The Passion of Milan

Dari Pforzheim, Jerman kami menuju Italia.

Milan, kota yang terkenal karena fashion dan bisnis keuangan ini berpenduduk 1,27 juta. Tak seperti Roma dan Venice, di sini hampir tidak ada pengemis dan tidak ada orang yang menganggur. Suasananya mirip Dusseldorf, Jerman di mana orang-orang berpakaian rapi baik laki maupun perempuan. Saya juga kagum karena di mana-mana ada taman-taman yang asri, gedung teater, museum, patung-patung dll.


(Milan Cathedral)

Pusat kota berada di Plaza Duomo yang berada di depan Milan Cathedral, Gereja Gothic terbesar di dunia (menurut Lonely Planet).

Gereja ini dibangun pada tahun 1386 dengan gaya Gothic Prancis, dengan memasang 3400 patung dan hiasan-hiasan lain dan baru selesai 100 persen pada tahun 1900. Ini berarti bangunan ini baru rampung dalam waktu 600 tahun. Wah, ini jelas membuktikan bahwa suatu masterpiece membutuhkan waktu.

Milan dibangun oleh kerajaan Romawi pada tahun 222 SM. Sejak abad ke-13 daerah ini dikuasai oleh kelompok bisnis keluarga Visconti dan keluarga Sforza.




(Galleria Vittorio Emanuelle II)

Di depan Gereja ada Galleria Vittorio Emanuelle II, sebuah gedung tua dengan atap tinggi yang sekarang dikonversi menjadi pusat pertokoan kelas atas seperti Gucci, Louis Vuitton, Trussardi, Todds dll. Di Galleria ini ada ruang terbuka yang sering menampilkan pertunjukan musik, tari dan lain-lain secara gratis dan mereka tidak mengedarkan kotak sumbangan. Barangkali mereka ada sponsornya, karena posternya dipasang di berbagai penjuru kota.

Galeria ini enak dipandang kalau untuk sekadar cuci mata, tapi harga barang-barangnya... hm... tidak terjangkau. Dompet kulit ukuran10 cm x 20 cm berharga Rp 3 juta, tas wanita Rp 30 juta, baju kerja pria yang katanya special price pun Rp 1.6 juta untuk empat buah. Wah, gimana yah...

(Teatro alla Scala)

Di depannya lagi ada gedung opera kelas dunia, Teatro alla Scala. Di sini pada 28 April 2008 kami menonton konser Filarmonica Della Scalla (Philharmonic Orchestra). Bertindak sebagai conductor saat itu adalah Semyon Bychkov. Piano concerto oleh Kirill Gerstein yang membawakan karya komponis dunia Antonin Dvorak (1841-1904). Wah luar biasa performancenya...

Didukung oleh gedung opera yang megah enam lantai dan kemampuan pemain yang sangat tinggi tentu saja hasilnya ok banget. Gedungnya mirip Gedung Kesenian Jakarta tapi besar. Oh iya, di gedung konser ini sama sekali tidak ada makanan dan minuman.
Saya kaget sebagian penonton di balkon berdiri untuk melihat lebih bak. Setelah lagu selesai mereka bertepuk tangan dan berteriak, “Bravo...!” terutama para penonton yang di balkon yang rupanya adalah fans berat orkestra ini.

Beberapa saat saya memejamkan mata, rasanya kualitasnya tidak berbeda jauh dengan di sini. Kelihatannya hanya satu perbedaannya, yaitu: mereka main musik dibayar penuh, jadi musik itu hidupnya.

Tiap pagi, dari gedung opera ini, saya selalu mendengar berbagai latihan musik maupun vokal. Mungkin ini yang harus dihidupkan oleh gedung-gedung kesenian di Indonesia. Dan rasa-rasanya saya jadi lebih suka Milan daripada Roma dan Venice, karena kota ini begitu hidup dengan musik, teater, dan juga fashion tentunya.


(Gereja Santa Maria delle Grazie)




Ada pula Museum Cenacolo Vinciano, terletak di Gereja Santa Maria delle Grazie, di mana terdapat lukisan terkenal di dunia, The Last Supper karya Leonardo da Vinci. Karya dari abad ke-15 yang berupa mural ini berukuran kira-kira 4,5 x 9 m dan sungguh-sungguh menampakkan sebuah kehidupan dalam tiga dimensi.


(The Last Supper, Leonardo da Vinci)

Dan kalau soal kuliner di Milan, jangan ditanya. Kemarin siang kami makan di ristorante dengan gaya sebagian besar berdiri dengan bar dan makanan jadi dipajang di bar. Mirip tapas bar di Spanyol. Pengunjung berdiri di bar tapi juga disediakan meja tinggi untuk menyimpan piring dan gelas sambil berdiri. Suasananya hidup sekali, diselingi musisi yang bersliweran kemana-mana.

Menu khas Milan adalah risotto, seperti nasi tapi agak keras dan cotoletto, yaitu roti dilapis daging.

Kami beruntung menginap di Mercure yang tepat berada di atas stasiun Metro Porta Venezia, terpaut tiga stasiun dari Pusat kota Plaza Duomo. Tiket Metro harian hanya 3 Euro, beroperasi 12 jam sehari dan sangat convenient. Tram dan bus juga beroperasi , tapi kami memilih metro karena cepat dan stasiunnya jelas.

Setelah Italia, kami kembali ke Prancis.

Mampir di Golden City Pforzheim

Dari Madrid, kami terbang menuju Stuttgart untuk menjenguk kakak ipar, Andy Dharsono. Andy kuliah di Fakultas Teknik Universitas Karlsruhe, jurusan Teknik Mesin. Setelah lulus, ia pun menikah dengan seorang guru dari Pforzheim, dan kemudian mereka menetap di sana hingga kini telah dikaruniai empat orang putri.


Kami hormat kepada Andy, karena meski telah tinggal di negeri Jerman ini selama 35 tahun, ia tetap mempertahankan kewarganegaraan Indonesia serta agama Islam.

Kami menginap di Pforzheim selama tiga malam dan betul-betul mempergunakan seluruh waktu untuk beristirahat sambil bercengkrama dengan seluruh keluarga.


Pforzheim merupakan sebuah kota kecil yang luasnya 98km², dengan penduduk sekitar 120 ribu jiwa. Penghasilan utama mereka bertani dan membuat perhiasan. Kota ini terkenal dengan industri jewelry-nya dan juga pembuatan jam / arloji. Itu sebabnya kota ini juga sering disebut dengan "Goldstadt" atau Golden City.


Kami sempat mampir ke restoran ikan terkenal di pinggiran sungai Pforzheim.

Dari sini, kemudian kami menuju Milan, Italia.

Kota Tua Toledo


Hari kedua di Madrid, kami memilih ke kota Toledo, sebuah kota tua objek wisata yang berpenduduk 75 ribu orang. Kami menuju kota tua ini dengan bus, sebagai bagian dari tiket harian kota Madrid. Perjalanan kami tempuh selama satu jam.

Di gerbang saat memasuki kota, terlihat sebuah patung banteng yang besar. Sebenarnya Toledo ini terkenal dengan arena pertunjukan adu banteng dengan matador. Sayang sekali kami tak berkesempatan menyaksikannya karena musimnya belum tiba.

Di dalam kota ini, terasa sekali suasana kota turisnya. Restoran berderet-deret diselingi toko-toko souvenir dengan spesialisasi keramik dan perak serta kuningan.

(A bronze statue of Cervantes, by Antonio Sola (1835))

Toledo menjadi objek wisata karena pada masa pergolakan kekuasaan, sempat menjadi markas Roman, Visigoth, Yahudi, Muslim dan tentu saja Kristen. Peninggalan-peninggalannya masih terlihat jelas. Karena begitu kaya dengan monumen maka kota ini bisa dibilang 'open-air museum'.

Setelah makan siang, kami bergegas kembali ke hotel lagi di Madrid.

Madrid Walks

Kereta api yang kami naiki dari Santander menuju Madrid ini dikelola oleh Renfe, yang juga mengelola seluruh jaringan kereta api di Spanyol. Kondisinya mirip dengan kereta TGV Prancis, amat nyaman di dalamnya. Dua jam pertama seperti perjalanan dari Purwakarta ke Bandung, yaitu menanjak, setelah itu barulah jalannya datar dan ngebut cepat sekali. Rupanya Madrid itu berupa dataran tinggi.

(Atocha Railway Station)

Kami tiba waktu Magrib di stasiun Chamartin, dan langsung membeli tiket Metro harian, seharga 3 Euro per hari. Kami lalu naik metro line biru. Sekali jalan kereta berhenti di stasiun Metro Puerta de Sol, yaitu stasiun yang terdekat dengan hotel kami, Adria Hotel, dan sekaligus dekat dengan Plaza Major, jantungnya kota Madrid tua. Daerah ini bernama Puerta de Sol yang bisa dikatakan jantungnya Madrid, semua jarak di Spanyol dihitung dari sini (kilometer nol).

Setelah check in di hotel yang direkomendasi oleh Lonely Planet Guide Book itu, kami sempat mandi dan istirahat sejenak. Bangunannya kecil, sangat efisien, yang mana setiap tamu diberikan dua kunci, yaitu 1 kunci kamar dan 1 kunci lift. Tarif hotelnya 50 Euro per malam.

(Bersama Pengamen dari Mexico)

Cukup beristirahat, kami pun bergegas ke Plaza Major. Tempat yang dibangun pada abad ke-17 ini suasananya mirip Plaza Marco di Venezia. Sebuah lapangan dari marmer luasnya kira-kira 5000 m2 yang dikelilingi bangunan toko, restoran, apartemen dll.

Kami memilih sebuah tapas bar yang suasananya... wah... hidup sekali. Penghibur datang silih berganti, memainkan akordeon, gitar, saksofon, trio penyanyi dll. Namanya Restaurante Corrientes 348, terletak di Jl. Calle de Toledo (Tel. 913640901), tepat di depan Plaza Mayor.

Kota yang berpenduduk 3,15 juta orang ini penuh dengan taman-taman besar maupun kecil, dan juga patung berbagai rupa. Tidak sehebat di Paris tapi jika kita jalan-jalan ke berbagai pelosok kota, terasa sekali vibrasi dari peninggalan tua dan dikawinkan dengan sifat Spanyol yang dapat kita rasakan di bekas jajahannya Philipina, dan seluruh Amerika Selatan kecuali Brasil.

(Palace of Madrid)



(Cathedral de la Almudena)

Saya coba ekspresikan sifat kota ini: spontan, hidup, agak kurang sopan, kalau kita duduk di cafe orang tdk dikenal lazim meminta rokok, apalagi begitu mereka mencium rokok kretek saya, mereka langsung tersenyum dan minta sebatang.Sejarah Madrid sedikit terpengaruh oleh Moorish yang menguasai Andalusia selama ratusan tahun. Moorish adalah pengaruh kelompok Islam Morocco yang menduduki Andalusia. Pengaruh arsitekturnya sangat menonjol di Granada, Sevilla dan Alhambra.

Setelah perang dunia II, diktator Franco membangun Spanyol dengan tirani, dan raja Carlos diusir ke pengasingan. Tetapi setelah 40 tahun berkuasa, Franco secara damai mengembalikan pemerintahan kepada Putra Mahkota Juan Carlos. Namun di luar dugaan rupanya Juan Carlos menghidupkan demokrasi sampai sekarang.

Transportasi di Madrid cukup lengkap, ada metro, bus, taxi, kereta api regional dst. Tiket Metro sekali jalan 1 Euro, tiket harian 4 Euro, dan 10 kali jalan 7 Euro. Inilah yang kami pakai karena praktis bisa dipakai berhari-hari.

Masalah kriminalitas seperti pencopetan agak mengganggu, sehingga kami disarankan untuk meninggalkan paspor dan barang berharga di safety box di hotel. Uang jangan disimpan di dompet, tapi di dalam tas kecil yang diselempangkan di dalam baju atau jaket.



Tapi cara yang paling baik menikmati Madrid adalah dengan jalan kaki di pusat kota seperti Puerta de Sol, Plaza Santa Anna, Plaza de Espana, Plaza de Retiro dll.

Madrid mempunyai dua museum kelas dunia, yaitu Museo Nacional del Prado dengan karya utamanya mahakarya Spanyol, Francis Goya dan Museo Nacional Centro de Arte Reina dengan mahakarya Picasso dan Salvador Dali.

Berbagai jenis restoran bertebaran di sekeliling kota, tapi tentu saja pilihan utama kami adalah tapas bar. Tapas bar adalah bar yang di meja tinggi yang sambil berdiri sudah tersedia berbagai makanan kecil. Kebanyakan di atas sepotong roti dengan udang, ikan, buah zaitun, cumi dll. Dan tentu saja tersedia berbagai minuman alkohol. Yang populer adalah minuman Sangria, yaitu sari buah dgn campuran alkohol ringan.

Hari pertama kami ikut tour dengan bus Double Decker. Kami pun naik ke tingkat dua yang terbuka dan untuk memudahkan pengambilan foto.

Hari kedua, kami mengunjungi Toledo.

Dan hari ketiga, kami menyempatkan naik kereta api selama 45 menit untuk mengunjungi factory outlet di Rojas. Mungkin konsep factory outlet di luar kota cukup ideal untuk kota besar di Indonesia, untuk menarik kepadatan kota.

Di Rojas ada factory outlet yang berupa mall, tapi ada juga yang di desa yang tentu harganya lebih murah. Sayang kami tidak berkesempatan mengunjungi yang di desa, padahal mereka memberikan service bagi yang belanja diatas 300 Euro akan diantar sampai ke hotel di Madrid.

Usai cuci mata, kami pun terbang ke Stuttgart, untuk mengunjungi kakak ipar, Andy Dharsono.

Artikel terkait: Museum Cervantes

Bertandang ke Rumah Sahabat

Sudah sejak lama saya mendengar bahwa Ananda tinggal di sebuah perbukitan yang menghadap ke Laut Atlantik di kota Santander. Sebuah kota di Utara Spanyol. Maka dalam kesempatan ini kami pun berniat untuk berkunjung ke rumahnya.

Kami berangkat dari Bilbao, menempuh satu jam perjalanan dengan bus executive seharga 11 Euro, yang di dalamnya amat nyaman seperti dalam pesawat terbang, lengkap dengan suguhan minuman dan snack. Di stasiun bus Santander, Ananda bersama istrinya, Raquel, telah menunggu kami sambil melambai-lambaikan tangan.

Ananda Sukarlan adalah pianis dan komposer kelahiran Jakarta, yang telah memenangkan berbagai kompetisi dan memperoleh penghargaan dunia di bidang musik klasik. Ia juga adalah satu-satunya orang Indonesia yang tercatat dalam buku "The 2000 Outstanding Musicians of the 20th Century," yaitu buku yang memuat riwayat hidup 2000 orang yang dianggap berdedikasi pada dunia musik.


Secara resmi, Ananda kini adalah Duta Kebudayaan Pemerintah Spanyol, tetapi secara tidak resmi ia adalah juga Duta Bangsa Indonesia yang telah melakukan pertunjukan di hampir seluruh belahan dunia. Saya sendiri sempat menyaksikan Piano Concerto-nya bersama Nusantara Symphony Orchestra di Osaka dan Tokyo beberapa tahun lalu. Waktu itu konsernya juga ditemani oleh para pemain gendang Sunda dan seorang penari Bali.

Saat itu, karena pertunjukannya yang mengagumkan, musisi yang di Eropa dikenal sebagai ‘a brilliant young Indonesian pianist’ ini mendapat sambutan amat meriah dari penonton. Kelihatannya, berkat kiprah Ananda, saat ini karya-karya musik di Eropa telah mulai dipengaruhi oleh unsur gamelan Sunda dan seni tari Bali.

Dari stasiun bus, kami langsung menuju rumah Ananda. Rupanya Santander adalah kota pelabuhan, namun memiliki bukit yang indah menghadap laut. Karena itu Raja Carlos membuat istana musim panas di tempat ini.



Sampai di rumah, kami pun disuguhi makanan asli Santander, buatan Nyonya rumah yang memang penduduk asli di sini. Ananda dan Raquel pertama kali bertemu empat belas tahun yang lalu di Bilbao. Saat Ananda bermain piano, Raquel yang membukakan halaman-halaman partiturnya. Rupanya cinta pada pandangan pertama.

Usai menyantap hidangan, kami ngopi-ngopi sambil mengobrol melepas rindu. Di antaranya membicarakan rencana konser Ananda di Indonesia tahun ini, yaitu Maestro at 40 pada bulan Juli, kemudian Ananda Sukarlan Award, juga Konser Kemerdekaan yang akan berkolaborasi dengan Nidji, dan tentunya Jakarta New Year Concert 2009 yang telah dilangsungkan rutin beberapa tahun ini berturut-turut.


Columbus Bukan Satu-Satunya Penemu Benua Amerika

Keesokan paginya, kami mengantar putri semata wayang mereka, Alicia, yang berumur 9 tahun, ke sekolahnya. Saat itu kami berkesempatan meninjau sekolahnya dan bahkan mengikuti pelajaran pertamanya sejenak.

Terasa benar bahwa negara dan masyarakat Eropa telah mencurahkan perhatian yang begitu besar terhadap pendidikan anak. Misalnya dalam penyediaan fasilitas, gedung dan guru-guru yang amat memadai.

Dari sekolah kami menuju ke istana musim panas Raja Carlos. Bangunannya tidak terlalu besar, tapi cantik. Letaknya di puncak bukit, di atas hamparan taman yang penuh rumput dan bunga-bunga yang indah dan diselingi patung-patung.

Di halaman tersebut, terdapat juga replika kapal –dalam ukuran sebenarnya- yang dipakai oleh Columbus melintasi laut atlantik sewaktu menemukan benua Amerika.


Konon kabarnya, Columbus, yang adalah orang Itali ini, waktu itu didukung oleh penyandang dana yaitu seorang hartawan yang berasal dari Santander. Dan ternyata pula, pada waktu yang tidak terlalu berbeda, ada warga Spanyol yang juga melintasi Atlantik menggunakan rakit, yang JUGA menemukan benua Amerika. Namun, sampai saat ini, namanya hanya dikenal oleh rakyat Spanyol belaka. Pada foto di atas, replika kapal orang Spanyol ini berdampingan dengan kapal Columbus.

Tiba waktunya berpisah, kami langsung diantar ke stasiun kereta api Santander untuk mengejar kereta pukul 13.00.

Leaving Santander, we're going to Madrid. See you there.


Paris


Bertolak dari Milan, kami mendarat di Paris untuk bertemu kembali dengan Mala yang telah mengambil cuti beberapa hari sampai hari Minggu. Tanggal 1 Mei menjadi hari libur nasional di Prancis, dan rupanya orang Prancis juga punya kebiasaan meliburkan hari kejepit.

Secara kebetulan, di bandara Charles de Gaulle, kami bertemu dengan teman lama, Bapak Sofyan Djalil dan Ibu Ratna Megawangi. Mereka mampir di Paris setelah menghadiri Konferensi Keuangan Islam di Kuwait. Kami lalu makan bersama di restoran Léon de Bruxelles (Leon of Brussel), di kawasan Champs Elysées. Sebuah restoran franchise dari Belgia yang mengkhususkan pada menu masakan kerang hijau.

(Alex Rusli-Ratna Megawangi-Sofyan Djalil-Dedi Panigoro)

Esok harinya, kami bersama-sama berkunjung ke Istana Versailles nan megah, yang berada 17 km dari kota Paris.
Istana tersebut memperlihatkan dengan jelas kejayaan sekaligus keborosan para rajanya. Puncaknya adalah pada masa pemerintahan Raja Louis XVI, bersama istri cantiknya yang berdarah Austria, Marie Antoinette.

Hingga pada abad 18, para filsuf modern bermunculan yang banyak melontarkan ide sosial yang akhirnya menjadi pemicu Revolusi Prancis 1789. Diawali dengan penyerangan penjara Bastille, disusul kemudian dengan penyerbuan oleh rakyat ke Istana Versaille yang digerakkan oleh semangat Liberté, Egalité dan Fraternité.
Beberapa tahun kemudian dilakukanlah eksekusi mati bagi sang Raja Louis, dengan menggunakan mesin guillotine dan disaksikan rakyat beramai-ramai di lokasi yang kini bernama Place de la Concorde. Maka seketika berakhirlah masa-masa kekuasaan monarki absolut itu.

Zaman Batu Berakhir Bukan Karena Batunya Sudah Habis

Di sepanjang perjalanan kami berdiskusi mengenai saat manusia meninggalkan zaman batu, itu bukan karena batunya sudah tidak ada lagi, melainkan karena manusia dengan akal pikirannya menemukan cara hidup yang lebih efisien.
Jika melihat perkembangan dunia saat ini, maka sebaiknya bangsa Indonesia jangan menunggu sampai minyak bumi habis. Tapi segeralah mencari sumber-sumber energi pengganti, misalnya berbahan nuklir, sampah, alang-alang, pelepah jagung, atau seperti yang populer di Brazil adalah tebu.


(Meninjau Ladang Colza)
Prancis kini tengah membudidayakan Rapa atau Rapeseed (Inggris) atau Colza (Prancis) sebagai pengganti BBM masa depan. Rapa adalah tanaman dari jenis kubis yang bunganya berwarna kuning cerah yang biasa dipergunakan sebagai makanan ternak dan juga minyak goreng. Satu hektar tanaman Rapa di sini dapat menghasilkan sekitar satu ton biofuel.

Sedang di tanah air, Medco tahun ini akan membuka pabriknya yang pertama, yang berlokasi di Lampung, yaitu pabrik ethanol, dengan bahan baku singkong beracun. Yang juga tidak kalah penting adalah sumber energi potensial dari ganggang laut (algae) yang dalam berbagai percobaan –antara lain yang dilakukan oleh Ugama Yogyakarta— telah memperlihatkan hasil yang menggembirakan.
Bangsa Indonesia, untuk dapat maju, tidak cukup hanya dengan bekerja keras, tetapi juga harus berpikir keras.

Demikianlah tulisan ini menutup catatan perjalanan kami di Eropa selama lima minggu. Dan alhamdulillah pada Senin malam, 5 Mei 2008, dengan pesawat Emirates, kami mendarat dengan selamat di Bandara Soekarno-Hatta.
Wassalam.


Casablanca

Ini adalah kota pusat bisnis Morocco yang terletak di pantai laut Atlantik, di wilayah bagian Barat Morocco. Penduduknya mencapai 3 juta orang. Casablanca ini menjadi kota kembarnya Rabat, yang mana Rabat merupakan ibukota politik Morocco, dan Casablanca yang dominan di sektor industri dan pusat jasa menjadi ibukota ekonomi.


Ikon kota ini adalah Masjid Hassan II, hasil rancangan arsitek Prancis, Michel Pinseau. Menaranya yang setinggi 200m adalah yang tertinggi di dunia. Pengerjaan masjid ini dimulai sejak 1980, dan siap digunakan pada 1993. Konon biaya pembangunannya menghabiskan tak kurang dari 800 juta Dollar.

(Interior Masjid Hassan II)

Casablanca adalah kota terakhir dari rangkaian wisata Morocco kami. Dari sini kami kembali ke Prancis.


Rabat

Ini dia ibukota Morocco. Penduduknya sekitar 1,7 juta jiwa. Pada abad ke-12, karena kekuatan militernya, Rabat menyandang sebutan Ribatul-Fath, yang berarti "benteng kemenangan."


(Hasan Tower)

Pada zaman kekhalifahan Yaqub al-Mansur (Moulay Yacoub), di Rabat dibangun benteng-benteng kota, dan dibangun pula sebuah masjid yang mungkin akan menjadi masjid terbesar di dunia. Namun karena Yaqub wafat, pembangunan pun berhenti. Reruntuhan masjid ini, dan menara Hasan (Hasan Tower) masih dapat kita saksikan hingga sekarang.




Berhadapan dengan Hasan Tower, terdapat Mausoleum (museum) Mohammad V. Di sini terdapat makam kakek dari Raja Hasan yang sekarang.


Sempat pula kami melihat-lihat toko tekstil dengan motif khas suku Berber. Banyak bertebaran di sana karpet-karpet dengan desain motif lokal yang artistik.



Ok, setelah ini kami menuju Casablanca dengan kereta api. See you again there...

Meknes

Dari Fez, kami menuju Meknes dengan naik kereta api. Jaraknya 60 km dari Fez, dan terletak di wilayah utara Morocco. Populasi penduduknya hampir satu juta jiwa.


(City tour dengan kereta kuda)



(Tempat makan kuda / horse stable)

Meknes ini pernah juga menjadi ibukota Morocco, yaitu ketika di bawah kekuasaan Moulay Ismail (1672-1727). Pemimpin yang cukup disegani ini konon adalah ayah dari 888 putra, dari 500 hareem. Karena kemewahan kerajaannya pada waktu itu, kota Meknes ini kerap disebut Versailles of Morocco.



(Makam Moulay Ismail)


(Volubilis, peninggalan arkeologi zaman Romawi)


Sebelum menuju Rabat, kami mampir lihat-lihat keramik dulu...



Storm on the Sahara

"If your hope scattered like the dust across your track
I'll be the moon that shines on your path
The sun may blind our eyes I'll pray the skies above
For snow to fall on the Sahara...
"

a song by Anggun



Dari Marrakech, kami melanjutkan pengembaraan ke Gurun Sahara dan sampai pada pukul empat sore. Awalnya kami berencana untuk berkemah di gurun, namun tidak jadi karena saat itu sedang terjadi badai pasir.

Maka, kami pun menginap di sebuah losmen (auberge) di kota Merzouga, bernama Les Dunes D'or. Tempat ini menjadi base camp kami selama menunggu badai berhenti.

Alamat Auberge Les Dunes D'or: B.P. 3, Merzouga - Province d'Errachidia - MAROC.
GSM: +(212) 61 35 06 65 +(212) 61 09 71 61


Hingga keesokan harinya, ketika keadaan gurun sudah tenang pada pukul lima pagi itu, kami pun mulai bergerak dengan tiga buah unta menyongsong matahari terbit yang sangat indah.





Paket tour kami di sini terdiri dari penyewaan mobil Jeep Pajero untuk tiga hari, penginapan di Les Dunes D'or tadi, dan juga termasuk tour ke gurun naik unta, yang kesemuanya seharga 600 Euro untuk tiga orang.

Dan setelah sarapan pagi, kami bergegas melanjutkan perjalanan berikutnya dengan mobil Jeep Pajero, menuju kota Fez.

Marrakech

Berikut ini saya flashback dulu ke rangkaian wisata Morocco. Terbang dari Toulouse, Prancis, kami awalnya mengunjungi Marrakech, yaitu kota terbesar kedua di Morocco, setelah Cassablanca.


Di Marrakech ini terdapat pasar tradisional terbesar di Morocco, yaitu Djemaa El Fna. Di sekitar area pasar yang ramai ini sehari-harinya biasa diadakan berbagai pertunjukan, seperti akrobat, story-telling, tari dan musik yang disemarakkan oleh stand-stand makanan yang non-stop dari pagi hingga malam.

Kami menginap di hotel Dar Soukaina yang letaknya tak jauh dari Djemaa El Fna. Alamatnya: 19 Derb el Farrane, Riad Laarouss Marrakech Medina - Maroc. Tel. +212 (0) 61 24 52 38.


Sempat pula mampir ke Jardin Majorelle, atau Majorelle Garden, yaitu sebuah taman yang telah dibuka untuk umum oleh pemiliknya sejak tahun 1947. Konon, ini adalah taman yang paling misterius di abad ke-20. Pemiliknya adalah seorang seniman bernama Jacques Majorelle, yang lahir di Prancis, dan datang ke Marrakech pada tahun 1919 untuk berkarir sebagai pelukis. Di lokasi ini juga terdapat Museum of Islamic Art, yang berisi koleksi lukisan dari sang pemilik taman.


Ini adalah Masjid Koutoubia, yang terbesar di Marrakech. Masjid ini diselesaikan pada masa Khalifah Yaqub al-Mansur pada sekitar abad ke-12. Koutoubia berasal dari bahasa Arab, al-Koutoubiyyin, yang artinya librarian, mungkin karena di sekitar masjid ini banyak bertebaran penjual-penjual manuskrip kuno.


(Kasbah, rumah tradisional Suku Berber)


(Sungai jernih otw ke Gurun Sahara)

(We were here, Hotel Yasmina)
B.P.29 Gorges Todgha - Tinghir Ouarzazate
Tel. 024 89 51 18.

Dan dari sini, perjalanan pun berlanjut ke Gurun Sahara.

Museum Guggenheim di Bilbao

Bilbao, sebuah kota di daratan Spanyol yang penuh patung, taman, dan gedung tua ini berpenduduk 350 ribu jiwa.


(Di depan Guggenheim, tanaman berbentuk kucing)



Kota Bilbao tadinya kota industri kering, yang kemudian disulap oleh arsitek Frank Gehry menjadi kota budaya khususnya seni patung, lanskap dan arsitektur. Di sini dibangun pula sistem angkutan modern tram, metro dan tentu saja bus. Pusat kota tua Bilbao, Casco Viejo (Old Quarter) disulap menjadi pusat pertokoan, museum kecil, tapas bar, cafe dll.

Kami menginap di Hoteles Silken yang berada persis di depan museum Guggenheim, ikon kota ini. Alamatnya: Alameda Mazarredo 61 48009 Bilbao. Tel. 944 253 300. Harga sekitar 75 Euro.

Berjalan-jalan di museum Guggenheim, kami hanya kuat tiga jam dan kaki sudah jontor. Museumnya hanya tiga lantai tapi memuat ribuan benda seni. Untuk bulan Maret-September 2008 ini, tema pameran yang digelar adalah Surreal Things. Ada karya-karya sculpture, instalasi, dan lukisan-lukisan bertema surrealisme. Kelihatannya museum ini dibantu oleh orang kaya Amerika, Solomon R. Guggenheim, yang juga membantu beberapa museum Guggenheim di dunia terutama di New York.


Sayang sekali daerah ini menjadi sarangnya pemberontak Euskadi Ta Askatasuna (ETA), yang intinya mereka ingin merdeka, lepas dari Spanyol. Telah jatuh 800 korban, dan pada tahun 2006 telah ditandatangani perjanjian gencatan senjata. Semoga cepat damai.

Setelah ini kami naik bus ke Santander, dan akan dijemput sahabat kami, Ananda, di stasiun.

(DSP)