
Komposisi air dalam tubuh manusia 75 persen, persis seperti di Bumi, 75 persennya adalah lautan. Air tawar di Bumi sangat terbatas. Kalaupun teknologi bisa mengubah air laut dalam jumlah besar menjadi air tawar, keseimbangan akan terganggu, dan membahayakan kehidupan.
Tubuh manusia terbuat dari bahan-bahan yang terdapat di alam semesta. Di dalam tubuh kita juga ada kumpulan makhluk hidup. Ada bakteri E-coli di usus, ada mikroba Streptococcus mutans di rongga mulut. Mikro-organisme dan manusia saling membutuhkan. Yang harus dijaga keseimbangannya. Kalau jumlahnya terlalu banyak, kita infeksi.
Jadi, semua di alam ini harus seimbang, homeostasis. Kematian adalah keseimbangan, termodinamika, dinamika panas atau energi; hangat tubuh kita dikembalikan ke Bumi ketika kita mati.
Ketika kematian menjemput, raga kita secara gradual terurai kembali, dari individu, organ, jaringan, sel, molekul, atom, ke zarah sub atom. Jadi, kulit, otot, tulang, semua terurai menjadi tak kasatmata, menjadi fosfor, fosfat, natrium, kalsium hidrogen, sulfur, yang menyuburkan alam sekitar, dan jutaan atom yang melayang di udara ini dihirup lagi oleh segala yang hidup.
Tetap misteri
Menurut Etty, raga yang terurai ini dapat terhampiri oleh ilmu pengetahuan, tetapi jiwa atau roh tetap menjadi misteri sepanjang masa.
Perubahan wujud sisa hayat manusia tertangkap indera penglihatan dalam situs arkeologi. Kadang kita menemukan sisa rangka manusia, ada pula yang rangkanya telah membubuk seperti bedak tabur.
”Dalam situs paleoantropologis, sisa hayat manusia membatu karena proses fosilisasi di mana zat organik terisi anorganik. Sisa hayat berbagai rupa ini menunjukkan betapa manusia memerlukan makhluk hayati lain, tak hanya semasa hidup, tetapi juga setelah mati, untuk mencapai wujud atau energi yang lain,” jelas Etty.
Ia melanjutkan, ”Manusia makan ketika hidup, tetapi jasadnya dimakan mikroba dan insekta ketika meninggal. Ini menyiratkan betapa kehidupan di dalam semesta ini saling terkait satu sama lain seperti jaring-jaring raksasa.”
Lebih jauh ia menjelaskan, ”Planet Bumi, alam semesta raya, merupakan satu rumah bagi semua, manusia, hewan, tumbuhan, air, tanah, udara. Hukum telekinetik membuat perubahan di belahan dunia yang satu akan memengaruhi belahan dunia yang lain. Limbah merkuri perusahaan yang jauh dari Alaska dapat meracuni tubuh bayi yang minum ASI tercemar dari konsumsi salmon pada orang Inuit di Alaska.”
Apa yang hendak Anda katakan?
Planet Bumi dan segala isinya adalah rumah bersama kita semua. Kehidupan semua makhluk hayati bergantung pada sinar matahari dan erat berhubungan satu sama lain dalam rantai makanan. Tetapi, dalam sistem hayat di Planet Bumi, manusia adalah satu-satunya spesies yang tega membunuh sesama spesiesnya demi harta dan kekuasaan.
Manusia tega mengambil hak bertahan hidup manusia lainnya, tega membuang limbah yang meracuni kehidupan di wilayah tetangga, tega merusak alam demi uang sebanyak-banyaknya. Kalau sumber daya alam habis dan lingkungan alam rusak, kita tak bisa makan uang.
Pelajaran apa dari sejarah peradaban kalau manusia menghancurkan alam?
Kolaps. Peradaban manusia di berbagai belahan dunia pernah sangat maju dan kompleks. Bangunan kuno monumental di ketinggian hutan tropis di Tikal, Guamatemala, kini tinggal puing-puing. Lalu ke mana lenyapnya kejayaan suku Maya? Juga bangunan batu Kalasasaya yang mahaluas di ketinggian 4.000 meter di atas permukaan laut di Tiwanaku, Bolivia. Tiwanaku kolaps karena perubahan iklim makro yang menyebabkan kekeringan sekitar 1100 tahun Sesudah Masehi.
Berbagai studi menyimpulkan, kolapsnya peradaban terutama terkait dengan degradasi sistem sosial-politik karena hancurnya sumber daya alam, ledakan jumlah penduduk, penyakit zoonotik endemik karena habitat hewan dipakai untuk hunian manusia.
Manusia adalah pemakan segala: hewan, tanaman, ia juga pengguna energi alam, listrik, gas dan bensin, yang merupakan transformasi dari fosil pyhtoplankton di perut Bumi. Kalau sumber daya alam habis dan lingkungannya hancur, mudah terjadi disintegrasi sosial politik, komunikasi vertikal dan horizontal putus, perang, kelaparan.
Jumlah penduduk Bumi yang telah melebihi kapasitas Bumi mengolah siklus dan memberi energi terbukti dari deforestasi dan overfishing. Penting bagi Indonesia mengendalikan jumlah penduduknya karena tiap insan perlu makan, ruang, dan energi alam untuk menyangga hidupnya. Kalau tidak hati-hati, Bumi mereduksi jumlah manusia dengan timbulnya bencana kelaparan, konflik perebutan sumber daya, dan penyakit.
Dengan seluruh pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki, menurut Anda, hidup ini apa?
Yang sangat terasa dalam hidup ini adalah kesementaraannya. Kita di sini sebentar sekali. Umur kita berapa sih? Umur Bumi 4,5 miliar tahun menurut tafsiran geologis. Yang sebentar itu kita mau kita apakan? Apa mau mengeruk energi alam sebanyak-banyaknya untuk keluarga sendiri, kelompok sendiri, atau mau ikut memberikan kesadaran kepada sebanyak-banyaknya orang bahwa kita tak boleh serakah dan mau merawat produsen ini, yang kita makan, flora, fauna.
Jika kita mati, kita cuma membawa raga, bukan sertifikat, uang, atau pangkat. Orang bilang, kita harus tahu artinya cukup, tetapi itu relatif juga. Namun, kalau kita benar-benar memahami kesementaraan, kita tak akan menumpuk sedemikian rupa. (Maria Hartiningsih)

* * *

Sungguh kita sangat beruntung membaca penuturan Prof. drg. Etty Indriati, PhD ini, karena hanya dalam waktu beberapa menit kita dapat menerawang masa 4,5 miliar tahun umur bumi kita.

(DSP)

Bang Imad, Raja Tanpa Mahkota


Empat puluh tiga tahun yang lalu Bang Imad mengajar Agama Islam di kelas saya, di tingkat satu kampus Ganesha ITB.
Saat itu ia bertanya kepada semua mahasiswa, “Apa yang terjadi jika Nabi Muhammad dilahirkan di Cimahi?”
Ruangan kelas pun hening, tidak ada mahasiswa yang menjadi menjawab. Lalu Almarhum menunjuk kepada siswa, “Kalian putra-putri terbaik Indonesia. Pakai nalarmu!”
Kembali para mahasiswa hening, tetap tidak berani menjawab.
Akhirnya dia berkata, “Jika itu terjadi, maka Al-Qur’an akan ditulis dalam bahasa Sunda!”
Begitulah, beliau secara tersirat mengajarkan kita semua untuk memahami bahwa Islam adalah agama sepanjang zaman dan kita diminta untuk senantiasa menggunakan akal pikiran kita untuk mengikuti perkembangan zaman.
Sejak itu Bang Imad malang melintang dalam dunia intelektual Islam, seperti seorang raja tanpa mahkota.
(DSP)
* * *

Bang Imad, Pendidik Aktivis Masjid, Berpulang

Sumber: Kompas, 3 Agustus 2008

Indonesia kembali berduka karena kehilangan salah satu putra terbaiknya, Imaddudin Abdurrahim (78). Pendidik para aktivis masjid di Indonesia, pejuang Islam yang istiqomah dengan akidah yang dipegangnya, dan penerima anugerah Bintang Maha Putra Utama itu meninggal hari Sabtu (2/8) pukul 09.15 WIB.

Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa ketika takziah di kediaman almarhum Imaddudin di Jalan Bulak Raya, Klender, Jakarta Timur, Sabtu sore, menyampaikan pesan dari pemerintah kepada pihak keluarga bahwa almarhum yang dipanggil akrab Bang Imad itu berhak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
”Almarhum merupakan penerima anugerah Bintang Mahaputra Utama dari negara bersama almarhum Nurcholish Madjid dan Amien Rais. Jadi, rencananya besok jenazah akan diberangkatkan pukul 07.00 pagi dari rumah kediaman,” ujar Hatta.
Atas usulan pihak pemerintah ini, Fasiah Umri, adik almarhum, sepakat Bang Imad dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
”Semula pihak keluarga ingin almarhum dimakamkan selepas shalat ashar hari ini (Sabtu). Tetapi, atas usulan pemerintah yang dibawa Mensesneg Hatta Rajasa, kami pihak keluarga sepakat dengan usulan itu,” ujarnya.
Fasiah Umri menjelaskan, almarhum meninggalkan tiga putri dan seorang putra yaitu Nurhalisa, Sakinah, Halimah, dan Umar. Adik paling kecil almarhum Bang Imad, Abdullah Abdurrahim, mengatakan, dia juga menyepakati usulan dari pemerintah. Itu merupakan bentuk penghargaan dari negara untuk almarhum dan keluarga.
”Saya tadi masih di Medan ketika mendengar kabar. Alhamdulillah sekarang sudah tiba. Kami selaku pihak keluarga mengucapkan terima kasih atas perhatian yang diberikan pemerintah, rekan-rekan seperjuangan almarhum, serta seluruh kerabat,” ujarnya.
Kesan
Hatta Rajasa menilai almarhum Bang Imad sebagai seorang guru dan pendidik, terutama untuk dunia Islam. Almarhum dengan gerakan tauhidnya di Masjid Salman Institut Teknologi Bandung bisa dikatakan sebagai tokoh pendiri aktivis masjid kampus. ”Beliau juga banyak berkecimpung dan terlibat aktif dalam berbagai aktivitas di dunia Islam di Indonesia dan internasional,” ujarnya.
Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan yang ditemui saat takziah mengatakan, almarhum Bang Imad merupakan pendidik yang sangat bersemangat. ”Saya ingat salah satu kata-katanya bahwa beliau tidak membutuhkan 30 lebih aktivis, cukup dengan delapan orang yang serius, beliau bisa bangkitkan jadi aktivis Islam terbaik,” ujarnya.
Sejumlah karangan bunga ucapan turut berduka dikirimkan, antara lain, keluarga mantan Presiden BJ Habibie, Hatta Rajasa, Jimly Asshiddiqie, AM Fatwa, dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. (MAM)