MENYEMAI HARAPAN PATUNG PUBLIK

Patung dunia hewan dengan bentuk yang dipipihkan karya Sumbul Pranov diberi judul ”Vacation Edition” ditampilkan di pameran Art Jakarta Gardens di Hutan Kota by Plataran, Gelora Bung Karno, Jakarta. Pameran berlangsung 22-28 April 2024.

Untuk menempatkan patung-patung di ruang publik hingga sekarang belumlah mendapatkan angin segar, mengapa demikian?



Pergelaran Art Jakarta Gardens untuk ketiga kalinya menunjukkan fokus seni patung luar ruang yang tak tergoyahkan. Meski demikian, untuk menempatkannya sebagai patung-patung publik, belumlah mendapatkan angin segar. Karya seni patung luar ruang masih jadi komoditas terbatas bagi para kolektor swasta.

Menempatkan patung luar ruang sebagai patung publik sebenarnya bisa dilakukan di taman-taman kota atau ruang sosial yang dapat dinikmati publik secara leluasa. Pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mewujudkannya. Pergelaran seperti Art Jakarta Gardens ini bisa menyemai harapan terwujudnya patung publik tersebut.
Selintas persoalan ini turut dikemukakan Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid seusai membuka Art Jakarta Gardens, Selasa (22/4/2024), di Hutan Kota by Plataran, Gelora Bung Karno, Jakarta. Pameran ini berlangsung hingga 28 April 2024 dengan menampilkan sekitar 30 patung luar ruang dan karya seni rupa dua dimensi dari 23 galeri.

”Patung-patung luar ruang yang ditampilkan bagus-bagus. Jika ditanya, bagaimana bisa ditempatkan di ruang publik seperti taman-taman terbuka di Jakarta, ya, harus ditanyakan kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta,” ujar Hilmar.

Sejauh ini belum tampak adanya respons dari institusi pemerintah daerah mana pun terhadap pameran ini. Ketika Hilmar menyampaikan karya patung-patung luar ruang yang ditampilkan cukup baik, wartawan pun mengejar dengan pertanyaan karya mana yang membuatnya paling tertarik.

Hilmar menunjuk karya komisi seniman Erwin Windu Pranata yang disajikan perusahaan investasi berbasis aplikasi digital PT Bibit Tumbuh Bersama atau Bibit.id. Erwin menyuguhkan karya yang diberi judul ”The Bouquet: Fall, Grow”.

Ini sebuah patung dengan media lapisan bahan tertentu yang dibentuk menyerupai daun-daun berukuran besar atau bentuk lainnya secara tiga dimensi. Media itu bisa diisi dengan angin seperti balon.

Patung keledai
Di sebelah karya Erwin terdapat karya komisi seniman Naufal Abshar yang disajikan perusahaan investasi emas dengan aplikasi digital Treasury. Naufal membangun patung keledai setinggi enam meter dengan menggunakan 9.000 kaleng bekas cat semprot dan 2.000 botol kaca. Patung keledai itu diberi judul ”Gold is King”.

”Cat semprot biasa saya gunakan ketika berkarya. Bekas kaleng cat semprot saya kumpulkan sampai 2.000 kaleng, selebihnya untuk patung keledai ini saya beli kaleng bekas cat semprot dari pengepul dan produsen di Bekasi dan Pamulang,” ujar Naufal.
Sejak 2014, Naufal memilih karakter keledai ke dalam karya-karya seninya. Ia terinspirasi animasi karakter keledai di film animasi Shrek. Keledai di dalam film itu memiliki sifat hiperaktif, cerewet, mudah bergaul, dan aneh.

Naufal tertarik menelusuri karakter keledai yang sesungguhnya. Ternyata keledai memiliki karakter yang kalem, loyal, dan pekerja keras. Dibandingkan kuda, keledai sering dianggap ada di tingkatan lebih rendah. Akan tetapi, keledai bisa lebih diandalkan untuk urusan pengangkutan barang.

”Terkait dengan investasi emas perusahaan Treasury, saya menyampaikan secara historikal bahwa keledai memiliki peranan penting dalam usaha pengangkutan material tambang, terutama untuk tambang emas. Keledai lebih banyak digunakan,” ujar Naufal.
Setelah dipamerkan di Art Jakarta Gardens, menurut Naufal, ada kemungkinan patung ini ditempatkan di salah satu ruang kantor Treasury. Bagi Naufal, karyanya menjadi patung publik meski masih sebatas lingkup perusahaan.

”Saya senang sekali jika patung ini ditempatkan di ruang publik yang bisa dinikmati lebih banyak orang. Tetapi, kita masih dihadapkan pada persoalan vandalisme yang cukup tinggi,” ujar Naufal.

Para seniman patung menyadari tidaklah mudah menempatkan patung-patung di ruang publik. Untuk pameran Art Jakarta Gardens ini, mereka pun merancang karya yang bisa ditempatkan di dalam ruang ataupun di luar ruang. Ini seperti dilakukan pematung Sumbul Pranov dengan 10 patung binatang yang dibentuk pipih menjadi instalasi patung yang diberi judul ”Vacation Edition”. Karya Sumbul ditampilkan Galeri CGArtspace.

”Saya membuat eksperimen tentang patung yang tidak harus bisa dinikmati dari semua sisi. Patung-patung hewan saya pipihkan supaya cukup bisa dinikmati dari sisi kiri dan kanan saja,” ujar Sumbul.
Karkas sapi

Di antara sekitar 30 patung luar ruang yang ditampilkan di Art Jakarta Gardens, sebuah patung karkas sapi yang digantung terbalik cukup menarik perhatian. Dari kejauhan patung itu mirip karkas sapi yang nyata. Patung ini karya Joko Avianto dengan media sulur-sulur rotan sintetis yang dianyam. Karya ini ditampilkan Galeri V&V.

”Karya ini berbicara tentang memilah dan memilih bagian daging sapi sebagai perubahan dari masa peradaban manusia berburu,” ujar Wilian Robin, pemilik dan pengelola Galeri V&V.

Wilian menceritakan metafora yang dibangun Joko Avianto lewat karyanya yang diberi judul ”Poems of Mamals” itu. Pada masa manusia berburu tidak begitu dipedulikan nama bagian daging yang dikonsumsi. Saat ini muncul perubahan dalam mengonsumsi daging dengan istilah-istilah tersendiri.

”Karya patung ini secara khusus menggunakan media yang cukup kuat untuk ditempatkan di luar ruang. Ini bisa menjadi patung publik,” ujar Wilian.
Selain di luar ruang, penyelenggara Art Jakarta Gardens mendirikan dua tenda yang digunakan sebanyak 23 galeri. Sebagian besar galeri menampilkan lukisan, tetapi ada di antaranya patung-patung khusus untuk interior.

Seperti patung karya seniman asal Malaysia, James Seet, ditampilkan Galeri Artserpong. Karya Seet cukup unik. Ia menggunakan keramik untuk membuat patung batu yang di dalamnya terdapat rongga. Pada karya yang diberi judul ”The Orang Asli”, di dalam rongga batu itulah James Seet membuat patung orang-orang suku asli Malaysia.
Begitu pula, Galeri Linda menampilkan sejumlah patung karya Ren Zhe asal Beijing, China. Galeri Jagad menampilkan patung karya Nyoman Nuarta. Satu di antaranya patung ayam jago.

”Kita sering mengistilahkan orang yang sok-sokan itu dengan kata ‘jagoan’. Iya, patung ayam jago saya buat karena itu pula,” kata Nuarta.

Nyoman Nuarta bertutur panjang tentang patung yang ditempatkan di ruang publik sekarang tidaklah mudah. Zaman kini sudah berbeda dengan masa Presiden Soekarno yang lebih banyak menempatkan karya seni patung di ruang publik untuk dinikmati bersama.


Tulisan ini ditulis oleh IGNATIUS NAWA TUNGGAL
di link berikut ini https://www.kompas.id/baca/hiburan/2024/04/26/menyemai-harapan-patung-publik

Blogger Widgets

PERTANIAN, PANGAN DAN INDUSTRI, TIGA MESIN PERTUMBUHAN EKONOMI

Petani Memompa Air

Pembangunan ekonomi Indonesia periode 2024-2029 akan mengandalkan sektor pertanian, energi, dan manufaktur. Dengan ketiga mesin tersebut, ekonomi Indonesia diharapkan tumbuh lebih cepat, mandiri, dan inklusif.

Ketua Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran, Burhannudin Abdullah, Jumat (22/3/2024), mengatakan, arah kebijakan ekonomi yang mengandalkan tiga mesin utama itu didasarkan kenyataan bahwa Indonesia sampai saat ini masih sangat bergantung pada negara lain untuk mencukupi berbagai kebutuhan dasar.

”Setelah krisis moneter yang melanda pada 1997-1998, kita pelan-pelan menghadapi tiga macam defisit, yaitu defisit pangan, energi, dan barang manufaktur, yang membuat kita terus bergantung pada impor,” kata Burhanuddin dalam Kompas Collaboration Forum (KCF) Afternoon Tea di Jakarta.

KCF adalah wadah para pemimpin perusahaan yang diselenggarakan harian Kompas. Dalam KCF edisi Maret 2024 tersebut, sejumlah pemimpin perusahaan hadir. Mereka berasal dari berbagai sektor, antara lain perbankan, tekstil, properti, pertanian, manufaktur, pangan, dan otomotif.

Indonesia sampai hari ini masih mengimpor berbagai jenis komoditas pangan yang merupakan konsumsi masyarakat sehari-hari. Sebut saja beras, jagung, kedelai, bawang putih, dan tapioka.

Di sektor energi, Indonesia mengimpor bahan bakar minyak (BBM) dan elpiji dalam jumlah yang besar. Akibatnya, anggaran subsidi energi yang harus ditanggung negara per tahun terus membengkak.

Deindustrialisasi
Industri manufaktur dalam negeri juga belum cukup berdaya saing. Burhanuddin mengatakan, Indonesia sampai saat ini masih menjadi net importir barang manufaktur. Hampir 40 persen dari pasar manufaktur Indonesia dikuasai China. Hasilnya, industri dalam negeri pun kerap kali tidak berdaya menghadapi gempuran impor barang manufaktur.

Di sisi lain, ancaman deindustrialisasi dini semakin nyata terjadi. Ia membandingkan, pada 1997-1998, kontribusi industri manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) masih berkisar 28-29 persen, hampir mendekati kategori negara industri yang porsi manufakturnya terhadap PDB adalah 30 persen.

“Saat ini, share industri manufaktur kita hanya di kisaran 18 persen. Itu di bawah 20 persen, yang artinya kita kembali ke kategori negara pra-industri, kita kembali lagi ke tahun 1971, kembali ke kondisi awal pemerintahan Presiden Soeharto dulu,” ucap Burhanuddin.

Oleh karena itu, arah kebijakan ekonomi Prabowo-Gibran ke depan akan mengandalkan ketiga mesin ekonomi itu. Industrialisasi, khususnya yang berbasis sumber daya alam, mesti dipacu dengan memperbaiki kondisi daya saing berusaha, mulai dari sisi kepastian hukum, perizinan, dan kemudahan berbisnis di Indonesia.

Menurut Burhanuddin, hal itu tidak mustahil dilakukan. Indonesia memiliki potensi sumber daya alam serta energi baru dan terbarukan yang melimpah dan bisa diolah menjadi beragam produk manufaktur. Ketiga sektor itu, terutama pertanian dan manufaktur, juga akan menciptakan lapangan kerja yang lebih luas.

“Oleh karena itu, tiga hal ini, pertanian, pangan, dan industri, harus menjadi mesin pertumbuhan ekonomi kita ke depan. Meskipun, pada dasarnya, tentu saja semua sektor ekonomi ke depan akan didorong untuk tumbuh dan berkembang,” kata Burhanuddin.

Menanggapi arah kebijakan ekonomi pemerintahan baru ke depan, Regional CEO PT Triputra Agro Persada Tbk Budiarto Abadi mengingatkan akan pentingnya memperkuat ketahanan pangan nasional. Salah satunya, swasembada beras.

Indonesia pernah mencapai swasembada beras. Indonesia juga pernah mengalami kesulitan mendapatkan beras seperti yang terjadi saat ini. "Ibu-ibu membeli beras dengan harga mahal, sedangkan petani diuntungkan karena harga gabah naik," ujarnya.
Budiarto berharap pemerintah bisa mewujudkan kembali swasembada beras. Indonesia bisa belajar dari sejumlah negara produsen beras. Meskipun terdampak El Nino, negara-negara tersebut tetap bisa mencukupi kebutuhan dalam negeri, bahkan mengekspor beras.

Salah satu upayanya adalah mengoptimalkan peran badan usaha milik negara (BUMN). Pemerintah telah memiliki Perum Bulog yang menyerap gabah dan beras di dalam negeri, serta mengimpor beras untuk cadangan pangan.

Dari sisi produksi, pemerintah juga bisa meminta BUMN, seperti PT Perkebunan Nusantara atau Perhutani bekerja sama dengan petani. BUMN tersebut bisa mengadopsi cara kemitraan pengelolaan produksi dari perusahaan sawit.

"Kenapa sistem petani plasma di industri sawit tidak dicoba diterapkan di sektor perberasan nasional. Kalau semua diserahkan ke swasta, banyak perusahaan yang enggan, karena bisnis beras itu ngeri-ngeri sedap," katanya.

Skema industrialisasi

Sementara itu, Wakil Presiden Direktur PT Toyota Manufacturing Indonesia, Bob Azam, berharap pemerintahan baru punya skema tepat untuk mendorong industrialisasi. Berkaca dari bidang yang ia geluti, dalam 10 tahun terakhir, industri otomotif baik mobil maupun sepeda motor mengalami stagnasi dalam hal produktivitas maupun pengembangan pasar.

Sayangnya, di tengah stagnansi sektor industri, para pelaku industri sudah dihadapkan pada rencana peningkatan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen. Kenaikan ini dikhawatirkan dapat memukul kinerja industri pengolahan yang dapat memberikan kesempatan kerja yang luas.



"Rantai pasok akan terdampak kenaikan PPN. Dari barang mentah menjadi barang setengah jadi terdampak (kenaikan) PPN. Lalu barang setengah menuju barang jadi juga terdampak. Pengadaan komponen pun terimbas kenaikan PPN. Mohon ini jadi perhatian," tuturnya.



Di luar itu, Bob berharap pemerintahan baru menjadikan sektor tenaga kerja sebagai indeks atau faktor utama untuk mengambil berbagai kebijakan industri. "Negara sekelas Amerika Serikat saja menjadikan faktor tenaga kerja untuk mengambil kebijakan suku bunga," katanya.


MENANDINGI SINGAPURA?

Kalung penanda khusus untuk konser Taylor Swift: The Eras Tour di National Stadium, Singapura, Senin (4/3/2024). Suasana di dalam dan luar National Stadium, Singapura, riuhnya oleh suara ribuan orang. Konser ini dianggap sebagai megakonser dari seorang penyanyi global yang dijuluki banyak orang sebagai figur penghibur abad ini.

Berita tentang konser eksklusif Taylor Swift di Singapura awal bulan ini didominasi pernyataan kontroversial pejabat tinggi dari negara tetangganya. Bukan musikus, peneliti budaya pop atau fan Swifties. Aspek finansial dari konser itu agaknya dinilai lebih penting ketimbang yang lain-lain. Sementara itu, beda politikus dan pengusaha semakin kabur.

Seorang menteri kabinet RI berambisi bikin konser tandingan. Menteri yang lain mencari peluang menumpang keunggulan Singapura dalam bentuk kerja sama. Sebagian pihak meragukan kemampuan Jakarta menjadi tuan-rumah untuk konser sekelas Taylor Swift. Kalaupun Jakarta mampu, apakah perlu? Saya ragu.

Indonesia jauh lebih berlimpah berkah ketimbang Singapura dalam banyak hal. Mengapa politikus-bermental-pengusaha RI merasa perlu mengekor Singapura dalam bisnis konser? Untuk membuktikan dirinya tidak kalah hebat dari rekannya di Singapura? Mengapa baru sekarang elite politikus RImerasa kecolongan? Sudah berpuluh tahun dan dalam berbagai bidang Singapura super gesit dalam kompetisi transaksi global.

Walau unggul dalam sejumlah bidang, Singapura ditakdirkan hidup dalam keterbatasan. Wilayah negeri ini super-mini. Hanya sedikit lebih besar dari DKI Jakarta. Sumber daya alam dan manusia di sana sangat terbatas. Dua hal itu seperti takdir yang tidak bisa diubah. Uniknya, Singapura berhasil membalik keterbatasan itu menjadi pemicu kerja secara cerdas.

Demi bertahan hidup, Singapura sangat bergantung pada tambahan berbagai sumber daya dari luar. Memang, semua negara saling bergantung. Tapi, ketergantungan Singapura lebih kritis dibandingkan dengan banyak negara lain. Untuk mendapat tambahan sumber daya unggul, sejumlah persyaratan harus dipenuhi.

Pertama, dibutuhkan jaringan transportasi-komunikasi-finansial canggih dan andal agar sumber daya dari luar negeri bisa masuk dalam jumlah besar dan berkelanjutan. Pesatnya pertumbuhan kapitalisme global, teknologi digital, dan stabilitas regional sangat menguntungkan Singapura. Jika terjadi krisis dalam berbagai jaringan internasional ini, Singapura akan lebih terpukul dibandingkan denagn negara-negara sekitarnya.

Kedua, Singapura harus memikat calon mitra kerja dari luar. Buat apa akses ke negeri itu dipermudah jika pihak luar tidak tertarik? Singapurameningkatkan daya pikat secara maksimal dengan imbalan besar bagi mitra asingnya. Sementara dalam negeri ”stabilitas dan keamanan” dijaga ketat. Penguasa Singapura cenderung semi-otoriter demi alasan praktis itu, bukan politis atau ideologis. Nyaris tak ada toleransi untuk politik oposisi, grafiti, fanatisme agama atau protes jalanan.

Lebih setengah abad lalu Singapura memikat dunia dengan kualitas layanan maskapai penerbangan dan bandar udara antar-benua. Bangkok menjadi pesaingnya di Asia Tenggara sebagai pusat transit untuk rute penerbangan antarbenua. Thailand kaya tradisi dan kesenian keraton, kuil, dan makanan yang tenar di dunia. Singapura tidak. Maka, Singapura terpacu bekerja lebih cerdas membangun bandar udara Changi.

Perkembangan serupa terjadi di bidang akademi. Pertengahan 1990-an terjadi konflik besar di sebuah universitas di Jawa. Akibatnya, puluhan dosen kehilangan pekerjaan, termasuk saya. Setelah berbulan-bulan hidupberkeluarga tanpa gaji, saya diundang bekerja di satu universitas besar di Singapura.

Universitas di Singapura tersebut baru selesai membangun sejumlah menara apartemen mewah di dekat kampus, khusus untuk dosen-dosen asing. Lebih dari separuh apartemen itu belum dihuni. Semua perabot dalam setiap unit masih terbungkus plastik dari toko. Sewanya hanya sekitar seperlima harga pasar. Penduduk lokal, termasuk para dosen lokal, merasa para pekerja asing dianak-emaskan pemerintah. Perasaan itu bisa dimaklumi.

Di departemen kami ada belasan dosen, mayoritasnya warga asing. Pernah hanya satu yang warga Singapura karena dua rekannya pindah kerja ke luar negeri. Dekan kami sering meminta usulan daftar tokoh-tokoh ilmuwan terbesar di dunia yang bisa dirayu bergabung di universitas ini dengan imbalan sangat menggiurkan. Selama belasan tahun kemudian, hingga kini Singapura menempati salah satu urutan tertinggi dalam ranking universitas global.

Ketika saya bersiap meninggalkan Indonesia, pemerintah Orde Baru masih mewajibkan mahasiswa di Tanah Air lulus mata-kuliah tentang Pancasila. Sebagai dosen, kami wajib lulus penataran Pancasila. Setiba di Singapura, saya lihat mahasiswa di sana wajib belajar literasi teknologi media digital. Para dosennya dituntut memublikasikan penelitian di jurnal terkemuka di dunia. Setelah lewat belasan tahun kemudian, tuntutan serupa ini baru menjadi kelaziman di Indonesia.

Singapura unggul bukan baru belakangan dan tidak hanya di bidang industri hiburan atau pendidikan. Negeri mini ini juga pusat belanja dan perawatan kesehatan. Tidak hanya anak-anak presiden Joko Widodo yang menempuh pendidikan di Singapura. Tidak hanya para menteri kabinet RI yang memilih berobat di Singapura, termasuk sang menteri yang berambisi mengadakan konser tandingan.

Tak perlu kaget atau kecewa jika pentas Taylor Swift untuk Asia Tenggara berhari-hari hanya di Singapura. Daripada bikin konser tandingan, mengapa tidak bersemangat membina universitas dengan kualitas tandingan? Siapa tahu Indonesia berhasil naik ke urutan setara atau mendekati Singapura dalam ranking global universitas dan anak presiden tidak perlu jauh-jauh berkuliah di sana?

Berpuluh tahun Singapura agak otoriter. Begitu juga negara-negara lain di sekitarnya. Mengapa yang lain-lain tidak semakmur dan seunggul Singapura? Mengapa Pemerintah RI tidak terpacu membenahi layanan kesehatan di negeri sendiri sehingga para menteri yang sakit bisa merasa nyaman dirawat di dalam negeri?

Tenaga kerja Indonesia berbondong sebagai PRT di Singapura. Mengapa pejabat tinggi negara tidak bertekad memperbaiki kondisi kerja di Tanah Air sendiri? Bayangkan andaikan orang-orang Singapura berbondong menjadi PRT keluarga di Indonesia.

Apakah konser tandingan dinilai lebih penting daripada semua hal itu?

 Tulisan ini ditulis oleh Aril Heriyanto di link berikut https://www.kompas.id/baca/opini/2024/03/21/menandingi-singapura

58 Tahun Bersama Kuntoro

 

DSP Menyerahkan Buku kepada Kuntoro yang Memberikan Kata Pengantar
Dalam Buku Tersebut.



Saya dan Kuntoro
Saya  mengenal Kuntoro sejak umur saya 18 tahun, usia muda yang mempertemukan kami di kampus ITB Bandung, sekitar tahun 1965. Saya di jurusan Teknik Elektro dan Koentoro di Teknik Industri.

Sekitar tahun 1970, saya sempat berhenti kuliah, saat itu saya membantu almarhum ayah saya yang membuka percetakan di halaman belakang rumah, beliau memberi nama perusahaan keluarga kami PT Harapan Offset. Tepatnya di Jl. Wastukencana No.79-Bandung.

 

DSP Sesaat Sebelum Sidang Sarjana, Menolak Pencalonan Kembali Soeharto

(ITB-1978)


Sekitar tahun 1973, Kuntoro pulang dari Amerika, ia memperoleh gelar Pasca Sarjana sebanyak tiga gelar, kesemuanya diselesaikan dalam sekali waktu. Kuntoro sejak dulu memang terkenal cerdas dan jujur.

Kuntoro bagi saya bukan hanya sebagai teman sekelas dan seangkatan, namun ia juga teman bermain. Saat ia kembali ke Bandung, saya menyambutnya dengan sukacita, saat itu Kuntoro juga ikut membantu dalam manajemen PT Harapan Offset. Saya ingat sekali, waktu itu adik saya Hilmi Panigoro masih duduk di kelas 3 SMA, ia juga membantu di percetakan keluarga sebagai tukang cetak.

Sekitar tahun 1978, saya berangkat ke Mekkah, menemani Almarhumah Ibu saya menunaikan ibadah haji. Pada saat itu, Kuntoro sepenuhnya mengurusi percetakan PT Harapan Offset.

Jika mengingat nama Kuntoro, saya hanya membayangkan tentang sosoknya yang cerdas, lurus, jujur dan amanah. Ini terbukti selama masa karirnya, tidak ada kasus apapun yang menjerat Kuntoro, karena begitulah ia sangat bersih dan amanah.

Satu kali sekitar tahun 2000, tanpa direncanakan saya bertemu dengan Kuntoro di Mekkah. Padahal kami berdua tidak saling berkabar bahwa akan berangkat haji saat itu. Saat bertemu di sana, keduanya merasa kaget, pertemuan itu menyenangkan bagi kami. Saat itu saya yakin, kedekatan kami berdua ternyata sudah berada pada frekuensi yang sama.

 

 

Bersama Alm. Arifin Panigoro yang juga bersahabat dengan Kuntoro dan sempat membahas wacana Pendidikan Tinggi Medco-ITB di Jakarta.

 

Lima puluh delapan tahun persahabatan kami tanpa adanya konflik. Saya pikir karena persahabatan kami murni saling membantu dalam jejaring networking dan saling bertukar ide, gagasan. Tidak pernah sekalipun berkaitan dengan keuangan. Kuntoro sendiri banyak membantu saya, berbagi jejaring kerjanya untuk kegiatan saya.

Saat Kuntoro dirawat di Singapore, saya sempat menelpon istrinya, Tuti. Perempuan sederhana yang selalu setia mendampingi Kuntoro sampai akhir hayatnya, saya kira Kuntoro sangat beruntung memiliki Tuti di sisinya.

Hari itu saya tanyakan pada Tuti, “Bagaimana keadaan Kuntoro? Apa sebaiknya saya ke Singapore?

Namun saat itu Tuti menyampaikan kepada saya “Nanti saja jika sudah di Jakarta”.

Waktu berjalan, namun ternyata saya hanya mendengar kabar kepergiannya. Kuntoro lebih dahulu meninggalkan kita semuanya. Pertemuan terakhir saya dengannya justru di hari kematiannya, saya melayat ke rumah duka dan mengunjungi makamnya di Taman Makam Pahlawan Kalibata.

Saya merasakan perpisahan yang sangat mendalam.

 

Sosok Kuntoro

Tidak ada yang tidak mengenal sosok Kuntoro dengan berbagai prestasi karirnya. Padahal awalnya Kuntoro memulai karirnya sebagai dosen di ITB selama 40 tahun, saya kira Kuntoro sangat berdedikasi dalam mendidik generasi Indonesia. Berangkat dari dosen ia diberi amanat sebagai staf ahli Menteri Muda dalam Upaya Peningkatan Produksi dalam Negeri. Lalu karirnya melejit diberi amanah sebagai Menteri ESDM di era Soeharto dan BJ Habibie.

Setelah itu ia pernah diberi amanah menjadi Direktur Utama PLN, Ketua Pelaksana BRR Aceh-Nias. Terakhir sebelum meninggal, ia menjabat Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan di Kabinet Indonesia Bersatu II.

Banyak sekali prestasi Kuntoro yang sudah diraihnya dari dalam dan luar negeri. Saya tidak bisa menuliskannya satu demi satu, karena sudah bertebaran di hampir semua media berita online.

Namun, sosok Kuntoro secara pribadi, banyak berbekas di hati pada mahasiswanya dan orang-orang terdekat dengannya. Terutama bagi saya pribadi, kedekatan kami berdua yang sudah terjalin selama 58 tahun. Itu bukan waktu yang singkat, bahwa kami sahabat kental yang sudah terbukti langgeng dalam rentang waktu yang sangat panjang dan lama.

Akhir 2023, sahabat tercinta saya pergi meninggalkan kita semuanya. Bagi yang mengenal Kuntoro sebagai dosennya, Kuntoro tentu dosen yang gaul dan menyenangkan. Bagi yang mengenal Kuntoro sebagai rekan kerjanya, banyak yang menganggapnya sebagai pemimpin yang jujur dan bersih.

Satu hal yang selalu saya ingat mengenai Kuntoro, meskipun berkali-kali memegang berbagai jabatan penting, namun sikapnya pada saya tidak pernah berubah, sama seperti di tingkat satu, saat kami masih sama-sama di kampus ITB.
Selamat Jalan Kun..

 

DSP